ATIKA HANUM SARI
(2009)
HAK ATAS MEREK DITINJAU DARI HUKUM JABATAN.
Skripsi thesis, UNIVERSITAS AIRLANGGA.
Abstract
1. Bahwa eksistensi pelaksanaan pidana mati adalah diakui menurut ketentuan hukum Islam. Secara aspek materiil, dapat kita melihatnya dari beberapa jarimah (Tindak Pidana/delik) yang diancam dengan pidana mati sebagai pidana duniawi dari Allah baik itu dari Jarimah Hudud, Jarimah Jinayah (Qishash), maupun Jarimah Ta’zir. Adapun Jarimah yang dimaksud adalah antara lain: Pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja (Al Baqarah : 178, An Nisa : 93), Zina Mukhson, (Hadist Riwayat Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Tirmizi, Nasa’i), Riddah (Al Baqarah : 217), Al-Baghyu (Al Maidah 33) dan harabah (Al Maidah 9). Dalam aspek formil, bahwa tidak selalu praktek pidana mati (baik yang dikarenakan oleh Jarimah Qishash, Al-Baghyu dan Harabah) adalah dengan menggunakan cara dan alat yang sama dengan apa yang diperbuat oleh si pelaku. Bahwa pada intinya, kita disyari’atkan untuk menggunakan alternatif cara maupun alat yang dirasa sangat ampuh untuk segera mematikan si terhukum tanpa menimbulkan penderitaan dan rasa sakit yang lama. Pelaksanaannya harus relevan diterapkan sesuai dengan dengan tuntutan zaman. Namun perlu juga diingat bahwa Islam memberikan keringanan pidana jika dikehendaki oleh masing masing pihak (si pembunuh dan keluarga si terbunuh) yaitu dengan adanya lembaga pemaaf berupa pembayaran denda (diyat) oleh si pelaku Jarimah terhadap pihak ahli waris korban, meskipun ketentuan mengenai diyat ini hanya berlaku untuk jarimah jinayah, yaitu perbuatan yang dijerat dengan ancaman Qishash. Selain itu, praktek pidana mati berdasarkan ketentuan hukum Islam adalah di tempat terbuka di mana masyarakat umum bisa melihatnya secara langsung dan menjadikannya ta’dzib (pelajaran). Selanjutnya adalah bahwa dari sekian hadist dan Sirah-sirah Nabawi, pelaksanaan eksekusi pidana mati (baik dengan cara qishash, rajam, maupun salib) dilakukan tidak lama setelah si pelaku terbukti melakukan perbuatan Jarimah yang dimaksud. Dan terakhir adalah perlu diingat bahwa semua ketentuan di atas berlaku bagi Pemerintahan Islam.
2. Pelaksanaan pidana Mati di Indonesia adalah didasarkan pada ketentuan pasal 10 huruf a angka 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), di mana tindak pidana yang dijerat dengan ancaman pidana mati ini tersebar baik di dalam maupun di luar KUHP. Berdasarkan Undang-undang No.2/PNPS/1964 ditentukan bahwa mekanisme pidana mati yang digunakan di Indonesia adalah dengan cara ditembak sampai mati (pada jantung dan kepala). Tergantung pada penilaian masyarakat bagaimana menyikapi mekanisme tembak mati ini. Selain itu perlu juga dilakukan penelitian medis apakah metode tembak mati pada jantung adalah sangat efektif untuk mempercepat kematian si tertembak. Kalau dirasa telah cukup manusiawi, maka kita bisa menyimpulkannya sendiri bahwa mekanisme pidana tembak mati tersebut adalah relevan untuk diterapkan dan itu adalah termasuk bagian dari syari’ah. Selanjutnya adalah mengenai tenggang waktu pelaksanaan pidana mati, tempat pelaksanaan pidana mati, dan ketentuan adanya diyat, hukum Indonesia belum bisa mengakomodir hal-hal tersebut sebab memang dalam pengaturan hukum positif di Indonesia diatur lain dan berbeda dengan yang disyari’atkan oleh Islam. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa ketentuan mengenai pelaksanaan dan prosedural eksekusi pidana mati masih menerapkan prinsip syari’ah secara parsial.
Actions (login required)
|
View Item |