PENENTUAN KONSENTRASI DAN UJI BIOAKTIVITASFAKTOR PERTUMBUHAN DAN HORMON STEROID KELAMIN PRODUK SEL MONOLAYER SEL KUMULUS DAN SEL EPITEL TUBA FALLOPII SAPI BALI SEBAGAI PEMACU PERTUMBUHAN

I GUSTI NUGRAH BAGUS TRILAKSANA, 090114549 D (2007) PENENTUAN KONSENTRASI DAN UJI BIOAKTIVITASFAKTOR PERTUMBUHAN DAN HORMON STEROID KELAMIN PRODUK SEL MONOLAYER SEL KUMULUS DAN SEL EPITEL TUBA FALLOPII SAPI BALI SEBAGAI PEMACU PERTUMBUHAN. Disertasi thesis, UNIVERSITAS AIRLANGGA.

[img]
Preview
Text (ABSTRAK)
1.pdf

Download (115kB) | Preview
[img] Text (FULLTEXT)
gdlhub-gdl-s2-2009-trilaksana-9497-disk26-8.pdf
Restricted to Registered users only

Download (955kB) | Request a copy
Official URL: http://lib.unair.ac.id

Abstract

Sapi Bali merupakan ternak potong murni Indonesia yang memiliki beberapa keunggulan antara lain, mudah beradaptasi terhadap lingkungan dan memiliki persentase karkas yang cukup tinggi. Populasi sapi Bali di pulau Bali diperkirakan mulai menurun sebagai akibat pesatnya perkembangan pariwisata sehingga terjadi penurunan lahan dan minat petani untuk mengembangkan sektor petemakan. Pengiriman antar pulau dan pemotongan hewan pada umur produktif juga dapat mengakibatkan penurunan populasi disamping sistem petemakan yang dilakukan masih bersifat tradisional sehingga angka kelahiran dan pertumbuhan berat badan masih rendah. Penggunaan sel kumulus, sel epitel tuba Fallopii dan endometrium sebagai ko-kultur dalam media biakan embrio telah banyak dilaporkan dapat meningkatkan angka cleavage embrio, hal ini menunjukkan bahwa sel kumulus dan sel epitel tuba Failopii menghasilkan substansi yang dapat memacu pertumbuhan embrio. Estrogen dan progesteron merupakan hormon steroid kelamin yang terutama diproduksi oleh ovarium. Insulin-like Growth Factor 1 (IGF-1) juga diproduksi oleh sel granulosa folikel yang berperan dalam proses steroidogenesis dalam folikel. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk menganalisis kemampuan sel kumulus dan sel epitel tuba sapi Bali yang dibiakkan secara monolayer sebagai ko-kultur media biakan embrio sapi, menganalisis produk sel yang dihasilkan oleh biakan monolayer sel kumulus dan sel epitel tuba sapi Bali serta penggunaan produk sel biakan monolayer sebagai pemacu pertumbuhan pada sapi Bali betina umur 7 – 8 bulan . Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratorik. Dalam penelitian ini digunakan organ reproduksi (ovarium dan tuba Fallopii) sapi Bali betina yang diperoleh dari Rumah Potong Hewan Mambal Kabupaten Badung Propinsi Bali. Untuk mendapatkan sel kumulus, dilakukan aspirasi pada folikel ovarium yang berdiameter 2 2 mm dengan menggunakan spuit 10 ml dengan jarum ukuran 18 G yang telah diisi dengan t 0,5 ml media biakan (TCM 199). Hasil aspirasi folikel ditampung dalam tabung gelas steril kemudian dilakukan sentrifugasi 1000 x g selama 10 menit. Cairan supematan dibuang, selanjutnya bagian yang mengendap (pellet) dicuci dengan menambahkan 3 ml media biakan TCM 199 yang mengandung 10 % FCS dan dilakukan sentrifugasi kembali dengan kecepatan 1000 x g selama 10 menit. Cairan supernatan kembali dibuang dan bagian pellet ditambahkan dengan media TCM 199 yang mengandung 10 % FCS dengan perbandingan 1 : 1 sehingga terbentuk suspensi sel. Dilakukan pengenceran suspensi sel dengan media TCM 199 yang mengandung 10 % FCS dengan perbandingan 1 : 9 kemudian dihitung konsentrasi sel dalam tiap ml media. Konsentrasi sel yang diperoleh adalah 1,9 x 106 sel/ml media. Untuk mendapatkan sel epitel tuba, dilakukan tripsinasi pada lumen tuba dengan memasukkan larutan 0,125 % tripsin kedalam lumen tuba dan lumen tuba diikat pada kedua ujungnya kemudian diinkubasi pada suhu 37 °C selama 15 menit. Setelah inkubasi, cairan dan lumen tuba ditampung dalam tabung gelas steel dan lumen tuba dibilas dengan media biakan (TCM 199). Hasil bilasan ditampung pada tabung gelas yang sama, selanjutnya dilakukan sentrifugasi 1000 x g selama 10 menit. Cairan supernatan dibuang, selanjutnya bagian yang mengendap (pellet) dicuci dengan menambahkan 3 ml media biakan TCM 199 yang mengandung 10 % FCS dan dilakukan sentrifugasi kembali dengan kecepatan 1000 x g selama 10 menit. Cairan supernatan kembali dibuang dan bagian pellet ditambahkan dengan media TCM 195 yang mengandung 10 % FCS dengan perbandingan 1 : 1 sehingga terbentuk suspensi sel. Dilakukan pengenceran suspensi sel dengan media TCM 199 yang mengandung 10 % FCS dengan perbandingan 1 : 9 kemudian dihitung konsentrasi sel dalam tiap ml media. Konsentrasi -sel yang diperoleh adalah 1,9 x 106 sel/ml media. Untuk membiakan sel kumulus dan sel epitel tuba, diambil 50 pl media yang mengandung sel lalu dipindahkan pada cawan petri yang berisi 450 #956;i media TCM 199 + 10 % FCS tanpa atau dengan penambahan hipotaurin, kemudian diinkubasikan pada suhu 38,5 °C dengan tekanan 5 % CO2. Konsentrasi hipotaurin yang ditambahkan pada media biakan sel adalah 0 mM (tanpa hipotaurin), 4 mM dan 8 mM. Penggantian media dilakukan setiap 3 han sekali dengan mengambil 450 pi media biakan sel dan mengganti dengan 450 p1 media bare. Penentuan konsentrasi IGF-1 dan hormon steroid (estrogen dan progesteron) dilakukan pada media yang dipanen pada hari ke 6 dan 9 masa inkubasi. Penentuan konsentrasi IGF-1 dilakukan dengan metode Immuno Radio Metric Assay (IRMA) sedangkan penentuan konsentrasi estrogen dan progesteron dilakukan dengan metode Radio Immuno Assay (RIA). Uji bioaktivitas in vitro biakan sel kumulus dan sel epitel tuba dilakukan dengan menggunakannya sebagai ko-kultur dalam media biakan embrio. Embrio yang digunakan adalah embrio sapi Bali hasil fertilisasi in vitro yang telah mencapai fase s 8 sel atau 2 hari setelah fertilisasi kemudian dibiakan pada media dengan ko-kultur sel kumulus dan sel epitel tuba. Pengamatan perkembangan embrio dilakukan setiap hari dan penggantian media biakan dilakukan setiap 3 hari sekali sampai embrio mencapai fase a 32 sel atau 6 hari setelah fertilisasi. Uji bioaktivitas in vivo dilakukan dengan menyuntikan 10 ml produk sel biakan sel kumulus pada sapi Bali betina umur 7 – 8 bulan. Penyuntikan dilakukan 2 kali seminggu selama 6 minggu dan penimbangan berat badan dilakukan sebelum perlakuan dan diulang setiap minggu sampai 3 minggu setelah penyuntikan terakhir. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rataan konsentrasi IGF-1 produk sel biakan monolayer sel kumulus dengan lama inkubasi 6 hari dan konsentrasi hipotaurin 0 mM (tanpa hipotaurin), 4 mM dan 8 mM berturut-turut 303,33 ± 31,41 ng/ml ; 395,00 t 44,16 ng/ml dan 370,00 ± 26,08 ng/ml sedangkan dengan lama inkubasi 9 hari adalah 293,33 ± 33,86 ng/mI ; 341,68 t 33,71 ng/ml dan 308,33 ± 39,20 ng/mI. Rataan konsentrasi IGF-1 produl.1 sel biakan monolayer sel epitel tuba dengan lama inkubasi 6 hari dan konsentrasi hipotaurin 0 mM (tanpa hipotaurin), 4 mM dan 8 mM berturut-turut adalah 256,68 ± 21,60 ng/ml ; 275,00 ± 15,17 ng/ml dan 268,33 ± 24,83 nglml sedangkan dengan lama inkubasi 9 hari adalah 235,00 ± 20,74 ng/ml ; 271,67 ± 25,63 ng/ml dan 260,00 ± 20,00 ng/ml. Rataan konsentrasi estrogen produk sel biakan monolayer sel kumulus dengan lama inkubasi 6 hari dan konsentrasi hipotaurin 0 mM (tanpa hipotaurin), 4 mM dan 8 mM berturut-turut adalah 120,00 t 5,48 pg/ml ; 145,00 t 4,47 pg/ml dan 139,17 ± 3,76 pg/ml sedangkan dengan lama inkubasi 9 han adalah 111,68 ± 6,06 pg/ml ; 131,68 ± 6,06 pg/mI dan 130,83 t 5,85 pg/ml_ Rataan konsentrasi estrogen produk sel biakan monolayer sel epitel tuba dengan lama inkubasi 6 hari dan konsentrasi hipotaurin 0 mM (tanpa hipotaurin), 4 mM dan 8 mM berturut-turut adalah 114,17 ± 8,01 pg/mI ; 124,17 ± 5,85 