Critical Thinking for Critical Times
Abstrak
Revolusi Iran tahun 1979 menjadi sebuah titik balik terhadap dinamika politik, budaya, dan sosial yang ada di Iran. Pemimpin revolusi, Khomeini, ingin Iran menjadi negara mandiri secara militer, salah satunya adalah membentuk milisi yang disebut Basij e-Mustafasin. Basij adalah milisi yang loyal terhadap Ayatollah yang terdiri dari masyarakat sipil. Basij telah begitu aktif terlibat dalam berbagai macam konflik yang melibatkan kepentingan Iran, seperti perang Irak-Iran 1980, perang Lebanon 2006, hingga perang sipil Suriah 2011. Menurut Paul Bucala (2017), penggunaan milisi Basij Iran dalam Perang Sipil Suriah yang terjadi dinilai tidak efektif, menghabiskan dana dan memunculkan korban yang cukup banyak, selain itu terdapat sebuah anomali dimana milisi yang seharusnya digunakan untuk bertahan di dalam teritorial negara (Calder, 1910). Namun hal ini tidak membuat Ali Khameini sebagai pemimpin agung untuk meminimalisir penggunaan milisi Basij pada Perang Sipil Suriah. Penelitian ini membuktikan bahwa terdapat konsistensi serta peningkatan dalam penggunaan milisi Basij dikarenakan budaya strategis yang mengakar dalam kultur militer Iran yaitu exporting sectarianism dan ideological army mobilization yang di sebutkan oleh Kamran Taremi (2014). Melalui hal tersebut peneliti akan menggunakan kerangka pemikiran Ole Waever tentang konstruksi sejarah sebagai identitas utama dari budaya strategis. Peneliti juga menggunakan kerangka beprikir militerisasi sipil oleh Julian Schofield (2007) untuk melihat fenomena milisi yang ada di Iran. Laporan penelitian ini kemudian menunjukkan bahwa adanya sebuah penyerapan pemahaman kolektif budaya strategis dalam perumusan kebijakan luar negeri Iran khususnya dalam bidang militer.
Kata-kata Kunci: Suriah, Perang Sipil, Iran, Budaya Strategis, Basij
Kemunculan konflik berkepanjangan yang terjadi di Suriah dimulai pada 25 Maret 2011. Puluhan ribu masyarakat Suriah melakukan demonstrasi di Kota Daraa yang bertujuan untuk menuntut mundur rezim Bashar Al-Assad. Hal ini dilatarbelakangi oleh ketidakpuasan rakyat Suriah terhadap kinerja dinasti pemerintah Al-Assad yang telah berdiri selama kurang lebih 40 tahun (Al-Jazeera, 2018). Kemudian hal ini diperparah dengan pemberlakuan peraturan undang-undang darurat yang melakukan pembatasan komunikasi terhadap masyarakat Suriah. Di dalam dinamika demonstrasi tersebut, terjadi baku hantam antara masyarakat sipil dengan aparatur negara berujung dengan tewasnya 20 demonstran. Hal ini kemudian diperparah dengan kemunculan sebuah kabar dimana 15 anak dibawah umur mendapatkan siksaan dari aparatur negara Suriah. Hal ini memicu provokasi aksi demonstrasi lainnya, seperti bom bunuh diri di Hamat, aksi membakar diri di Dael dan penyerangan terhadap kantor polisi di Damaskus (Al-Jazeera, 2018). Melihat hal tersebut Presiden Bashar al-Assad dengan agresif menurunkan pasukan militer untuk membuat keadaan menjadi lebih terkontrol. Namun pada kenyatannya situasi menjadi semakin parah, tercatat hingga September 2015, terdapat sekitar 400.000 korban jiwa dari berbagai pihak akibat dari perang sipil tersebut (Bremmer, 2018).
Kedekatan Iran dan Bashar Al-Asshad dipererat dengan kesamaan aliran agama, yaitu Islam Syiah dimana Bashar menganut aliran Syiah Nashiri (Alawit) dan Iran mengedepankan aliran Islam Syiah Itsna Asyari. Ini adalah salah satu faktor mengapa hubungan antara Iran dan Suriah bertahan sangat kuat sejak terjadinya Revolusi Islam 1979. Hubungan bilateral ini kemudian melahirkan banyak keuntungan-keuntungan kausalitas antara Iran dan Suriah. Pertama, Iran mendapatkan akses untuk membangun infrastruktur berupa pipa gas yang dibangun melewati Suriah hingga Mediterania untuk didistribusikan ke Eropa. Kedua, Suriah mampu menjadi lokasi titik poros antara Pasukan Hezbollah di Lebanon dengan Iran. Ketiga, Suriah mendapatkan berbagai macam perlindungan keamanan dari Iran terhadap tekanan-tekanan dari Israel ataupun Saudi Arabia, sehingga hubungan Iran dan Suriah sering juga disebut sebagai Axis of Resistance di Timur Tengah (Bremmer, 2018). Dari hal tersebut Jubin Goodarzi (2009) mengatakan bahwa hubungan Iran dan Suriah tidak sepenuhnya dilandasi oleh faktor sektarianisme. Karena Iran dan Suriah memiliki kausalitas kepentingan ekonomi, pertahanan, dan politik yang signifikan. Namun perlu dicatat bahwa menguatnya hubungan bilateral antara dua negara ini dikarenakan adanya Revolusi Islam yang berlandaskan pada sektarianisme, serta hubungan pribadi antara Ayatollah Khomeini dengan Hafez al-Assad telah membentuk hubungan bilateral yang cukup signifikan antara Suriah dan Iran (Al-Jazeera, 2018).
