VIKTIMISASI POLITIK DI INDONESIA ( Suatu Studi Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kasus Partai Rakyat Demokratik )

SURYA ANORAGA (2002) VIKTIMISASI POLITIK DI INDONESIA ( Suatu Studi Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kasus Partai Rakyat Demokratik ). Disertasi thesis, UNIVERSITAS AIRLANGGA.

[img]
Preview
Text (ABSTRAK)
ABSTRAK.pdf

Download (121kB) | Preview
[img]
Preview
Text (FULLTEXT)
gdlhub-gdl-s3-2007-anoragasur-3498-dish13-%29.pdf

Download (2MB) | Preview
Official URL: http://lib.unair.ac.id

Abstract

Peristiwa 27 Juli 1996 (Penyerangan Kantor Dewan Pengurus Pusat Partai Demokrasi Indonesia, disingkat DPP PDI Megawati) secara langsung maupun tidak langsung mengakibatkan efek penderitaan aktivis PDI Pro Megawati. Peristiwa tersebut menjadi momentum penguasa (Orde Baru di bawah kekuasaan Soeharto) untuk menuduh aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD) sebagai dalang/pelaku (kerusuhan kota Jakarta sebagai dampak peristiwa 27 Juli) di balik kerusuhan tersebut. Pada saat yang bersamaan penguasa mengeluarkan kebijakan bahwa PRD adalah sebuah gerakan komunisme atau menstigmatisasi sebagai Partai Komunis Indonesia (PKI) dengan alasan bawwa aktivitas dan gerakannya mirip dengan cara-cara PKI. Selanjutnya, penguasa melakukan pengejaran, penangkapan dan tembak di tempat terhadap sejumlah aktivis PRD dan organisasi di bawah payung PRD (seperti Jaringan Kerja Kebudayaan Rakyat (Jakker), Pusat Perjuangan Buruh Indonesia (PPBI) dan Solidaritas Mahasiswa Untuk Demokrasi (SMID). Sikap dan tindakan penguasa yang demikian itu mengakibatkan timbulnya pelbagai penderitaan secara fisik maupun non fisik yang dialami sejumlah aktivis PRD. Aktivis tersebut di Jawa Timur seperti Abdul Rouf, Nia Damayanti, Zaenal Abidin dan lain-lain. Mereka ditangkap dan ditahan tanpa mengindahkan prosedur hukum yang berlaku yakni Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Begitu juga aktivis lainnya seperti Budiman Sudjatmiko, Garda Sembiring, Putut Aristoko, Ken Budha Kusumandaru dan lain-lain mengalami viktimisasi. Mereka mendekam beberapa tahun di penjara setelah vonis pengadilan, yang bersangkutan didakwa melakukan aktivitas subversi . Viktimisasi politik lainnya adalah penculikan terhadap Faisal Riza, Waluja Jati, Mugiyanto, Aan Rusdianto dkk. Serta penghilangan orang secara paksa seperti yang dialami oleh Herman Hendrawan, Widji Tukul, Bimo Petrus Anugerah dan aktivitas pro demokrasi lainnya, yang sampai sekarang belum diketahui nasib keberadaannya. Dari sini timbul pertanyaan apakah hukum pidana telah/belum memberikan perlindungan (hukum) terhadap korban kejahatan politik. Dan apakah faktor- faktor (yuridis dan sosio-politis) yang menyebabkan timbulnya korban tersebut. Untuk menjawab hal tersebut, peneliti menggunakan 2 tipe penelitian yakni penelitian hukum normatif dan penelitian hukum empiris. Khusus penelitian hukum normatif antara lain menggunakan pendekatan kasus (case approach). Pendekatan ini dipergunakan untuk menyelidiki dan menganalisis berbagai peristiwa (hukum) tertentu, dalam hal ini adalah korban kejahatan politik yang dialami oleh sejumlah aktivis PRD. Pelbagai peraturan hukum pidana (sipil maupun militer) seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM) dan KUHAP (termasuk peraturan pelaksanannya), UU No. 26 tahun 1997 tentang Hukum disiplin Prajurit