Realitas Bahasa dan Budaya Terhadap Identitas Etnik Dalam Konteks Konversi dan Revitalisasi Budaya Sebagai Alternatif Pengembangan Pariwisata Di Pulau Bawean

Sri Wiryanti Budi Utami and Puji Karyanto and Bea Anggraini and La Ode Rabani (2016) Realitas Bahasa dan Budaya Terhadap Identitas Etnik Dalam Konteks Konversi dan Revitalisasi Budaya Sebagai Alternatif Pengembangan Pariwisata Di Pulau Bawean. Laporan Akhir Tahun Skema Penelitian: Strategis Nasional Tahun ke 1 dari Rencana 2 Tahun, LPPI Universitas Airlangga Surabaya. (Unpublished)

[img] Text (FULLTEXT)
03 Realitas Bahasa Fulltext.pdf

Download (12MB)
[img] Text (PEER REVIEW)
03 Realitas Bahasa Peer Review.pdf

Download (1MB)

Abstract

Tradisi merantau yang menjadi ciri masyarakat Bawean menyebabkan teijadinya kecenderungan orang Bawean mengenal bahasa selain bahasa lokalnya. Kendati demikian, mereka tetap memelihara bahasa lokalnya. Kecenderungan merantau ke Malaysia dan Singapura, menyebabkan mereka ‘fasih’ menggunakan bahasa Melayu, dan tidak jarang ketika pulang merantau, mereka masih menggunakan bahasa Melayu. Dampak dari hal ini, masyarakat Bawean pada umumnya bilingual, yakni di samping penguasaan bahasa lokal, mereka menguasai bahasa Melayu secara aktif. Menyigi daya hidup identitas etnolinguistik berkenaan dengan situasi kebahasaan lokal-nasional dan implikasinya merupakan hal yang penting dan sangat diperlukan. Menindak lanjuti temuan pada tahun pertama yang menunjukkan bahwa masyarakat Bawean hanya mengenal bahasa lokal dalam kapasitas sebagai tradisi lisan. Di samping itu, penguasaan aktif bahasa Melayu dan intensifnya sentuhan budaya dari rantau, biia tidak segera tertangani dengan mentradisikan secara tertulis terhadap bahasa lokalnya akan berakibat pada rentannya budaya lokal-nasional dan berimplikasi terhadap berbagai tradisi budaya yang menjadi kekayaannya. Penerapan metode kualitatif digunakan untuk menggali fakta linguistik dan fakta sosiolinguistik. Penggalian data secara partisipatoris, tes kemahiran bahasa, wawancara etnografi, dan pengamatan diterapkan untuk mendapat bahan analisis yang ‘naturel’. Nara sumber digunakan membantu mengelisitasi bahan mengetes sampel subjek. FGD (focus group discustion) digunakan dalam penerapan penggalian secara partisipatoris. Data disajikan secara naratif dan gambar. Analisis data menggunakan teknik skoring dan skala untuk data kemahiran bahasa, serta interpretasi untuk data tanggapan. Padal tahun kedua ini, upaya menyigi daya hidup identitas etnoliguistik dalam konteks ketirisan diglosia melakukan penelitian dengan laporan seputar ranah-ranah penggunaan bahasa dan sikap bahasa penutur Bawean dalam kaitannya dengan perilaku bahasa dan tradisi budayanya. Dari hasil temuan pada tahun ke-2 ini, menunjukkan kendati campur kode sebagai gejala ketirisan diglosia bahasa Bawean di ranah domestik, namun masyarakat Bawean masih intensif menggunakan bahasa lokalnya, dan memandang sebagai identitas etuik. Dari kosa kata dasamya, hampir 80 % bahasa Bawean memiliki kemiripan dengan bahasa Madura. Kendati demikian, mereka enggan dikatakan sebagai bagian dari budaya Madura. Mereka mampu menunjukkan keberbedaannya dengan bahasa dan budaya Madura. Mereka selalu mengatakan bahwa bahasa dan budaya mereka merupakan cerminan dari ‘miniatur’ Indonesia. Situasi batin ini dapat dipahami, mengingat masyarakat Bawean terdiri dari berbagai suku (Madura, Jawa, Palembang-Melayu, Bugis). Budaya mereka mencerminkan hasil dari adaptasi dan asimilasi. Lebih tepat bila dkatakan, masyarakat Bawean sebagai masyarakat bilingual dan bikltural. Dari ranah-ranah penggunaan Bahasa menunjukkan mereka sebagai masyarakat diglosik. Kendala perkembangan bahasa Bawean di antaranya 1 ) bahasa Bawean tidak secara formai diajarkan dalam dunia pendidikan, 2) anak-anak muda tidak lagi mengenal bahasa Bawean ‘halus’ secara baik, seperti mereka tidak lagi mengenal penggunaan tingkatan bahasa 3) Terdapat banyak variasi bahasa, dari temuan ada 9 variasi bahasa Bawean. 4) Dalam penggunaannya, banyak teijadi ‘campur kode’, 5) kurang ada ‘support’ dari pemerintah daerah untuk membudayakan bahasa lokal dalam kegiatan seni. 6) Sementara para guru memandang bahasa Indonesia dan bahasa Inggris lebih penting. Sikap positif masyarakat Bawean terhadap bahasa lokalnya perlu diapresiasi. Oleh karena itu, pada penelitan lanjutan nanti diupayakan terbentuknya pedoman bahasa Bawean. Yang perlu dtempuh memilih salah satu dari sembilan ragam wicara yang ada untuk dijadikan pedoman atau yang dapat mewakilinya. Pemilihan ini memerlukan langkah- langkah yang tepat, agar di kemudian hari pedoman bahasa tidak mendapat ‘protes’ dari semetara penutur yang ragamnya tidak digunakan sebagai pedoman. Di samping itu, diupayakan mendkumentasikan berbagai cerita dengan pedoman bahasa yang telah dipilih dan disepakati.

Item Type: Other
Uncontrolled Keywords: Realitas Bahasa dan Budaya, Identitas Etnik, Revitalisasi Budaya, Pariwisata
Subjects: P Language and Literature > P Philology. Linguistics
P Language and Literature > PJ Semitic > PJ6073-7144 Language
Divisions: 12. Fakultas Ilmu Budaya > Sastra Indonesia
Creators:
CreatorsNIM
Sri Wiryanti Budi UtamiNIDN0020055802
Puji KaryantoNIDN002036903
Bea AnggrainiNIDN0012056804
La Ode RabaniNIDN002709706
Depositing User: Mrs Nadia Tsaurah
Date Deposited: 20 May 2021 03:23
Last Modified: 20 May 2021 03:23
URI: http://repository.unair.ac.id/id/eprint/107177
Sosial Share:

Actions (login required)

View Item View Item