Sirup Parasetamol dan Penjaminan Mutu Obat

Andi Hermansyah, - (2022) Sirup Parasetamol dan Penjaminan Mutu Obat. Jawa Pos. (In Press)

[img] Text (FULLTEXT)
Bukti Artikel C-33.pdf

Download (565kB)
[img] Text (KUALITAS KARIL)
Bukti Validasi dan Penilaian Karil C-33.pdf

Download (373kB)
[img] Text (KORESPONDENSI)
Bukti Korespondensi C-33.pdf

Download (262kB)
Official URL: https://www.jawapos.com/opini/01414986/sirup-paras...

Abstract

MASYARAKAT melalui media sosialnya langsung ramai menanggapi keterangan pers Kementerian Kesehatan (Kemenkes) tentang kasus gagal ginjal misterius yang dilansir Rabu (19/10). Beberapa poin instruksi menjadi perdebatan, termasuk imbauan untuk sementara ini tidak meresepkan obat dalam bentuk sirup dan larangan bagi apotek serta fasilitas pelayanan kesehatan untuk memberikan obat dalam bentuk sirup. Larangan itu berlaku untuk seluruh obat tanpa pandang bulu. Perusahaan farmasi dengan cepat membuat rilis bahwa produk sirupnya bebas dari pelarut dietilen glikol dan etilen glikol yang saat ini dicurigai sebagai penyebab kasus gagal ginjal misterius. Apotek dan sarana pelayanan kefarmasian tiarap dengan tidak melayani permintaan sirup obat. Beberapa kolega menangkap kesan pukul rata dan terburu-buru dari rilis Kemenkes, padahal mitigasi kasus sedang berlangsung. Meskipun demikian, apresiasi patut diberikan kepada Kemenkes. Setidaknya memberikan gambaran kepada masyarakat tentang tingkat kegentingan kasus ini. Kasus ini pun menjadi momentum untuk mengedukasi masyarakat tentang obat, bentuk sediaan, dan penjaminan mutu obat. Zat Aktif Suatu Obat Suatu zat aktif dapat menghasilkan efek farmakologis pada manusia dan hewan pada dosis tertentu. Zat aktif dapat memberikan respons yang beragam pada tingkatan individu. Untuk dapat menimbulkan efek farmakologis, terkadang hanya dibutuhkan zat aktif dalam jumlah kecil. Parasetamol, misalnya, dikenal sebagai zat aktif yang berkhasiat untuk menurunkan demam dan mengatasi nyeri. Parasetamol hanya dibutuhkan 10–15 mg/kg berat badan yang diberikan setiap 4–6 jam untuk menghasilkan efek penurun panas pada anak-anak berusia kurang dari 5 tahun. Penggunaan parasetamol tidak boleh sembarangan. Obat pada prinsipnya adalah pisau bermata dua. Penggunaan yang tepat dapat memberikan efek terapi yang mendukung kesembuhan dan pemeliharaan kesehatan. Sebaliknya, penggunaan yang salah atau penyalahgunaan justru membawa celaka hingga berujung kematian. Obat yang digunakan dengan benar pun tidak terbebas dari risiko efek samping dan reaksi alergi yang merugikan pasien. Dalam kasus parasetamol, misalnya, mual dan muntah merupakan risiko efek samping yang kerap kali ditemukan pada pasien dengan tingkat kejadian sekitar 10 persen. Belum lagi, parasetamol dapat memicu kerusakan hati jika digunakan secara berlebihan dan dalam jangka waktu yang lama. Bentuk Sediaan Obat Parasetamol sebagai zat aktif tidak bisa langsung diberikan kepada pasien. Parasetamol perlu diformulasikan menjadi suatu bentuk sediaan obat seperti tablet dan sirup. Pemilihan suatu bentuk sediaan didasarkan pada berbagai pertimbangan, mulai sifat fisikokimia zat aktif, stabilitas obat, hingga tujuan penggunaan obat. Mengapa kemudian parasetamol dibuat dalam bentuk sirup? Salah satu pertimbangannya adalah bentuk sirup memberi aksi obat yang lebih cepat daripada bentuk padat seperti tablet. Aksi obat yang cepat ini penting untuk segera menurunkan panas. Pertimbangan lainnya adalah kemudahan untuk diberikan kepada pasien anak-anak. Sirup obat cair mudah ditelan daripada tablet dan kapsul. Belum lagi rasanya