ABRI dan UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, secara langsung belum memadai memberikan perlindungan hukum terhadap korban kejahatan. Yang dimaksudkan perlindungan terhadap korban adalah berkaitan dengan hak-hak asasi korban misalnya hak mendapatkan bantuan fisik, hak mendapatkan bantuan penyelesaian permasalahan, hak mendapatkan kembali haknya, hak mendapatkan pembinaan dan rehabilitasi, hak menolak menjadi saksi (bila hal ini membahayakan dirinya, hak memperoleh perlindungan dari ancaman pihak pembuat korban bila melapor atau menjadi saksi dan hak memperoleh ganti kerugian (restitusi/kompensasi) dari pelaku maupun negara. Namun demikian dalam lapangan hukum lainnya (hukum administrasi) ditemukan perlindungan hukum terhadap korban kejahatan berupa hak memperoleh ganti kerugian (Pasal 117 ayat 2 UU. No.5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara) serta hak memperoleh rehabilitasi dalam sengketa kepegawaian (penjelasan Pasal 53 ayat 1 dan penjelasan Pasal 121 ayat 2 UU No. 5 tahun 1996). Perlindungan hukum berupa ganti kerugian atau rehabilitasi tersebut berlaku juga terhadap korban kejahatan (pejabat tatausaha militer yang mengeluarkan keputusan keputusan Tatausaha Angkatan Bersenjata) sebagaimana diatur dalam UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer (Pasal 265 ayat 1, Pasal 342 dan Pasal 343). Ketentuan-ketentuan tersebut belum secara menyeluruh memberikan perlindungan hukum hak asasi korban kejahatan. Kejahatan politik secara konsepsional menurut Dionysios Spinellis dikelompokkan menjadi 2 kategori, pertama kejahatan yang dilakukan oleh pemegang kekuasaan (crimes of politicians in office) yaitu pejabat/penguasa/politisi. Sedangkan yang kedua kejahatan terhadap sistem kekuasaan, yang banyak dilakukan oleh warga masyarakat. Tak dapat disangkal bahwa munculnya kejahatan politik secara faktual mengakibatkan pelbagai penderitaan baik secara fisik, psikologis, ekonomi dan sosial terhadap sejumlah aktivis PRD. Dengan kata lain bahwa viktimisasi (politik) terjadi oleh karena adanya pelaku atau pihak Korban (criminal-victim relationship). Apakah korban kejahatan politik (korban tindakan sewenang-wenang dan atau korban penyalahgunaan kekuasaan) memperoleh perlindungan hukum. Mengenai hal ini dapat ditelusuri dalam UU No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (jo. UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia). UU No.26 Tahun 2000 tersebut telah memberikan perlindungan terhadap para korban kejahatan politik berupa tindakan sewenang-wenang dari penguasa termasuk penculikan dan atau penghilangan orang secara paksa (Pasal 34, 35 jo. Pasal 5 UU No. 26 Tahun 2000), akan tetapi korban kejahatan politik berupa penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) termasuk pemberian sanksi pidana terhadap pelakunya, tidak secara tegas atau cermat diatur dalam undang-undang tersebut. Berdasarkan temuan dalam penelitian, terdapat penderitaan berupa kerugian secara ekonomi, fisik, psikologis dan sosial terhadap sejumlah aktivis PRD dan atau organisasi di bawahnya (secondary victimization), yang disebabkan oleh kejahatan (politik) struktural oleh penguasa Orde Baru (beserta institusi TNI). Kejadian tersebut menjelang pelaksanaan Sidang Umum MPR 1998. Situasi tersebut memungkinkan penyebab terjadinya korban, yang oleh Separovic disebutkan bahwa faktor