Iran mengirimkan pasukan Iranian Revolution Guard Corps (IRGC) ke Suriah yang dipimpin oleh Massourd Jayazeri pada 24 Juli 2014. Kehadiran IRGC pada awalnya hanya sebatas pertahanan teritori dan pelatihan para warga sipil Pro-Assad serta milisi bantuan dari Lebanon, Hezbollah. Melihat konflik yang terus menigkat, Iran pada 27 Mei 2014 mengirim milisi Iran yang bernama Basij untuk membantu dan memperkuat kelompok pro-Assad. Secara berangsur-angsur milisi ini terus berdatangan, mulai dari 10.000 hingga mencapai 60.000 di akhir Mei 2015 (Terril, 2015). Basij adalah sebuah organisasi semi-militer yang berisikan relawan masyarakat yang mengabdi setia terhadap Pemimpin Agung Iran. Organisasi ini dibentuk pada tahun 1981 oleh Ayatollah Khomeini dengan tujuan untuk menjaga kelangsungan dari Revolusi Islam (Golkar, 2015). Menurut Taremi (2014) ini adalah salah satu upaya Khomeini untuk menciptakan pasukan loyal yang terinspirasi oleh insiden Pertempuran Karbala, pasukan Basij akan melakukan berbagai macam hal seperti perlindungan, penyerangan, dan pendisiplinan. Basij kemudian menjadi satu struktur dibawah IRGC pada tahun 1980, hal ini ditujukan sebagai integrasi institusi agar tidak terjadi tumpang tindih dalam fungsi keamanan. Walaupun demikian Basij tidak dikenal sebagai sebuah tentara reguler yang membawa persenjataan lengkap dan canggih di medan perang. Mereka hanya bermodal senapan, pakaian prajurit dan alat komunikasi, hingga Saeid Golkar (2015) menyebut mereka sebagai pasukan martir.
Basij adalah sebuah organisasi yang dibentuk oleh Khomeini pada tahun 1979 dengan tujuan melibatkan masyarakat secara langsung untuk menjaga budaya dan gerakan Revolusi Islam. Basij kemudian menjadi sebagai sebuah organisasi yang berfokus untuk merekrut pemuda dan simpatisan terhadap konstitusi dan budaya Revolusi Islam (Golkar, 2015). Tugas pokok Basij terdiri dari tiga hal yaitu menjaga pertahanan negara, rezim negara, dan masyarakat. Ketika masa pertempuran, fokus tujuan utama Basij mampu menjadi suatu yang mengarah pada militeristik yaitu berpartisipasi aktif untuk pertahanan dalam negeri dari agresi luar secara militer. Kemudian dalam sisi internal Basij berusaha untuk menjaga pencapaian revolusi dari serangan internal, dengan berpartisipasi aktif dalam membantu masyarakat ketika bencana alam dan menjaga serta mendisiplinkan moral masyarakat secara menyeluruh. Pada Februari 1981, melalui perintah langsung dari Khomeini, Basij resmi menjadi bagian struktur dari Iranian Revolution Guard Corps (IRGC) (Golkar, 2015).
Dalam dinamikanya, Basij memberikan kontribusi yang signifikan untuk kubu Assad dalam mempertahankan teritori dan rezimnya. Strategi human-wave dan insurgensi yang digunakan oleh Basij mampu memberikan dampak terhadap pasukan Free Syrian Army (FSA). Tapi keterlibatan negara-negara besar telah memberikan dinamika dalam nature of war dari Perang Suriah, penggunaan pesawat nirawak, artileri canggih, dan kendaraan tempur oleh oposisi memberikan pukulan yang cukup besar terhadap pasukan Basij (Terril, 2015). Salah satu contohnya adalah Pertempuran Al-Rai Agustus 2016, dimana FSA menggunakan ranjau, senjata kaliber besar dan pesawat nirawak untuk menyerang pasukan Basij yang hanya menggunakan senapan dan alat komunikasi, alhasil pertarungan tersebut memakan 3000 milisi Basij di garnisun dan medan tempur (Syriancivilwarmap, 2018). Tidak hanya itu, Basij mulai memunculkan kelemahannya pada Pertarungan Maarrat al-Nu’man 2015, walaupun pertarungan ini berskala kecil, namun pertarungan ini mengatakan bahwa butuh 15 orang Basij untuk melumpuhkan satu pesawat nirawak dari pihak FSA. Walaupun demikian peran Basij masih begitu penting di Perang Suriah, hal ini dibuktikan saat di Aleppo yang merupakan decisive battle bagi dua pihak. Basij mampu menunjukkan prominensi mereka di medan tempur untuk membantu kubu Al-Assad (Syriancivilwarmap, 2018).
