MADE YUDDY DARMADI
(2009)
PERKAWINAN NYEBURIN BERBEDA WANGSA DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN HUKUM ADAT DI BALI (STUDI KASUS DI DESA ADAT WANASARI, TABANAN).
Skripsi thesis, UNIVERSITAS AIRLANGGA.
Abstract
Pada masyarakat Bali, sistem kekeluargaan yang dianut adalah sistem kebapakan (Vaderrachttelijk)Sistem kebapakan di Bali sangat nyata terlihat, dimana istri beralih ke pihak keluarga suaminya, demikian pula selanjutnya anak-anaknya akan masuk keluarga ayah (suaminya) dan tidak ada hubungan lurus kepada keluarga ibunya. Namun karena alasan-alasan dan faktor-faktor tertentu perkawinan yang lain bisa terjadi dimana bukan wanita yang masuk dalam keluarga laki-laki (purusa) tetapi laki-laki yang masuk kedalam keluarga si wanita, yang dikenal dengan perkawinan nyeburin. Perkawinan nyeburin yang biasa terjadi, perkawinan Sesama wangsa atau beda wangsa (wangsa suami lebih tinggi dari wangsa istri). Jika perkawinan yang terjadi adalah perkawinan Nyeburin beda Wangsa (wangsa suami lebih rendah dari wangsa istri) apakah perkawinan nyeburin tersebut dapat dinyatakan sah dan apakah akibat hukumnya menurut hukum adat Bali? Untuk menemukan jawaban diatas, dilakukan penelitian di Desa wanasari, Tabanan, Setelah bahan hukum dikumpulkan, kemudian diolah dan dianalisis secara kualitatif. Dalam pengolahan dan analisis bahan hukum. Pertama-tama bahan hukum dikualifikasikan menurut permasalahan yang diajukan, kemudian disusun secara sistematis sesuai dengan kerangka penulisan yang telah disiapkan. Keseluruhan bahan hukum kemudian dianalisis dengan menggunakan penafsiran-penafsiran untuk dapat diperoleh kesimpulan, selanjutnya disajikan secara deskriptif analisis. Hasil penelitian menunjukkan Perkawinan nyeburin berbeda Wangsa dimana kewangsaan si istri lebih tinggi dari kewangsaan si suami menurut hukum adat Bali dinyatakan tidak sah karena melanggar peswara-peswara, sesana-sesana dan dresta-dresta (kebiasaan-kebiasaan) desa adat. Akibat hukum perkawinan nyeburin berbeda wangsa dimana kewangsaan si istri lebih tinggi dari kewangsaan suami menurut Hukum Adat Bali adalah : Hak dan kewajiban Suami istri di Desa Adat hilang karena telah dikeluarkan dari Desa adat. Kedudukan anak yang lahir pada perkawinan nyeburin beda wangsa tetap mengikuti garis keturunan ibunya, namun tidak diperkenankan menyungsung Pura Warga Catur Brahmana Wanasari (sanggah/merajan ibunya) karena perkawinan itu dianggap tidak sah. Karena perkawinannya dianggap tidak sah maka kewangsaan masing-masing suami istri tetap seperti semula sebelum dilakukan perkawinan.
Actions (login required)
|
View Item |