HAK WARIS KEPONAKAN DARI PIHAK BAPAK DAN IBU, SERTA ANAK TIRI BERDASARKAN PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG RI No. 2240 K/Pdt/2005 DITINJAU DARI HUKUM ISLAM

ADI NUGRAHA (2009) HAK WARIS KEPONAKAN DARI PIHAK BAPAK DAN IBU, SERTA ANAK TIRI BERDASARKAN PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG RI No. 2240 K/Pdt/2005 DITINJAU DARI HUKUM ISLAM. Skripsi thesis, UNIVERSITAS AIRLANGGA.

[img]
Preview
Text (ABSTRAK)
gdlhub-gdl-s1-2009-nugrahaadi-10672-fh1020-k.pdf

Download (275kB) | Preview
[img] Text (FULLTEXT)
gdlhub-gdl-s1-2009-nugrahaadi-10085-fh102-9.pdf
Restricted to Registered users only

Download (632kB) | Request a copy
Official URL: http://lib.unair.ac.id

Abstract

Berdasarkan hukum waris adat, hak waris keponakan akan timbul apabila para ahli waris utamanya, yakni keturunan dari pewaris, orang tua dari pewaris dan saudara dari pewaris sudah tidak ada lagi. Jika harta warisan berasal dari harta asal ayah pewaris, maka keponakan dari pihak ayah pewaris saja yang berhak mewarisi harta warisan tersebut. Sebaliknya, jika harta warisan berasal dari harta asal ibu pewaris, maka keponakan dari pihak ibu pewaris saja yang dapat mewarisi. Sedangkan apabila harta warisan berasal dari harta pencaharian pewaris, maka baik keponakan dari pihak ayah maupun pihak ibu berhak mewarisi harta warisan tersebut. Berdasarkan hukum waris barat (B.W.), keponakan masuk dalam ahli waris golongan empat. Sehingga keponakan baru bisa mewaris apabila golongan pertama, kedua dan ketiga ahli waris menurut undang-undang tidak ada atau meninggal terlebih dahulu. Bila ada keponakan dari pihak bapak dan keponakan dari pihak ibu, maka berdasarkan ketentuan Pasal 850 B.W. dan Pasal 853 B.W., keponakan dari pihak bapak dan dari pihak ibu masing-masing memperoleh ½ bagian dari harta warisan. Berdasarkan hukum waris Islam, keponakan masuk dalam golongan dzawil arham, sehingga mereka baru dapat mewaris apabila tidak ada dzawil furudh atau ashabah. Di dalam hukum Islam, keponakan dari pihak ayah maupun dari pihak ibu, kedua-duanya berhak mewaris. Karena di dalam hukum Islam tidak mengenal prinsip harta asal kembali ke asal, beda halnya di dalam pengaturan hukum waris adat. Baik dalam hukum Islam, barat (B.W.), dan adat, anak tiri bukanlah seorang ahli waris. Sebab yang dapat menjadi ahli waris adalah seseorang karena hubungan darah/keluarga atau karena hubungan perkawinan. Dengan demikian, anak tiri bukanlah merupakan seorang ahli waris. 1. Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 2240 K/Pdt/2005, yang menggunakan sistem hukum waris adat sebagai dasar pertimbangan hukumnya, yang berhak mewarisi harta warisan Sa’adiah (almarhum) adalah Jubaidah binti Arsyad, Hj. Siti Hawa binti H. Muhidin, Hj. Halimah binti H. Muhidin, dan Abdurrahman. Semua dari mereka merupakan para keponakan dari pihak ayah Sa’adiah saja. Sedangkan H. Ahmad alias Abu ya, yang merupakan suami dari Sa’adiah dan para keponakan dari pihak ibu Sa’adiah, yakni Iswan bin Mahmud, dan Suparman bin Mahmud, kesemuanya tidak dapat mewarisi harta warisan Sa’adiah. Hal ini dikarenakan harta warisan Sa’adiah merupakan harta asal dari ayah Sa’adiah, yakni Ma’I bin SA, yang diwarisi kepada Sa’adiah ketika Ma’I bin SA meninggal. Sehingga, dengan demikian hukum waris adat menganut prinsip bahwa harta asal kembali ke asal. Lain halnya jika menggunakan sistem hukum waris Islam dalam pembagian harta warisan Sa’adiah, dimana yang berhak mendapatkan bagian warisan adalah H. Ahmad alias Abu ya, Jubaidah binti Arsyad, Hj. Siti Hawa binti H. Muhidin, Hj. Halimah binti H. Muhidin, Abdurrahman, Iswan bin Mahmud, dan Suparman bin Mahmud. Hal ini dikarenakan hukum waris Islam tidak mengenal prinsip bahwa harta asal kembali ke asal. Jika dilihat dari Yurisprudensi Mahkamah Agung RI No. 172 K/Sip./1974, hukum waris yang berlaku adalah berdasarkan agama pewaris. Dengan demikian, Mahkamah Agung Republik Indonesia yang menangani perkara dengan nomor register 2240 K/Pdt/2005 tentang sengketa pembagian harta warisan Sa’adiah antara Ny. Hajjah Siti Hawa binti H. Muhiddin, Ny. Hajjah Halimah binti H. Muhiddin, dan Abdurrahman sebagai Para Penggugat dengan Ny. Siti Hawa (Janda Alm. Mahmud), Iswan bin Mahmud, Suparman bin Mahmud, Asma binti H. Ahmad sebagai Para Tergugat, telah salah menerapkan hukum. Sebab, agama pewaris, yakni Sa’adiah adalah Islam, sehingga hukum waris yang harus digunakan adalah hukum waris Islam.

Item Type: Thesis (Skripsi)
Additional Information: KKB KK-2 FH 102 / 09 Nug h (Tidak Ada Full Text)
Uncontrolled Keywords: INHERITANCE AND SUCCESSION ( ISLAMIC LAW )
Subjects: K Law > KB Religious law in general > KB1-4855 Religious law in general. Comparative religious law. Jurisprudence
Divisions: 03. Fakultas Hukum
Creators:
CreatorsNIM
ADI NUGRAHAUNSPECIFIED
Contributors:
ContributionNameNIDN / NIDK
Thesis advisorSuparto Wijoyo, Dr. , S.H., M.Hum.UNSPECIFIED
Depositing User: Tn Hatra Iswara
Date Deposited: 21 Aug 2009 12:00
Last Modified: 04 Sep 2016 14:59
URI: http://repository.unair.ac.id/id/eprint/11834
Sosial Share:

Actions (login required)

View Item View Item