WIDYANTI SEPTA PUSPITA SARI, 030710030 (2010) ANALISIS PUTUSAN MA NO. 849K/SIP/1977 TERKAIT HAK AHLI WARIS DZAWIL FURUD DALAM HUKUM ISLAM. Skripsi thesis, UNIVERSITAS AIRLANGGA.

Preview	Text (ABSTRAK) gdlhub-gdl-s1-2011-sariwidyan-18236-fh3071-k.pdf Download (303kB) | Preview
	Text (FULL TEXT) gdlhub-gdl-s1-2011-sariwidyan-15104-fh30710.pdf Restricted to Registered users only Download (1MB) | Request a copy

Abstract

Belum terdapat keseragaman mengenai hukum waris yang berlaku di Indonesia, sebagai suatu pedoman atau standar hukum. Hal ini dapat dilihat dari arti dan definisi yang diberikan oleh tiap-tiap sistem hukum waris yang berlaku, yaitu hukum waris Islam , hukum waris Barat, dan hukum waris Adat. Ketidakseragaman tersebut membawa perbedaan pula baik dalam menentukan ahli waris, cara pembagian harta warisan, pengadilan yang berwenang, dll. Akibat hukum dari peristiwa pengangkatan anak antara lain tentang kedudukan anak angkat terhadap orang tua angkatnya. Pengangkatan anak dalam Islam tidak memutuskan nasab darah antara anak tersebut dengan orang tua kandungnya. Berdasarkan hukum waris Islam, anak angkat bukan merupakan ahli waris dari orang tua angkatnya karena prinsip pokok dalam kewarisan Islam didasarkan atas hubungan arah/nasab/keturunan. Kompilasi Hukum Islam (KHI) menyediakan solusi untuk menyelesaikan permasalahan tersebut, yaitu pembagian harta warisan bagi anak angkat dapat dilakukan melalui hibah atau wasiat wajibah. Demi rasa keadilan dan untuk melindungi ahli waris lainnya, maka besarnya hibah atau wasiat wajibah dibatasi maksimal 1/3 (sepertiga) dari harta warisan. Namun dalam hal anak kandung dari pewaris itu jumlahnya lebih dari 2 (dua), selain dibatasi maksimal 1/3 (sepertiga), maka dalam memberikan wasiat wajibah juga tidak boleh melebihi bagian anak kandung. Dengan kata lain bagian anak angkat maksimal sama seperti bagian anak perempuan.

Actions (login required)

View Item