Keterlibatan pasukan Basij mendapatkan berbagai macam komentar dari seorang ahli strategi bernama Paul Bucala, yang menuliskan Iran’s New Way of War in Syria (2017). Di dalam tulisannya ia mengungkapkan bahwa milisi Basij pada awalnya sangat signifikan dalam memberikan kekuatan pada kubu Assad di Perang Sipil Suriah, namun seiring berjalannya waktu, pasukan ini menjadi sasaran mudah di medan tempur. Hal ini dikarenakan kurangnya pengalaman, majunya teknologi musuh, dan objektif mereka dalam medan tempur. Tercatat hampir 60% korban pasukan Iran dalam Perang Sipil Suriah hingga 2016 adalah pasukan Basij (Golkar, 2015). Hal tersebut memang tidak mengherankan, karena milisi Basij berorientasi kepada strategi human-wave yang mengandalkan jumlahnya secara militan. Namun hal ini tidak menyurutkan Ali Khameini sebagai Pemimpin Agung serta Kepala Komandan Militer untuk terus mengirimkan milisi Basij ke Suriah hingga 2016. Hal ini sangat kontra dengan munculnya kecenderungan meningkatnya kemampuan teknologi dan modernitas dalam perkembangan militer Iran secara signifikan (Pearson, 2017).
Dari hal tersebut terlihat terdapat perputaran anomali yang terjadi dalam perumusan kebijakan luar negeri Iran dalam menggunakan milisi Basij dalam Perang Sipil Suriah 2011 – 2016. Milisi yang pada dasarnya digunakan sebagai sebuah pertahanan teritorial, dikonfigurasi menjadi sebuah instrumen ekspansif yang bersifat melewati batas teritorial dalam pergerakannya. Walaupun dinilai mulai tidak efektif dan irelevan dalam perang tersebut, Iran tetap secara berkala menambah jumlah pasukan tersebut di Perang Sipil Suriah. Hingga tahun 2017, terdapat sekitar 120.000 milisi Basij yang digerakkan dalam Perang Sipil Suriah, dengan jumlah korban yang begitu banyak di medan tempur (Al-Jazeera, 2018). Dari hal tersebut dapat dilihat bahwa perumusan kebijakan luar negeri Iran dalam menggunakan milisi Basij dalam Perang Sipil Suriah, tidak terlalu rasional dan relevan dengan kajian militer modern. Dalam proses penelitian ini, peneliti menemukan bahwa preferensi utama Iran dalam merumuskan kebijakan penggunaan milisi Basij dalam Perang Sipil Suriah didasari pada budaya strategis Iran yaitu exporting sectarianism dan ideological army mobilzation.
Kamran Taremi (2014) menjelaskan dengan seksama bahwa ideological army mobilization adalah sebuah doktrin militer yang berasal dari sebuah rumusan interpretasi Ayatollah Khomeini dalam melihat signifikansi milisi Basij dalam Perang Irak-Iran 1980. Tidak hanya itu Khomeini juga melihat bahwa membentuk pasukan ideologis adalah sebuah refleksi atas sejarah Iran yang membutuhkan pasukan loyal dan religius. Khomeini percaya bahwa untuk mempertahankan Revolusi Islam ini dari serangan kekuatan eksternal adalah dengan melibatkan seluruh elemen masyarakat dan kalangan untuk terlibat langsung dengan pertempuran yang terjadi. Hal ini ditujukan agar masyarakat memahami dengan seksama siapa yang dimaksud oleh Khomeini sebagai musuh dan siapa yang dimaksut sebagai kawan dari Iran.
Dalam identifikasi budaya strategis Iran, terdapat fenomena-fenomena penting yang telah menjadi sebuah landasan konstruksi sejarah budaya strategis Iran. Pertama adalah Kerajaan Persia Kuno, pada 559 M, Raja Cyrus dengan kerajaan Persianya mampu menciptakan sebuah dinasti yang sangat luar biasa di masa tersebut. Dari fenomena ini, dapat terlihat bahwa Iran adalah sebuah bangsa yang terbentuk dari bangsa Persia bukan bangsa Arab yang menjadi mayoritas di Timur Tengah. Kedua adalah fenomena pertempuran Karbala 680 M, Kamaran Aghaie (2001) menceritakan bagaimana pertempuran Karbala telah menjadi bagian dari masyarakat Iran secara komprehensif. Masyarakat Iran merayakan hari Asyura yang merupakan hari peringatan dari pertempuran Karbala dan mengingat Husein sebagai figur yang penting dalam kemunculan aliran Syiah. Ketiga adalah Revolusi Iran 1979, fenomena ini membentuk Iran sebagai negara berbentuk Republik Islam, kemudian struktur kepemimpinan negara dikonstruksi menjadi velayat-faqih atau pemimpin agung (Aghaie, 2001). Tiga fenomena ini telah menjadi faktor sejarah yang sangat signifikan dalam membentuk budaya strategis Iran hingga hari ini.
Terdapat tiga ciri konseptual terkait dengan ideological army mobilization dalam interpretasi kebijakan luar negeri Iran. Pertama adalah penggunaan pasukan milisi Basij dalam konflik yang melibatkan kepentingan Iran yang berada di luar batas teritorial negara Iran. Kedua adalah, penggunaan justifikasi konsep mustakberin dan mustafazin dalam dinamika aktor yang terlibat dalam konflik, dengan mampu mengetahui hal tersebut milisi Basij dapat dengan mudah untuk dimobilisasi oleh pihak pemerintahan. Terakhir adalah narasi jihadis yang digunakan untuk memobilisasi pasukan, semangat jihadis pada dasarnya adalah sebuah ciri konseptual yang mampu memunculkan aksi martir yang didasari oleh semangat Islamisme (Taremi, 2014).
