PIERS ANDREAS NOAK, - (2010) PENGGUNAAN INSTRUMEN IDENTITAS ETNIK DAN AGAMA OLEH ELITE POLlTIK DAN ELITE BIROKRASI DALAM PERSAINGAN MERAIH KEKUASAAN D1 KUPANG NUSA TENGGARA TIMUR. Disertasi thesis, UNIVERSITAS AIRLANGGA.
Text
KK-2 DIS. S. 09 10 Noa p.pdf Download (14MB) |
|
Text
KK-2 DIS. S. 09 10 Noa p - Abstrak.pdf Download (193kB) |
Abstract
Penelitian ini difokuskan pada perkembangan politik lokal dalam memahami kompleksitas elite politik dan elite birokrasi menggunakan instrumen identitas etnik dan agama dalam persaingan mencapai kekuasaan. Masalah penelitian ini, pertama, bagaimanakah jenis-jenis persaingan elite politik dan elite birokrasi dalam penggunaan identitas etnik dan agama sebagai instrumen mencapai kekuasaan? Kedua, jabatan atau asal pejabat elite politik dan elite birokrasi yang terlibat dalam persaingan untuk mencapai kekuasaan? ketiga, bagaimanakah caranya identitas etnik dan agama atau yang lainnya dipakai untuk mencapai kekuasaan, dan bagaimana pola penggunaannya oleh elite birokrasi dan apa alasan-alasan penggunaan pola-pola tersebut ? dan keempat, bagaimanakah implikasi dari penggunaan tiap pola persaingan terhadap masyarakat baik di kalangan pendukung dan bukan pendukung serta hubungan antara pendukung dan bukan pendukung di Kupang NTT. Studi kualitatif dan analisis deskriptif dengan mengambil unit pemerintah provinsi dan Kota di Kupang Nusa Tenggara Timur, yang sejak zaman kolonial provinsi ini telah dibagi dalam domain politik atas dasar etnik dan agama, setelah memasuki perkembangan modem dan otonomisasi terjadilah dominasi kekuasaan politik dan birokrasi oleh kelompok tertentu ditengah-tengah pertumbuhan kota menjadi keberagaman budaya serta pluralisme etnik dan agama yang mengakibatkan meningkatnya persaingan elite ditengah-tengah menguatnya sentimen kedua makro struktur di Kupang. Hasil penelitan ini yakni pertama, elite politik dan birokrasi benar-benar telah memobilisasi dukungan etnik dan agama untuk mempertahankan kekuasaan. Kedua, elite yang terlibat dalam kekuasaan baik politik dan birokrasi harus mempertimbangkan perimbangan etnik dan agama. Alasannya dilihat dari teori Michels untuk elite politik, Mosca untuk elite birokrasi. Michels lebih menekankan kekuasaan berakar dalam kepentingan elite dan Kelompok, elite ini muncul diakibatkan dari struktur social dan kelanggengan jabatan karena mereka bisa mengendalikan pengaruh politik dari partai dan massa. Mosca lebih condong pada tipe suatu masyarakat birokrasi ditentukan oleh sifat-sifat kelas yang menguasainya, untuk primordialisme etnik dan agama, Geertz melalui pendekatan primordialis dan instrumentalis. bahwa primordialisme tidak dapat dihilangkan tetapi harus diakomodir dalam ruang publik dan menghormatinya dalam kerangka multikultural di Kupang NTT, sedangkan situasi politik di Kupang lebih mengedepankan kategori instrumentalis. Studi ini menghasilkan pemahaman teoritik mempertahankan kekuasaan oleh elite politik dan elite birokrasi dengan menggunakan simbol identitas dari etnik serta agama, perilaku ini dalam studi kompetisi elite, etnik dan agama merupakan tinjaun dari perspektif elite dan primordiallinstrumentalis dengan asumsi elite telah menerima dukungan pembagian kekuasaan atas wilayah etnik dan agama. Dengan demikian identitas etnik pada era multikultural ini dianggap telah mulai mencair dengan menghargai derajat serta martabat etnik yang lain. Kajian elite, etnik dan agama menghasilakan temuan yakni para elite selalu menggolongkan perbedaan etnik dan agama berdasarkan dominasi yang telah tertanam dalam pikiran mereka, sentimen ini sebagai salah satu cara menyisiati munculnya prilaku yang lebih menonjolkan identitas diatas segala kepentingan kekuasaan. Sementara itu, jika ditempatkan dalam ranah politik maka disertasi ini memperlihatkan implikasi dari kajian-kajian mempertahankan kekuasaan melalui symbol identitas sebagai alat membedakan kepentingan etnik dan instrumen pengikat solidaritas hubungan sesama etnik dan agama tidak hanya pada ranah individu tetapi semata-mata merupakan ranah kelompok. Dengan merujuk pada hasil penelitian Bahar dan Uliweri, Jelas Bahar melihat hubungan elite dan etnik dapat manimbulkan loyalitas, sedangkan Uliweri melihat kegagalan komunikasi mengakibatkan kegagalan kinerja birokrasi, sehingga munculah berbagai streotipe antara etnik di Kupang. Kesamaan dan perbedaan serta tidak tersiratnya beberapa elemen primordial yang dimunculkan dari sentimen etnik dan agama di Kupang inilah yang menjadi pelengkap dari tuntutan primordialisme masyarakat majemuk karena kemajemukan juga ditimbulkan oleh ikatan-ikatan selain etnik dan agama juga kekerabatan kekeluargaan serta penyanggah bagi semua kelompok yang merasa memiliki satu kesamaan dari banyak perbedaan, tetapi kesamaan ini menjadikan mereka dapat exist jika dukungan primordial tetap kuat, karena apa yang dikemukan Geertz merupakan penyempuman penyatuan dalam pola dasar kekuasaan yang ditumbuhkan dari rasa budaya keetnik-an dan ke-agama-an pada akhimya bisa disepakati bersama untuk menjadikan pembagian kekuasaan tetap kuat dalam kerangka primordial.
Item Type: | Thesis (Disertasi) | ||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|
Additional Information: | KK-2 DIS. S. 09 10 Noa p | ||||||
Uncontrolled Keywords: | Elite, ethnic, religion, multiculturalism | ||||||
Subjects: | H Social Sciences > HM Sociology > HM(1)-1281 Sociology > HM706 Social structure | ||||||
Divisions: | 07. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik > Doktor Ilmu Sosial | ||||||
Creators: |
|
||||||
Contributors: |
|
||||||
Depositing User: | Dewi Puspita | ||||||
Date Deposited: | 09 Jan 2024 04:59 | ||||||
Last Modified: | 09 Jan 2024 04:59 | ||||||
URI: | http://repository.unair.ac.id/id/eprint/129062 | ||||||
Sosial Share: | |||||||
Actions (login required)
View Item |