PENGATURAN HUKUM DAN PELAKSANAAN TATA NIAGA PRODUK PERTANIAN

MUH. GUNTUR, 099612317 D (2002) PENGATURAN HUKUM DAN PELAKSANAAN TATA NIAGA PRODUK PERTANIAN. Disertasi thesis, UNIVERSITAS AIRLANGGA.

[img]
Preview
Text (ABSTRAK)
gdlhub-gdl-s3-2007-gunturmuh-3458-dish07-k.pdf

Download (598kB) | Preview
[img]
Preview
Text (COVER-BAB 4)
gdlhub-gdl-s3-2007-gunturmuh-3458-dish07-3.pdf

Download (2MB) | Preview
[img]
Preview
Text (BAB 5-DAPUS)
gdlhub-gdl-s3-2007-gunturmuh-3458-dish07-3 B.pdf

Download (1MB) | Preview
Official URL: http://lib.unair.ac.id

Abstract

Di bidang tata niaga, fungsi yang harus dijalankan oleh negara (cq. Pemerintah) adalah fungsi pengaturan, fungsi penyelenggara atau fasilitator, fungsi pengawasan atau pengendalian, fungsi penjaga keamanan dan ketertiban, serta fungsi wasit. Fungsi-fungsi itu tentu saja dimaksudkan agar negara dapat mewujudkan kesejahteraan rakyat banyak, termasuk petani yang hingga saat ini masih tertinggal. Dalam kenyataannya, pelaksanaan fungsi-fungsi tersebut –khususnya di bidang tata niaga produk pertanian—tidak atau belum mengarah pada upaya mewujudkan secara agregat tingkat kesejahteraan rakyat banyak. Kebijakan pemerintah seringkali tidak berpihak pada kepentingan rakyat banyak, khususnya petani. Akibatnya, kondisi petani semakin tidak berdaya. Padahal, dimasa krisis seperti ini peran petani diharapkan sangat besar sebagai pemasok kebutuhan pokok masyarakat. Ketidakberdayaan petani dalam tata niaga produk pertanian diperparah lagi oleh tidak memadainya peraturan perundang-undangan yang menjadi acuan atau aturan main secara komprehensif bagi petani, pelaku tata niaga, dan pemerintah, sehingga tidak mengherankan jika pengaturan hukum di bidang tata niaga dewasa ini lebih banyak didasarkan pada surat keputusan menteri (Kepmen) atau paling tinggi diatur dengan surat keputusan presiden (Keppres). Dari segi yuridis, keadaan tersebut tentu saja menimbulkan persoalan hukum yaitu masalah kewenangan dan masalah tolok ukur pengaturan komoditas yang dapat ditataniagakan. Dalam hal kewenangan, masalahnya adalah atas dasar apa pemerintah merasa berwenang mengatur soal tata niaga produk pertanian, sedang kita ketahui bahwa hingga saat ini belum ada undang-undang yang mengatur khusus tentang tata niaga atau undang-undang perdagangan. Pengaturan hukum di bidang tata niaga produk pertanian selama ini hanya didasarkan pada Keppres dan Kepmen yang terkait, misalnya Keppres Nomor 8 Tahun 1980 jo. Nomor 20 Tahun 1992 tentang Tata Niaga Cengkeh dan Keppres Nomor 22 Tahun 1998 tentang Perdagangan Cengkeh. Di samping itu, ada Keppres Nomor 50 Tahun 1995 jo. Nomor 45 Tahun 1997 jo. Nomor 19 Tahun 1998 dan Nomor 29 Tahun 2000 tentang Badan Urusan Logistik yang selama ini sebagai lembaga pelaksana tata niaga beras dan gula. Selanjutnya Keppres tersebut dijabarkan lagi dalam berbagai keputusan menteri yang terkait, misalnya keputusan menteri perindustrian dan perdagangan, keputusan menteri pertanian, dan lain-lain. Meskipun demikian, tetap saja keputusan-keputusan tersebut tidak memadai dalam menyelesaikan permasalahan hukum di bidang tata niaga produk pertanian. Di samping kurang tegasnya kewenangan pengaturan hukum di bidang tata niaga produk pertanian, dari segi substansi atau materi yang diatur, kebijakan pemerintah yang dibuat selama ini belum mencerminkan prinsip-prinsip keadilan sosial sebagaimana yang diamanahkan dalam Pembukaan dan Batang Tubuh, khususnya Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yang menghendaki agar pengelolaan asset negara dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Seyogianya, landasan hukum wewenang pengaturan di bidang tata niaga mengacu pada kewenangan konstitusional sebagaimana tercantum pada Pasal 33 ayat 2 dan 3 UUD 1945. Di samping sebagai landasan hukum, Pasal 33 ayat 2 dan 3 UUD 1945 merupakan landasan moral bagi pemerintah dan pelaku tata niaga lainnya dalam mengelola dan memanfaatkan asset bumi, air, dan kekayaan alam Indonesia dalam rangka mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dalam hal tolok ukur, masalahnya adalah atas dasar apa sebuah komoditas dapat ditataniagakan dan yang tidak dapat ditataniagakan, juga belum jelas. Ketidakjelasan tolok ukur ini menyebabkan pemerintah secara sepihak mengeluarkan keputusan yang bersifat membatasi atau melonggarkan perdagangan sebuah komoditas, atau menyerahkan kepada badan swasta untuk mengatur tata niaganya. Dengan tidak adanya tolok ukur atau kriteria yang jelas, mengakibatkan banyak mata dagangan atau komoditas pertanian yang rusak atau kualitasnya menurun karena ketidakjelasan aturan tata niaganya. Jika ada tolok ukur yang jelas yang dituangkan ke dalam peraturan perundang-undangan maka persoalan komoditas apa saja yang dapat ditataniagakan tentunya bisa diatasi. Berdasarkan praktek dan teori tata niaga, maka produk pertanian yang dapat dijadikan komoditas tata niaga dibagi dalam dua kategori, yaitu tolok ukur intensional dan tolok ukur ekstensional. Tolok ukur intesional terdiri atas tolok ukur komoditas strategis, komoditas yang berbahaya bagi kelangsungan hidup manusia, dan komoditas yang telah diperdagangkan pada bursa komoditas berjangka (futures trading). Sedangkan tolok ukur ekstensional terdiri atas tolok ukur komoditas yang mengalami