Budaya strategis sebagai landasan kerangka pemikiran yang kedua adalah exporting sectarianism, yang muncul secara eksplisit pada tahun 1980, pasca Revolusi Iran 1979. Dalam bukunya berjudul “Hukumat-I Islami va Vilayat-I Faqih” Ayatollah Khomeini mengungkapkan pandangannya tentang Islam yang harus dapat disebar agar dapat mempertahankan eksistensinya baik itu secara struktural sosial dan politik. Khomeini kemudian berusaha melakukan penggabungan antara prinsip agama dan nasional dengan melakukan reformasi sistem pemerintahan Iran menjadi Republik Islam. Hal ini ditujukan sebagai jawaban atas kontestasi kekuatan global yang sedang terjadi di era Perang Dingin antara Soviet dengan Komunisme dan Amerika Serikat dengan Liberalis-Kapitalisme. Dengan menyebarkan pemikiran kultur dan revolusi Islam ke masyarakat eksternal mampu menjadi simbol kredibilitas Iran di kontestasi global. Selain itu penyebaran kultur dan revolusi Islam mampu meningkatkan pertahanan Iran dengan meningkatkan jumlah anggota pasukan yang siap untuk menjadi salah satu bagian dari pasukan pertahanan Iran (Cohen, 2007).
Cohen (2007) mengklasifikasikan praktik dari exporting sectarianism ini secara teoritik yang terdiri dari tiga hal, yaitu objektif, aparatus, dan cakupan. Dalam aspek objektif, Iran berusaha untuk menciptakan jaringan langsung antara komunitas-komunitas Syiah yang ada di kawasan ataupun global hal. Hal ini mampu menciptakan sebuah kongruensi, solidaritas, dan konektivitas antara komunitas Syiah yang ditujukan untuk mengumpulkan kekuatan. Tidak hanya itu, doktrin ini juga berusaha untuk meningkatkan kuantitas pengikut aliran syiah ditingkat kawasan dan global. Kedua, adalah aparatus dalam medianya, penyebaran doktrin ini dilakukan dengan dakwah yang dilakukan oleh pemuka agama atau, kemudian dengan bantuan perekonomian oleh yayasan atau negara, serta dengan bantuan keamanan kepada suatu kelompok dengan menggunakan milisi atau tentara. Namun perlu dicatat bahwa penyebaran doktrin ini tidak dilandasi oleh koersi ataupun paksaan. Khomeini menyatakan bahwa pengafilisian yang sesungguhnya adalah dari diri sendiri, dari konflik batin diri, bukan dari paksaan atau suapan (Golkar, 2015). Terakhir adalah cakupan, Cohen (2007) mengklasifikasikan terdapat tiga cakupan yaitu domestik, regional, dan global. Dimana exporting sectarianism ini dilihat berdasarkan pada aktivitas persebarannya secara geopolitik baik itu ditingkat domestik, regional, ataupun global.
Basij pada Perang Sipil Suriah dapat dilihat dari dua indikator pertama finansial dam eskalasi jumlah pasukan di dalam Perang Sipil Suriah. Berdasarkan Mei.edu (2016) dijelaskan bahwa anggaran kelompok Basij meningkat secara signifikan dari tahun 2011 hingga 2016. Pada awal tahun 2011 jumlah anggaran dari milisi Basij adalah 89 Juta USD, kemdian semakin meningkatnya eskalasi konflik yang terjadi pada Perang Sipil Suriah, anggaran Basij meningkat kurang lebih 100% pada tahun 2013 menjadi 180 Juta USD. Hal ini dilakukan oleh Kementerian Pertahanan Iran dengan mengalokasikan dana Pasukan Reguler Iran ke Basij. Kemudian di akhir tahun 2016 tercatat anggaran untuk milisi Basij mencapai angka 220 Juta USD. Peningkatan angka anggaran pada periode ini mampu menunjukkan bahwa Iran memiliki keseriusan dan intensi untuk terus menggunakan milisi Basij dalam Perang Sipil Suriah 2011 – 2016. Kemudian pada perkembangannya jumlah milisi Basij yang terlibat dalam Perang Sipil Suriah semakin meningkat dari awal tahun 2011 hingga 2016. Jumlah milisi Basij yang terlibat pada Perang Sipil Suriah di tahun 2012 berjumlah 10.000 pasukan. Kemdian jumlah milisi Basij berkembang secara konsisten, 30.000 pada tahun 2013, kemudian bertambah 20.000 pada tahun 2015. Hingga pada akhir tahun 2016, tercatat terdapat sekitar 80.000 milisi Basij yang telah dioperasikan Iran dalam Perang Sipil Suriah. Jumlah yang terus meningkat ini berhasil mengindikasikan bahwa terdapat intensi Iran untuk mempertahankan rezim Assad dengan salah satu metodenya adalah dengan menggunakan milisi Basij dalam konflik tersebut (Mei.edu, 2018).
