FERDY SISWANDANA, 030211437
(2006)
PERCERAIAN KARENA SUAMI MAFQUD(HILANG) MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF.
Skripsi thesis, UNIVERSITAS AIRLANGGA.
Abstract
Berdasarkan hukum Islam maupun hukum positif sama-sama mengijinkan terjadinya perceraian. Menurut hukum Islam, Status hukum istri yang suaminya mafqud (hilang) dapat dikatakan cerai setelah istri tadi menjalani masa iddah atas suaminya yang mafqud meskipun Al Qur'an dan Hadist tidak memberikan batasan/jangka waktu tertentu, yang ada hanya pendapat¬pendapat para fuqoha. Dasar hukum dari hukum Islam adalah dalil tentang fasakh. Sedangkan dalam hukum positif menggunakan alasan suami meninggalkan istri selama 2 tahun berturut-turut, atau karena melanggar tak'lik talaq.
Bagi orang Islam, dalam kaitannya dengan penentuan suami mafqud (hilang) sebagai alasan perceraian, maka hakim Pengadilan Agama harus berpijak pada peraturan perundang-undangan yaitu Undang-undang No.3 Tahun 2006 dan Kompilasi Hukum Islam (Kill) sebagai peraturan pelaksananya. Dalam hal ini istri mengajukan gugatannya ke Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal penggugat. Namun, apabila tempat tinggal tergugat tidak diketahui maka Panitera akan menempelkan surat gugatan penggugat di papan pengumuman yang ada di Pengadilan Agama atau melalui media massa.
Sedangkan bagi hakim Pengadilan Negeri, hakim Pengadilan Negeri harus berpijak pada peraturan perundang-undangan yang mengatur masalah perkawinan yakni Undang-undang No.1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975 sebagai peraturan pelaksananya. Hukum acara yang berlaku dan yang dapat dijadikan pedoman oleh hakim dalam memutus perkara perceraian dengan alasan salah satu pihak meninggalkan pihak yang lain adalah HIR sebagai ketentuan umum (lex generalis) dan Undang-undang No.7 Tahun 1989 sebagai ketentuan khusus (lex specialis) serta kompilasi hukum Islam sebagai hukum materiilnya. Ketentuan ini termuat dalam pasal 54 Undang-undang No.7 Tahun 1989.
Actions (login required)
|
View Item |