hambatan dalam perdagangannya, komoditas bahan baku obat-obatan, dan komoditas yang jumlah dan jenisnya tergolong Iangka. Di samping itu, masalah tata niaga produk pertanian juga tidak lepas kaitannya dengan masalah fungsi tata niaga produk pertanian itu sendiri. Apa sebetulnya fungsi tata niaga produk pertanian, dan bagaimana fungsi tata niaga itu dijalankan agar dapat meningkatkan kesejahteraan pertani dan rakyat banyak, belum dilaksanakan optimal. Secara teoretis, fungsi tata niaga produk pertanian dibedakan dalam dua kategori, yaitu fungsi manajerial dan fungsi transformasional. Fungsi manajerial terdiri atas fungsi pembelian (buying) dan fungsi pengumpulan (assembling), fungsi penjualan (selling) dan penyebaran (distributing), fungsi pengangkutan (transportations), fungsi menghimpun atau penyimpanan (storage), fungsi pengolahan dan pembakuan (standardizing), fungsi pembiayaan atau pendanaan (financing), penaggulangan risiko (risk taking), dan fungsi informasi pasar (market information). Sedang fungsi transformasional terdiri atas fungsi distribusi, fungsi stabilisasi harga dalam negeri, fungsi pemerataan penyebaran, fungsi stimulus pertumbuhan, fungsi pengamanan cadangan atau stok nasional, fungsi pengembangan ekonomi kerakyatan, fungsi perlindungan hukum, dan fungsi meningkatkan kesejahteraan rakyat. Namun dalam prakteknya, beberapa fungsi transformasional belum banyak dilaksanakan, yakni fungsi pemerataan penyebaran, fungsi stimulus pertumbuhan, fungsi pengamanan cadangan atau stok nasional, fungsi pengembangan ekonomi kerakyatan, fungsi perlindungan hukum, dan fungsi meningkatkan kesejahteraan rakyat. Bahkan beberapa kebijakan pemerintah dalam praktek tata niaga bertentangan dengan fungsi transformasional tersebut. Padahal, jika dilaksanakan secara sungguh-sungguh, maka fungsi transformasional inilah yang bisa diharapkan mampu meningkatkan kesejahteraan petani maupun masyarakat pada umumnya. Agar pelaksanaan fungsi tata niaga produk pertanian bisa mencapai sasarannya, maka dalam merumuskan ketentuan atau aturan hukum di bidang tata niaga produk pertanian, terlebih dahulu harus dirumuskan prinsip-prinsip keadilan sosial di bidang tata niaga produk pertanian. Tidak adanya prinsip-prinsip tata niaga produk pertanian menyebabkan petani dan rakyat banyak selalu dalam posisi yang lemah. Mereka selalu termarjinalkan dan tidak diperhitungkan dalam distribusi pendapatan, yang seharusnya mereka juga punya hak yang sama dengan komponen masyarakat lainnya. Hal demikian itu tentu saja merefleksikan adanya struktur perlakukan tidak adil (injustice) antarsesama anak bangsa yang kebetulan berprofesi sebagai petani yang jumlahnya tidak sedikit. Oleh karena itu, sudah saatnya pemerintah mengubah paradigma fungsi negara yang selama ini berorientasi dan hanya menguntungkan kalangan atas (konglomerat) yang jumlahnya segelintir dengan paradigma fungsi negara yang berorientasi kepada kepentingan petani dan rakyat banyak yang memang jumlahnya sangat banyak. Perubahan paradigma ini membawa konsekuensi perlunya ditetapkan prinsip-prinsip keadilan sosial di bidang tata niaga produk pertanian, yakni prinsip perlindungan hukum, pemberdayaan, keberpihakan, kompetisi yang sehat, institusionalisasi alternatif, distribusi pendapatan, kelancaran distribusi, efektif dan efisien, serta prinsip itikad baik. Dengan adanya prinsip-prinsip keadilan sosial, yang nantinya dituangkan ke dalam peraturan perundang-undangan di bidang tata niaga produk pertanian atau undang-undang perdagangan, maka diharapkan agar dalam pelaksanaannya di lapangan tidak menyimpang lagi, sehingga apa yang digariskan dalam Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, bisa terwujud. Seiring dengan perubahan paradigma dan berlakunya otonomi daerah yang tertuang dalam Undang-undang undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, maka seyogianya wewenang pengaturan operasional di bidang tata niaga produk pertanian lebih banyak diletakkan pada pemerintah daerah melalui instrumen hukum Peraturan Daerah. Dasar hukum kewenangan ini dapat dilihat dalam Pasal 10 dan 11 Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999. Pemerintah daerahlah yang seharusnya memegang kendali operasional pengaturan tata niaga produk pertanian di setiap daerah. Adapun kewenangan pemerintah pusat bersifat memfasilitasi dan mengkoordinasi kebijakan nasional dengan kebijakan yang ditempuh daerah. Pemerintah pusat tidak lagi mengatur atau mengurus soal institusi penyelenggara tata niaga dan soal teknis operasional di setiap daerah. Akan tetapi pemerintah pusat tidak bisa lepas tangan atau membiarkan suatu daerah yang kurang beruntung, baik dari segi sumber daya alam dan sumber daya manusia maupun dari segi pendapatan asli daerah. Pemerintah pusat harus tetap mengupayakan dan memberdayakan daerah-daerah yang kurang beruntung tersebut hingga berada pada tahap yang memungkinkan daerah itu slap untuk bersaing dengan daerah lain dalam mengelola daerahnya berdasarkan potensi yang dimilikinya. Dalam hal ini, pemerintah pusat tetap mengupayakan sumber-sumber pembiayaan (financing) bagi setiap daerah otonom dan memberikan akses yang sama dalam memperoleh fasilitas kredit, pemasaran, pengembangan sumber daya manusia, dan lain-lain. </description