Dalam nilai exporting sectarianism dapat dilihat dari awal mla kemunculan IRGC pada 5 Januari 2012 di Perang Sipil Suriah. Iran mengirimkan milisi Basij berjumlah 5000 personil, mereka ditugaskan untuk mempertahankan kawasan Damaskus dan sekitarnya. Pada 4 Februari 2012, sebuah peperangan terjadi di Homs, sebuah kota yang cukup dekat dengan Damaskus. Perang Homs merupakan perang pertama dimana milisi Basij terlibat langsung dan menewaskan 100 personil Basij yang disebabkan oleh artileri pasukan FSA (Al-Jazeera, 2018). Pergerakan Basij di Perang Sipil Suriah di koordinasikan oleh IRGC, namun di lapangan di lapangan mereka bergerak tetap dipimpin oleh seorang kapten Basij. Minimnya pengalaman mereka membuat Basij sering kali menjadi target putih bagi musuh. Pada 6 Desember 2014, Daud Gudrazi yang merupakan ketua dari Organisasi Mahasiswa Basij mengatakan bahwa sekitar 50 milisi relawan dari mahasiswa Basij tewas dalam pertempuran di Suriah. Mereka tewas karena misil dari FSA yang mendarat langsung di barak milisi pasukan Basij (Majidyar, 2017). Qassem Suleimani, juga mengatakan bahwa hal tersebut wajar karena mengingat fungsi dari Basij yaitu sebagai instrumen untuk mengekspor revolusi Iran ke berbagai kawasan, Basij juga telah menjadi motivasi dan inspirasi bagi pasukan Hezbollah-Lebanon dan Hamas-Palestina dalam berperang.
Peneliti beranggapan bahwa menggunakan milisi Basij secara langsung merupakan sebuah aksi dari exporting sectarianism, hal ini dikarenakan karakteristik milisi Basij yang mampu berfungsi sebagai instrumen untuk menyebarkan semangat revolusi di suatu daerah. Namun kita dapat peneliti akan melihat aktivitas exporting sectarianism yang dilakukan Basij dengan cara berpikir karakteristik dari doktrin tersebut. Exporting sectarianism memiliki tiga ciri-ciri utama, pertama adalah objektif exporting sectarianism yaitu untuk membentuk dan menciptakan jaringan-jaringan baru antara komunitas-komunitas syiah yang ada di kawasan. Ciri-ciri ini ditunjukkan oleh Basij pada Perang Sipil Suriah, khususnya dalam metode pembentukan milisi Pro-Assad atau disebut sebagai the National Defense Forces (NDF). Tidak hanya itu Iran melalui Basij juga membentuk Popular Defense Committees (PDC) untuk menciptakan sirkulasi rekruitmen milisi baru untuk membela rezim Assad. NDF dan PDC telah menjadi organisasi yang dengan berani menunjukkan semangat ideologi untuk membela pemerintahan Assad dalam Perang Sipil Suriah. Tidak hanya NDF dan PDC saja munculnya Liwa Zulfiqar, Badr Organization, Liwa Abu Fadl-Abbas juga menunjukkan bahwa Iran memiliki agenda menyebarkan nilai revolusi di Perang Sipil Suriah (Mei.edu, 2017).
Karakteristik dari exporting sectarianism yang kedua adalah metode aparatus, dalam metode penyebarannya exporting sectarianism dapat dilakukan dalam berbagai macam metode seperti dakwah, pelatihan militer, transfer ide, dan bantuan ekonomi. Pada 2011, Iran memberikan bantuan dana kurang lebih 100 Juta Rial Iran untuk pemerintahan Assad untuk dapat membenahi kekuatan militer Suriah (Mei.edu, 2018). Assad menggunakan dana ini untuk mengadakan sebuah wajib militer terbuka terhadap masyarakat Suriah yang mau terlibat langsung sebagai bagian dari pertahanan rezim Assad. Kemudian Basij juga melakukan pergerakan diberbagai macam masjid, sekolah, serta universitas di Suriah. Basij berusaha untuk menyebarkan semangat Revolusi di dalam berbagai macam kegiatan dan acara yang terjadi di tempat tersebut. Hal menarik lainnya kemudian muncul dimana, Masjid-masjid di Damaskus mulai diisi oleh para cendekiawan agama yang berasal dari Iran (Majidyar, 2017). Peneliti melihat bahwa Iran juga berusaha untuk menyebarkan sektarianisme mereka di berbagai macam sisi dan sudut tempat. Terakhir adalah cakupan, dalam Perang Sipil Suriah penyebaran sektarianisme yang dilakukan oleh Basij dapat dikatakan dalam tingkat domestik. Dimana mereka berfokus kepada lokasi negara yaitu Suriah, namun hal ini tidak menutup kemungkinan oleh para Basij untuk melakukan penyebaran ini hingga tingkat regional. Hal tersebut didasari oleh berbagai macam aksi Basij yang terlibat di perbatasan Lebanon, Turki, Irak, dan Jordania (Al-Jazeera, 2018).