yang manis lebih disukai pasien anak-anak. Untuk kepentingan-kepentingan itulah diperlukan bahan tambahan, disebut juga eksipien, untuk mampu ”membawa” zat aktif parasetamol menjadi bentuk sirup parasetamol. Dalam pembuatan sirup parasetamol, biasanya diperlukan eksipien sebagai pelarut, pemanis, pengawet, dan eksipien lain tergantung kajian pada saat praformulasi. Kesalahan dalam pemilihan eksipien tidak hanya mengakibatkan kegagalan pembuatan suatu obat, tetapi juga risiko kematian. Sebagai contoh, pada 1937, di Amerika Serikat, 76 orang meninggal dunia dan sebagian pasien mengalami gagal ginjal akibat penggunaan pelarut dietilen glikol pada produk sirup antibiotik. Kasus korban jiwa karena dietilen glikol juga ditemukan di Nigeria pada tahun 1990 (47 anak), Haiti pada tahun 1996 (30 anak), dan India pada tahun 1998 (33 anak). Dietilen glikol, juga etilen glikol, kemudian dilarang digunakan dalam formulasi sirup obat, termasuk di Indonesia. Permasalahan yang muncul adalah cemaran dietilen glikol dan etilen glikol masih mungkin ditemukan dalam produk akhir sirup obat sebagai akibat dari penggunaan pelarut sirup lainnya seperti gliserin dan propilen glikol. Namun, tingkat cemaran ini sudah diatur dalam berbagai panduan agar tidak menimbulkan efek yang merugikan. Kasus yang terjadi di Gambia mungkin disebabkan tingkat kontaminasi dietilen glikol dan etilen glikol yang melebihi ambang batas. Penjaminan Mutu Obat Menilik dari risikonya, pembuatan suatu obat harus melalui serentetan pengujian, mulai bahan obat, saat tahap produksi, pengujian produk akhir obat, hingga pengawasan saat produk obat dilempar ke pasar. Penjaminan mutu pun masih dilanjutkan ketika obat didistribusikan, diserahkan oleh apoteker, hingga mampu digunakan dengan benar oleh pasien. Posisi apoteker di fasilitas pelayanan kefarmasian menjadi kritikal karena harus mampu menjamin pasien dapat menggunakan obat dengan benar. Dengan adanya larangan sementara penggunaan sirup obat ini, sebenarnya apoteker dapat memberi alternatif bentuk sediaan selain sirup. Tindakan tersebut tentu dibutuhkan pasien, dokter, maupun tenaga kesehatan lainnya. Namun, bagaimanapun, sering kali bentuk sirup obat lebih efektif dan dibutuhkan pasien. Tidak memberikan sirup obat justru akan menimbulkan risiko kegagalan pengobatan. Dalam kondisi seperti itu, apoteker harus mempertimbangkan antara risiko dan keuntungan memberikan sirup obat serta mengedukasi pasien terkait potensi kejadian yang tidak diinginkan. Kasus gagal ginjal misterius ini menjadi pelengkap ujian yang menimpa sistem kesehatan kita. Larangan untuk pemberian sirup obat tentu harus didasarkan pada bukti, apalagi Indonesia memiliki sistem farmakovigilans untuk mendeteksi kasus terkait obat. Terlebih penting lagi, pemberian suatu sediaan obat harus didasarkan pada kebutuhan klinis pasien. Jika memang sirup obat cocok untuk pasien, bentuk sirup dapat direkomendasikan dengan penuh kewaspadaan.

Item Type: Article
Uncontrolled Keywords: gagal ginjal akut, Parasetamol, obat sirup
Subjects: R Medicine
R Medicine > RS Pharmacy and materia medica
R Medicine > RS Pharmacy and materia medica > RS1-441 Pharmacy and materia medica
R Medicine > RS Pharmacy and materia medica > RS200-201 Pharmaceutical dosage forms
Divisions: 05. Fakultas Farmasi > Farmasi Komunitas
Creators:
CreatorsNIM
Andi Hermansyah, -NIDN0027098303
Depositing User: Mr M. Fuad Sofyan
Date Deposited: 26 Apr 2023 06:40
Last Modified: 26 Apr 2023 06:40
URI: http://repository.unair.ac.id/id/eprint/124499
Sosial Share:

Actions (login required)

View Item View Item