Item Type: Thesis (Disertasi)
Additional Information: KKB KK-2 Dis. H. 07/03 Gun p
Uncontrolled Keywords: Trade arrangement, trade law, agricultural law, agricultural products, peasant, government authority, empowerment, social justice, welfare state, empowering state.
Subjects: K Law > K Law (General)
K Law > K Law (General) > K1-7720 Law in general. Comparative and uniform law. Jurisprudence > K(520)-5582 Comparative law. International uniform law > K3840-4375 Regulation of industry, trade, and commerce. Occupational law > K3941-3974 Trade and commerce
T Technology > TD Environmental technology. Sanitary engineering > TD920-934 Rural and farm sanitary engineering
Divisions: 09. Sekolah Pasca Sarjana > Ilmu Hukum
Creators:
CreatorsNIM
MUH. GUNTUR, 099612317 DUNSPECIFIED
Contributors:
ContributionNameNIDN / NIDK
Thesis advisorRudhi Prasetya, Prof., Dr., S.HUNSPECIFIED
Thesis advisorPhilipus M. Hadjon, Prof., Dr., S.HUNSPECIFIED
Depositing User: Nn Dhani Karolyn Putri
Date Deposited: 21 Oct 2016 00:06
Last Modified: 11 Jul 2017 19:17
URI: http://repository.unair.ac.id/id/eprint/32611
Sosial Share:

Actions (login required)

View Item View Item