YOAN STEVANIE, 030215463
(2007)
KEABSAHAN DAN AKIBAT HUKUM PERKAWINAN CAMPURAN OLEH PEREMPUAN WNI MENURUT HUKUM INDONESIA.
Skripsi thesis, UNIVERSITAS AIRLANGGA.
Abstract
Perkawinan campuran yang dilakukan di Indonesia dilaksanakan berdasarkan hukum perkawinan yang berlaku di Indonesia. Untuk melaksanakan perkawinan campuran, terlebih dahulu harus dipenuhi syarat materiil dan syarat formil. Syarat materiil ditentukan berdasarkan hukum personal para pihak (sesuai pasal 16 AB), misalnya kewenangan atau kemampuan untuk kawin (batas usia minimum untuk kawin, ijin orang tua dan sebagainya) untuk membuktikan semua syarat materiil untuk melaksanakan perkawinan campuran telah dipenuhi, maka para pihak harus memiliki surat ijin kawin dan surat keterangan tidak ada halangan untuk kawin dari kantor catatan sipil atau pengadilan dan negara yang bersangkutan. Untuk syarat formal, formalitas perkawinan campuran di Indonesia dilakukan menurut ketentuan hukum perkawinan Indonesia (pasal 59 ayat 2 UUP).
Untuk keabsahan perkawinan campuran yang dilakukan di luar wilayah Indonesia harus dilakukan menurut perkawinan yang berlaku di negara dimana perkawinan tersebut dilangsungkan (sesuai pasal 18 AB) dan bagi WNI tidak melanggar UUP (pasal 56 ayat 2 UUP).
Akibat hukum perkawinan campuran oleh perempuan WNI terhadap status kewarganegaraan istri dan anak menurut UU Kewarganegaraan Lama (UU No. 62 tahun 1958) ialah : istri diharapkan mengikuti kewarganegaraan suami demi terciptanya kesatuan kewarganegaraan dalam perkawinan.
Namun istri juga dapat tetap mempertahankan status WNInya dengan konsekuensi terdapat perbedaan kewarganegaraan dalam perkawinan. Dan anak hasil perkawinan campuran oleh perempuan WNI otomatis berkewarganegaraan asing sesuai warga negara ayahnya, kecuali ayahnya tidak memiliki kewarganegaraan atau tidak diketahui kewarganegaraannya, maka anak tersebut baru bisa menyandang status WNI dari ibunya.
Akibat hukum perkawinan campuran oleh perempuan WNI terhadap status kewarganegaraan istri dan anak menurut UU No. 12 tahun 2006 ialah : istri tidak lagi diharapkan mengikuti kewarganegaraan suami karena UU ini tidak lagi menganut asas kesatuan kewarganegaraan dalam perkawinan yang mengacu pada suami. Istri dapat menentukan sendiri apakah ia mempertahankan status WNInya atau melepaskan status WNInya dan mengikuti kewarganegaraan suami. Dan anak hasil perkawinan campuran memperoleh kewarganegaraan ganda terbatas sampai is berumur 18 tahun atau sudah kawin. Setelah ia berumur 18 tahun atau sudah kawin, ia dapat memilih menjadi WNI atau berkewarganegaraan asing sesuai kewarganegaraan salah satu orang tuanya.
Actions (login required)
|
View Item |