pg/ml dan 111,67 ± 6,83 pg/ml sedangkan dengan lama inkubasi 9 hari adalah 112,50 ± 12,15 pg/mI ; 117,50 ± 6,12 pg/ml dan 120,83 ± 3,76 pg/ml. Rataan konsentrasi progesteron produk sel biakan monolayer sel kumulus dengan lama inkubasi 6 hari dan konsentrasi hipotaurin 0 mM (tanpa hipotaurin), 4 mM dan 8 mM berturut-turut adalah 1,03 ± 0,14 ng/ml ; 1,65 ± 0,17 ng/mi dan 1,59 ± 0,12 ng/mI sedangkan dengan lama inkubasi 9 had adalah 0,81 ± 0,18 ng/ml ; 1.65 ± 0,10 ng/mI dan 1,51 ± 0,12 ng/mi. Konsentrasi progesteron produk sel biakan monolayer sel epitel tuba dengan lama inkubasi 6 hari dan konsentrasi hipotaurin 0 mM (tanpa hipotaurin), 4 mM dan 8 mM berturut-turut adalah 0,84 ± 0,16 ng/ml ; 1,20 ± 0,25 ng/ml dan 1,17 ± 0,12 ng/ml sedangkan dengan lama inkubasi 9 hari adalah 0,66 ± 0,07 ng/ml ; 1,08 ± 0,12 ng/ml dan 1,07 ± 0,12 ng/ml. Persentase embrio sapi Bali yang mencafai fase 2 32 sel pada media biakan dengan ko-kuitur sel kumulus adalah 21,59 % (19 dari 88 embrio yang dibiakan) sedangkan pada media biakan dengan ko-kultur sel epitel tuba persentase embrio sapi Bali yang mencapai fase a 32 sel adalah 40 %( 28 dari 70 embrio yang dibiakkan). Rataan berat badan anak sapi Bali betina kelompok kontrol pada awal penelitian adalah 169,86 ± 9,6 kg dan pada akhir penelitian adalah 177,36 ± 9,32 kg sedangkan untuk kelompok yang mendapat injeksi produk sel pada awal penelitian adalah 152,00 ± 15,43 kg dan pada akhir penelitian adalah 170,79 + 15,54 kg. Analisis statistik menunjukkan bahwa konsentrasi IGF-1, estrogen dan progesteron produk sel biakan kumulus berbeda secara bermakna (p&lt;0,05) dengan produk sel biakan sel epitel tuba. Penambahan hipotaurin menyebabkan perbedaan yang bermakna (p&lt;0,05) terhadap konsentrasi IGF-1, estrogen dan progesteron balk pada biakan sel kumulus maupun pada biakan sel epitel tuba, sedangkan antara konsentrasi hipotaurin 4 mM dengan 8 mM tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna (p&gt;0,05). Lama Inkubasi menyebabkan perbedaan yang bermakna (p &lt; 0,05) terhadap konsentrasi IGF-1, estrogen dan progesteron produk sel. Terhadap perkembangan embrio dalam mencapai fase morula ( #8805; 32 sel), secara statitistik tidak ada perbedaan yang bermakna (p&gt;0,05) penggunaan sel kumulus dan sel epitel tuba sebagai ko-kultur media biakan embrio. Terhadap pertambahan berat badan, terdapat perbedaan yang bermakna (p&lt;0,05) antara sapi Bali umur 7 - 8 bulan yang mendapat injeksi (10 ml / ekor sebanyak 2 kali seminggu selama 6 minggu) produk sel biakan monolayer sel kumulus dengan yang tidak mendapat injeksi. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa sel kumulus dan sel epitel tuba Fallopii menghasilkan faktor pertumbuhan (IGF-1) dan hormon steroid kelamin (estrogen dan progesteron). Baik sel kumulus maupun sel epitel tuba Fallopii dapat dipergunakan sebagai ko-kultur dalam media biakan embrio. Produk sel biakan monolayer sel kumulus dapat digunakan sebagai pemacu pertumbuhan berat badan. Produksi faktor pertumbuhan dari biakan monolayer sel kumulus diharapkan dapat diproduksi dalam skala yang Iebih besar untuk meningkatkan produksi petemakan melalui peningkatan berat badan ternak. </description

Item Type: Thesis (Disertasi)
Additional Information: KKA KK Dis K 21/08 Tri p
Uncontrolled Keywords: Steroid sex hormones
Subjects: S Agriculture > SF Animal culture
Divisions: 09. Sekolah Pasca Sarjana > Ilmu Kedokteran
Creators:
CreatorsNIM
I GUSTI NUGRAH BAGUS TRILAKSANA, 090114549 DUNSPECIFIED
Contributors:
ContributionNameNIDN / NIDK
Thesis advisorLaba Mahaputra, Prof., Dr., M.Sc., drhUNSPECIFIED
Depositing User: Tn Fariddio Caesar
Date Deposited: 20 Oct 2016 22:51
Last Modified: 13 Jun 2017 23:14
URI: http://repository.unair.ac.id/id/eprint/31984
Sosial Share:

Actions (login required)

View Item View Item