Dalam budaya strategis yang kedua, ideological army mobilization, Kamran Taremi menjelaskan terdapat tiga karakteristik utama dalam menafsirkan budaya strategis tersebut. Pertama adalah menggunakan masyarakat, komunitas, atau kelompok tertentu. Dalam hal ini merujuk pada milisi Basij, seperti kita ketahui bahwa pada Perang Sipil Suriah 2011 – 2016, milisi Basij telah menjadi salah satu pilihan Iran dalam memberikan bantuan militer dan pertahanan terhadap rezim Assad. Pada karakteristik ini, milisi Basij tidak hanya digunakan sebagai instrumen untuk bertempur saja, namun Basij juga ditujukan untuk mampu mengajak komunitas atau organisasi massa lokal untuk ikut bertempur atau bergerak bersama Basij untuk melawan musuh dari Iran. Konseptual kedua adalah adanya identifikasi mustafazin dan mustakberin, melihat karakteristik Basij yang dimotivasi oleh semangat jihadisme, membuat faktor identifikasi lawan dan kawan menjadi sangat penting. Keterlibatan Amerika Serikat, Israel, dan aliansi Barat di Perang Sipil Suriah diidentifikasi sebagai kategori mustakberin dalam kajian budaya strategis Iran. Melihat lawan yang merupakan bagian dari mustakberin membuat ideological army mobilization menjadi sangat mudah untuk dilakukan. Kemudian, eksistensi mustafazin pada Perang Sipil Suriah yang merupakan negara Suriah, memunculkan rasa solidaritas untuk mempertahankan tanah tersebut dari campur tangan mustakberin. Dua aspek tersebut sangat penting sebagai motivasi mobilisasi dan aksi dari milisi Basij.
Konsep terakhir adalah semangat Jihadis atau dogma, penggunaan semangat Jihadis telah mampu menjadi motivasi utama para milsi Basij melakukan aksinya dalam berbagai tempur, hal ini juga berlaku pada aksinya pada Perang Sipil Suriah. Semangat Jihadis selalu rutin digunakan oleh Iran untuk meningkatkan antusias serta motivasi milisi Basij dalam medan tempur.
You dear youth and self-sacrificing children of the Iranian nation, you - who have chosen this critical arena for your services - should prepare yourselves for the increasing progress of the Armed Forces – Khameini, 2014 (English.khameini.ir, 2018)
Tercatat terdapat delapan pidato Khameini dari 2011 hingga 2013 yang berisikan semangat jihadis kepada milisi Basij untuk menjadi martir pada Perang Sipil Suriah.Semangat Jihadis ini juga menjadi salah satu jawaban mengapa milisi Basij dapat bergerak menyerang lintas teritorial tidak seperti milisi pada umumnya yang cenderung pada karakter pertahanan di dalam teritorial. Semangat Ideologi telah mampu menggerakkan mereka untuk hanya tidak melindungi tanah air semata, melainkan mereka juga harus melindungi Revolusi Islam, kawan Iran, serta kepentingan Iran.
Dari hal tersebut dapat dikatakan bahwa Iran menggunakan ideological army mobilization sebagai jawaban atas anomali penggunaan milisi yang pada dasarnya bersifat pertahanan di dalam teritorial. Hal ini juga menjawab mengapa Iran bersikeras menggunakan milisi ini, walaupun jika dilihat secara analisis militer, milisi ini dapat dikatakan bukan opsi yang paling baik untuk digunakan dalam Perang Sipil Suriah. Semangat Jihadis serta justifikasi terhadap mustafazin dan mustakberin telah mampu menggerakkan milisi Basij hingga lepas teritorial. Kemudian kebutuhan Iran untuk menyebarkan semangat revolusinya di tingkat regional juga menjadi motivasi jelas, bahwa penggunaan milisi Basij tidak hanya semata-mata hanya untuk mempertahankan rezim Assad.
Penggunaan milisi Basij pada Perang Sipil Suriah 2011 – 2016 telah mengalami berbagai macam dinamika serta kontroversi. Tingginya jumlah milisi yang tewas dalam Perang Sipil Suriah memunculkan berbagai macam kritik terhadap penggunaan kebijakan ini. Dari kajian diatas kita dapat mengetahui bahwa perumusan kebijakan luar negeri Iran terkait dengan penggunaan milisi Basij dalam Perang Sipil Suriah 2011 – 2016. Selain hal tersebut kita juga dapat mengetahui bahwa Iran sudah secara konsisten menggunakan milisi Basij dalam berbagai perang yang melibatkan kepentingan Iran pasca Revolusi Iran 1979. Basij menjadi opsi Iran dalam berbagai konflik karena penggunaan mereka yang dapat dikatakan masif dan sangat murah. Selain dua hal tersebut, budaya strategis Iran yaitu exporting sectarianism dan ideological army mobilization menjadi sebuah motivasi Iran dalam menggunakan milisi Basij dalam pertempuran tersebut.