situasional, konflik kepentingan (teori konflik) adalah faktor penyebab timbulnya korban. Faktor viktimogen yang sangat penting lainya adalah faktor sosio-politis yaitu pelaku kejahatan di bawah kekuasaan Presiden Soeharto (dengan bekerjasama elit TNI dan birokrasi) bertujuan untuk mempertahankan kursi kekuasaan atau melanggengkan kekuasaan status quo. Kekuasaan itu berhadapan dengan sejumlah korban yang menghendaki sistem kekuasaan status quo dihentikan atau melakukan perubahan-perubahan yang mendasar kearah demokratisasi. Sedangkan faktor yuridis berupa peraturan perundang-undangan (seperti UU Subversi dan KUHP sebagai faktor ikutan) secara sengaja dipergunakan atau dipertahankan sebagai instrumen/alat penguasa Orde Baru untuk melakukan kejahatan politik (tindakan sewenang-wenang dan atau penyalahgunaan kekuasaan). Faktor lainnya adalah rendahnya atau merosotnya nilai-nilai moral/religius penguasa Orde Baru (TNI, birokrasi dan Golkar), faktor ketidakpatuhan elit penguasa Orde Baru terhadap hukum serta faktor struktur kekuasaan (TNI dan birokrasi) yang otoriter telah menelan sejumlah korban aktivis PRD. Faktor-faktor tersebut merupakan implementasi dari pendekatan sobural (akronim dari nilai-nilai sosial , aspek budaya dan faktor struktural masyarakat). Untuk mengungkap pelaku kejahatan politik (tindakan sewenang¬-wenang atau penyalahgunaan kekuasaan pasca peristiwa 27 Juli 1996) yang telah menelan sejumlah korban aktivis PRD, berdasarkan UU. No. 26 Tahun 2000 Pasal 43 seyogjanya dilakukan melalui proses pengadilan HAM ad hoc bukannya melalui peradilan umum atau Mahkamah Militer Tinggi (Mahmilti) yang sangat diragukan kredibilitasnya, termasuk pula untuk mengungkap pelaku kejahatan penghilangan secara paksa/penculikan, yang telah menimbulkan penderitaan fisik. psikologis dan ekonomi para korban atau keluarga korban, yang sampai sekarang korban belum diketahui nasib keberadaanya. Berdasarkan keterangan dari saksi/korban yang telah dibebaskan dari tuntutan, tuntutan melalui proses pengadilan HAM ad hoc adalah hal yang wajar, mengingat para pelaku berasal dari institusi elit TNI (Kopassus) dan bilamana diadili melalui Mahmilti tidak akan memberikan kepuasan keadilan (substantial justice) para korban/keluarga korban dan masyarakat pada umumnya.</description

Item Type: Thesis (Disertasi)
Additional Information: KKB KK-2 Dis H 13/03 Ano v
Uncontrolled Keywords: Abuse of political power, secondary victimization, latent or predisposed victims, participating vicitims, substantial justice
Subjects: H Social Sciences > HV Social pathology. Social and public welfare > HV1-9960 Social pathology. Social and public welfare. Criminology > HV6001-7220.5 Criminology > HV6250-6250.4 Victims of crimes. Victimology
K Law > K Law (General) > K1-7720 Law in general. Comparative and uniform law. Jurisprudence > K(520)-5582 Comparative law. International uniform law > K4720-4780 National defense. Military law > K4740-4760 Military criminal law and procedure
Divisions: 09. Sekolah Pasca Sarjana > Ilmu Hukum
Creators:
CreatorsNIM
SURYA ANORAGAUNSPECIFIED
Contributors:
ContributionNameNIDN / NIDK
Thesis advisorJ. E. SabetapyUNSPECIFIED
Depositing User: Tn Joko Iskandar
Date Deposited: 18 Oct 2016 04:00
Last Modified: 05 Jul 2017 19:18
URI: http://repository.unair.ac.id/id/eprint/32500
Sosial Share:

Actions (login required)

View Item View Item