MOCH ZAINAL ARIFIN, 030215432 (2006) PROSPEK DAN KENDALA PENYELESAIAN PELANGGARAN HAM BERAT MASA LALU DI INDONESIA. Skripsi thesis, UNIVERSITAS AIRLANGGA.
|
Text (ABSTRAK)
gdlhub-gdl-s1-2006-arifinmoch-2596-kkbkk-2-k.pdf Download (430kB) | Preview |
|
Text (FULLTEXT)
gdlhub-gdl-s1-2006-arifinmoch-2596-fh2930-p.pdf Restricted to Registered users only Download (1MB) | Request a copy |
Abstract
Kesimpulan Pertama, tahun 1998 merupakan tahun yang bersejarah dalam perkembangan HAM di Indonesia. Salah satu syarat dalam sebuah negara yang mengalami proses transisi dari sistem otoriter menuju ke sistem demokratis adalah penyelesaian pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh pemerintahan yang lalu. Sejak tahun 1998, desakan yang begitu besar dari kelompok korban terus mengalir ke lembaga-lembaga terkait. Bahkan kelompok korban bersama elemen masyarakat lainnya terus melakukan berbagai kegiatan, mulai dari audiensi, lobby politik hingga demonstrasi mendesak penyelasaian pelanggaran HAM berat. Sampai sejauh ini, berdasarkan ketentuan UU No. 26 Tahun 2000 dan UU No. 27 Tahun 2004 terdapat dua mekanisme penyelesaian pelanggaran HAM di masa lalu yaitu Pengadilan HAM ad-hoc dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Pengadilan HAM ad-hoc merupakan satu mekanisme penyelesaian kasus yang menggunakan logika sistem yudisial sementara Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi menggunakan logika sistem non-yudisial. Kedua, harapan yang cukup besar dari kelompok korban pelanggaran HAM berat masa lalu ternyata tidak begitu saja dapat terwujud. Penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu ternyata menyimpan berbagai problema yuridis yang cukup rumit. Dua kasus yang telah ditangani oleh pengadilan HAM ad-hoc telah menjadi pertanyaan besar bagi banyak pihak tentang efektifitas dari mekanisme ini untuk mendapatkan rasa kebenaran dan keadilan bagi korban. Dalam pengadilan HAM ad-hoc untuk kasus Timor Timur telah menunjukkan hasil yang mengecewakan banyak kalangan, khususnya kelompok korban. Beberapa orang yang berada dalam tingkatan komando pada saat kejadian tersebut dan diduga kuat hertanggung jawab lepas dari tuntutan hukum. Hasil yang serupa dialami oleh pengadilan HAM ad-hoc untuk kasus Tanjung Priok. Lepasnya para pelaku pelanggaran HAM berat diakibatkan ketidakjelasan konsep dalam UU No. 26 Tahun 2000. Di samping itu, banyak pihak yang menilai bahwa pemerintah selama ini tidak memiliki niatan yang serius untuk melakukan penyelesaian pelanggaran HAM di masa lalu. Ketentuan pasal 43 UU No. 26 Tahun 2000 telah memasung penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu secara menyeluruh. Hal ini dapat terlihat dengan jelas dalam proses penyelesaian kasus Trisakti, Semanggi I dan II. DPR mempunyai peranan dalam memberikan rekomendasi terhadap satu kasus tertentu untuk dibawa ke pengadilan HAM ad-hoc. Panitia Khusus (Pansus) )PR untuk Tragedi Trisakti, Semanggi I dan II (TSS) dalam kesimpulan akhirnya menyatakan bahwa tidak terjadi suatu pelanggaran HAM yang berat dalam kasus TSS. Belajar dari pengalaman beberapa negara lain yang mengalami masalah yang serupa serta melihat peluang mendapatkan keadilan melalui mekanisme peradilan, wacana tentang KKR kemudian muncul. Beberapa konsep dasar KKR adalah; memberikan arti pada suara korban secara individu, pengungkapan sejarah sebenarnya, pendidikan dan pengetahuan publik, menuju reformasi kelembagaan, mengembalikan hak korban serta pertanggungjawaban dari para pelaku. Namun, kehadiran KKR sendiri dalam bentuk UU mendapat sambutan yang dingin dari para kelompok korban. Walaupun belum berjalan sampai saat ini, sinyalemen ketidakpercayaan sudah terlihat dari berbagai kelompok masyarakat. UU KKR sekarang memang dinilai oleh banyak pihak menyimpang dari konsep dasarnya. Hal ini dapat dilihat dalam ketentuan pasal 1 angka 9, pasal 27, dan pasal 44 UU KKR yang memasung hak pemulihan para korban. Mekanisme yang dibuat oleh pemerintah justru terkadang menjadi proses impunitas bagi para pelaku. Problematik yang menghadang proses tersebut begitu banyak dan sangatlah politis. Kekuatan politik yang berkuasa di Indonesia tidak memiliki/mampu untuk mendorong upaya penyelesaian pelanggaran HAM di masa lalu sebagai salah satu syarat proses transisi sistem yang otoritarian menuju ke proses demokratis. Kelompok korban dan masyarakat membutuhkan satu terobosan untuk merebut keadilan yang telah diinjak oleh penguasa.
Item Type: | Thesis (Skripsi) | ||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|
Additional Information: | KKB KK FH 293/06 Ari p | ||||||
Uncontrolled Keywords: | HUMAN RIGHT | ||||||
Subjects: | K Law > K Law (General) > K1-7720 Law in general. Comparative and uniform law. Jurisprudence | ||||||
Divisions: | 03. Fakultas Hukum | ||||||
Creators: |
|
||||||
Contributors: |
|
||||||
Depositing User: | Tn Hatra Iswara | ||||||
Date Deposited: | 16 Oct 2006 12:00 | ||||||
Last Modified: | 15 Jun 2017 22:34 | ||||||
URI: | http://repository.unair.ac.id/id/eprint/13360 | ||||||
Sosial Share: | |||||||
Actions (login required)
View Item |