Kemudian Revolusi Iran 1979 telah menciptakan perubahan yang sangat luar biasa dalam budaya, politik, sosial, dan militer Iran. Pada Revolusi ini Iran memunculkan dan mengadopsi ide-ide baru dalam perubahan. Pertama adalah nilai mustakberin dan mustafazin yang menjadi cara pandang Iran dalam melihat lawan dan kawan di dunia internasional. Dimana mustakberin mengacu kepada negara barat dan aliansinya sebagai lawan, kemudian mustafazin sebagai negara-negara lemah yang ditindas oleh mustakberin, Iran disini muncul sebagai penyelamat dari mustafazin. Kedua, revolusi ini juga telah melahirkan garda revolusi Iran yang merupakan hasil interpretasi dari ideological army mobilization Iran, yang mana kemudian menjadi badan menaungi milisi Basij. Terakhir, adalah ide Khomeini dalam melakukan exporting sectarianism, Khomeini percaya bahwa untuk dapat mempertahankan Iran dari lawan, harus mampu menyebarkan semangat revolusi ke kalangan lain. Hal ini kemudian semakin diserap oleh Iran melalui Perang Irak-Iran 1980, Perang ini telah mampu menjadi menguji pertahanan Iran dalam berbagai aspek. Penggunaan milisi Basij pada pertempuran ini telah mampu membuat Iran dapat bertahan dari serangan Irak yang ditunjang oleh Amerika Serikat. Kemudian strategi Iran dengan menggerakkan kekuatan-kekuatan komunitas lokal yang ada di perbatasan Irak, telah mampu menjadi sebuah afirmasi budaya strategis Iran yaitu exporting sectarianism dan ideological army mobilization.
Dua hal tersebut kemudian selalu menjadi preferensi Iran dalam menggunakan milisi Basij dalam setiap pertempuran yang melibatkan kepentingan Iran, seperti Perang Iran-PJAK 2004, Perang Lebanon 2006, dan kemudian Perang Sipil Suriah 2011 yang menjadi kajian peneliti dalam penelitian ini. Dapat terlihat penggunaan milisi Basij dalam Perang Sipil Suriah sangat prominen. Pertama peneliti melihat bahwa menggunakan milisi Basij dalam Perang Sipil Suriah sudah merupakan bukti nyata dari implementasi nilai exporting sectarianism dan ideological army mobilization. Tapi, peneliti ingin melihat hal tersebut dalam tingkat yang lebih terperinci, pertama peneliti ingin melihat bagaimana Iran menerapkan nilai exporting sectarianism melalui milisi Basij. Dalam mengkaji exporting sectarianism terdapat tiga pendekatan yang diungkapkan oleh Cohen, pertama adalah objektif atau tujuan Iran untuk membangun jaringan-jaringan baru antara komunitas-komunitas Syiah di Timur Tengah, hal ini terwujud dengan membentuk milisi Suriah Pro-Assad seperti NDF ataupun PDC. Kedua adalah metode aparatus, dimana dapat dilakukan dalam bentuk dakwah, pelatihan militer dan bantuan ekonomi. Terakhir adalah cakupannya, dimana pada Perang Sipil Suriah, peneliti melihat cakupan exporting sectarianism hanya mencakup tingkat domestik, yaitu wilayah Suriah itu sendiri.
Kemudian terdapat ideological army mobilization, sama seperti sebelumnya menggunakan milisi Basij dalam Perang Sipil Suriah merupakan implementasi paling dasar dari nilai ini, hal ini dikarenakan karakter milisi Basij yang loyal, martir, dan religius. Namun secara terperinci, implementasi nilai ideological army mobilization harus ditopang oleh tiga hal, pertama adalah menggunakan milisi atau komunitas lokal atas keputusan pemimpin agung, dalam aspek ini pemimpin agung memiliki peranan yang signifikan, dimana Basij merupakan bagian dari garda revolusi, sehingga pemimpin agung menjadi pembuat keputusan utama dari penggunaan Basij. Kedua adalah adanya identifikasi mustakberin dan mustafazin, dimana dalam Perang Sipil Suriah merujuk pada FSA yang didukung oleh Amerika Serikat. Sedangkan Suriah diasumsikan sebagai mustafazin yang membutuhkan bantuan. Ketiga adalah menggunakan semangat jihadis, perlu diketahui bahwa Basij bertempur layaknya seorang martir, jumlah yang mereka tewas tidak dapat dikatakan sedikit, hal ini dikarenakan motivasi jihad yang telah ditanamkan dalam diri mereka, kemudian semangat ideologis ini juga mampu menjadi faktor untuk menjelaskan mengapa milisi yang awalnya cenderung bersifat pertahanan teritorial mampu berubah menjadi menyerang hingga menembus batas teritorial negara.
Peneliti melihat penggunaan pasukan Basij di Perang Sipil Suriah 2011 – 2016 adalah sebuah hasil dari rumusan kebijakan yang ditetapkan oleh pembuat keputusan Iran. Kebijakan ini merupakan sebuah konsistensi mendasar yang terjadi dikarenakan terciptanya core identity oleh penyerapan faktor historisis dari Iran, yaitu saat Era Persia, Pertempuran Karbala, Revolusi Islam 1979, dan Perang Irak-Iran 1980. Hal ini yang kemudian telah menunjukkan bahwa penggunaan milisi Basij menjadi sebuah doktrin militer yang digunakan Iran dari tahun ke tahun. Kemudian peneliti menyimpulkan dan menyatakan bahwa hipotesis yang peneliti ajukan terkait adanya alasan budaya strategis dalam implementasi penggunaan milisi Basij pada Perang Sipil Suriah 2011 – 2016 adalah benar adanya, dimana budaya strategis Iran antara lain exporting sectarianism dan ideological army mobilization telah menjadi core value dalam perumusan kebijakan luar negeri Iran terkait dengan dimensi militer.
Aghaie, Kamran, 2001. “The Karbala Narrative: Syiah Political Discourse in Modern Iran in The 1960s and 1970s. “Journal of Islamic Studies, vol. 12, no. 2, pp 151-176. JSTOR, www.jstor.org/stable/26198125.
Al-jazeera. 2017. Iran after Khamenei. [ONLINE] Tersedia di: https://www.aljazeera.com/indepth/opinion/2017/02/iran-khamenei- 170210100341744.html. [Diakses pada 1 Mei 2019].
Al-Jazeera. 2018, “Timeline of Syria's raging war,” Aljazeera.com [ONLINE], https://www.aljazeera.com/indepth/interactive/2012/02/201225111654512 841.html [Diakses pada 3 Maret 2019]
Al-Jazeera. 2018, “Syria's civil war explained from the beginning Syria's civil war explained from the beginning,” Aljazeera.com [ONLINE], https://www.aljazeera.com/news/2016/05/syria-civil-war-explained 160505084119966.html [Diakses pada 2 Mei 2018].
Barkey, Henry J. 2007. Preventing Conflict Over Kurdish, New York: Carniedge Endowment.
BBC. 2015, “Syria crisis: Where key countries stand,” BBC.com [ONLINE], http://www.bbc.com/news/world-middle-east-23849587 [Diakses pada 2 Mei 2019].
Bremmer, Ian. 2018, “Why the Syrian Civil War Is Becoming Even More Complex,” Time.com [ONLINE], http://time.com/5229691/syria- trump-putin-saudi-arabia/ [Diakses pada 3 Mei 2019].
Bucala, Paul. 2017. “Iran’s New Way of War in Syria.” Institute for The Study of War: Peace and Conflict Journal.
Calder, W. M. 1910. “Militia.” The Classical Review, vol. 24, no. 1, pp. 10– 13. JSTOR
Cohen, R., 2007. Iranian Export of Revolution Doctrine and Implementation. In Herzilya Conference: Policy and Strategy. Washington DC, 1 May 2007. Washington: Hudson Institute. 63.
Cia.gov.2019.Iran and Demography Dynamics. [ONLINE] Available at: https://www.cia.gov/library/publications/the-world-factbook/geos/ir.html. [Diakses pada 7 Mei 2019].
Economist. 2019. A Tactical Retreat. [ONLINE], tersedia di: https://www.economist.com/newsbook/2012/03/01/a-tactical-retreat. [Diakses pada 16 Maret 2019].
English.Khameini.Ir. 2019. U.S. President, President of France and British Prime Minister are war criminals. [ONLINE] Tersedia di: http://english.khamenei.ir/news/5602/U-S- President-President-of- France- and-British-Prime-Minister. [Diakses pada 24 April 2019].
Golkar, Saeid, 2015. Captive Society: The Basij Militia And Social Control In Iran Woodrow Wilson Center Press.
Khameini, Ali. 2011. Leader’s Speech to Basijis. [ONLINE] Tersedia di: http://english.khamenei.ir/news/1565/Leader-s-Speech-to-Basijis. [Diakses pada 5 Mei 2019].
Khameini, Ali. 2013. Leader's Speech in Meeting with Basij Commanders. [ONLINE] Tersedia di: http://english.khamenei.ir/news/1839/Leader- s-Speech-in-Meeting- with- Basij-Commanders. [Diakses pada 1 Mei 2019].
Khameini, Ali. 2013. Leader Meets with Basijis. [ONLINE] Tersedia di: http://english.khamenei.ir/news/1719/Leader-Meets-with-Basijis. [Diakses pada 1 Mei 2019].
Majidyar, Ahmad. 2018. Basij Force Urged to Influence Places of Worship to Counter “Cultural Invasion. [ONLINE] Tersedia di: https://www.mei.edu/publications/basij- force-urged-influence-places- worship-counter-cultural-invasion. [Diakses pada 5 Mei 2019].
Mei.edu. 2017. Large-Scale Drills by Basij Forces Show Increasing Militarization of Iranian Society. [ONLINE] Tersedia di: https://www.mei.edu/publications/large-scale-drills- basij-forces-show- increasing- militarization-iranian-society. [Diakses pada 30 April 2019].
Memri.org. 2018. Supreme Leader Advisor Velayati: Iran Has No Right To Take Credit For The Fact That Syria Has Not Fallen. [ONLINE] Tersedia di: https://www.memri.org/reports/article-syrian-pro-regime-daily-rebuts- statements- iranian-supreme-leader-advisor-velayati. [Diakses pada 30 April 2019].
Pearson, Alexander. 2017, “Syria conflict: What do the US, Russia, Turkey and Iran want?,” DW.com [online], http://www.dw.com/en/syria-conflict- what-do-the-us- russia- turkey- and-iran-want/a-41211604 [Diakses pada 3 Maret 2018].
Terrill, W. Andrew. 2015. "Iran's Strategy for Saving Asad." Middle East Journal 69, no. 2. Pp, 222-36.