Raisa Umami, 030516290 (2009) MOGOK KERJA OLEH PEKERJA KONTRAK DI PERUSAHAAN PELAYANAN PUBLIK. Skripsi thesis, UNIVERSITAS AIRLANGGA.
|
Text (ABSTRAK)
gdlhub-gdl-s1-2010-raisaumami-11980-abstrak-9.pdf Download (307kB) | Preview |
|
Text (FULL TEXT)
gdlhub-gdl-s1-2010-raisaumami-10722-fh1780-m.pdf Restricted to Registered users only Download (581kB) | Request a copy |
Abstract
Mogok kerja merupakan hak dasar bagi setiap pekerja baik pekerja kontrak maupun pekerja tetap. Namun pelaksanaan mogok kerja tersebut baru dianggap sah apabila memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tersebut tidak membedakan pengaturan mogok kerja bagi pekerja kontrak dan pekerja tetap, sehingga dapat disimpulkan bahwa terhadap mogok kerja yang dilakukan baik oleh pekerja kontrak maupun pekerja tetap tunduk pada ketentuan pasal yang sama dan mempunyai akibat hukum yang sama pula. Dalam hal mogok kerja dilakukan oleh pekerja kontrak pada perusahaan pelayanan publik, ada persyaratan lain yang harus dipenuhi dibanding dengan mogok kerja yang terjadi pada perusahaan bukan pelayanan publik. Persyaratan lain itu berupa tambahan 1 (satu) syarat sah dalam pelaksanaan mogok kerja yaitu bahwa pekerja yang melakukan mogok kerja haruslah mereka yang sedang tidak bertugas atau tidak melakukan pekerjaan. Apabila syarat ini dilanggar atau tidak dipenuhi maka mogok kerja yang dilakukan merupakan mogok kerja yang tidak sah. Namun apabila semua persyaratan—termasuk syarat tambahan—telah dipenuhi maka mogok kerja yang dilakukan adalah sah dan pengusaha dilarang untuk memberikan sanksi berupa apapun kepada pekerja yang melakukan mogok kerja sebagaimana ketentuan Pasal 144 Undang-Undang No.13 Tahun 2003. Selain itu, jika pengusaha terbukti benar-benar melanggar hak normatif pekerja maka pekerja yang melakukan mogok kerja tetap berhak mendapatkan upah tanpa menghilangkan ketentuan pengenaan sanksi terhadap pengusaha tersebut. Namun ketentuan mengenai pelanggaran hak-hak normatif oleh pengusaha ini tidak berpengaruh pada sah atau tidaknya pelaksanaan mogok kerja, melainkan hanya berdampak pada berhak atau tidaknya pekerja bersangkutan untuk mendapatkan upah. Dalam hal mogok kerja tidak sah ini pun, Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Kempenakertrans No.232/MEN/2003 tentang Mogok Kerja Yang Tidak Sah tidak memberi pengaturan khusus mengenai akibat hukum dari mogok kerja tidak sah bagi pekerja kontrak. Sehingga dapat disimpulkan bahwa tindakan mogok kerja yang tidak sah mempunyai akibat hukum yang sama terhadap pekerja kontrak maupun pekerja tetap. Suatu tindakan mogok kerja dapat dikatakan sebagai mogok kerja yang tidak sah karena dalam pelaksanaanya terdapat satu atau lebih syarat-syarat sah mogok kerja yang tidak dipenuhi sehingga mengakibatkan tindakan tersebut dikualifikasikan sebagai mangkir. Jika sudah begini, maka pengusaha wajib melakukan pemanggilan secara patut dan tertulis sebanyak kepada pekerja yang melakukan mogok kerja untuk kembali bekerja. Apabila selama 3 (tiga) hari kerja pekerja bersangkutan tidak memenuhi panggilan, pengusaha wajib melakukan pemanggilan kembali untuk kedua kalinya. Jika dalam jangka waktu 5 (lima) hari kerja panggilan kedua ini tetap tidak dipenuhi, maka pekerja kontrak yang melakukan mogok kerja tidak sah tersebut dianggap mengundurkan diri karena mangkir. Namun jika terjadi perselisihan mengenai hal tersebut, pengusaha wajib untuk mengusahakan penyelesaian secara bipartit terlebih dahulu. Apabila penyelesaian secara bipartit tidak berhasil, maka tahapan selanjutnya adalah mengupayakan penyelesaian melalui mediasi. Dan jika upaya mediasi tetap gagal, maka para pihak mempunyai 2 (dua) opsi sebagai penyelesaian selanjutnya, yaitu melalui mekanisme konsiliasi atau melalui Pengadilan Hubungan Industrial. Setelah putusan PHK ditetapkan, maka perjanjian kerja antara pengusaha dengan pekerja kontrak pun berakhir. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 61 ayat (1) huruf c Undang-Undang No.13 Tahun 2003 yang mengatur mengenai keadaan yang menyebabkan berakhirnya perjanjian kerja. Oleh karena itu, pekerja tersebut tidak lagi berhak atas upah melainkan hanya berhak atas uang penggantian hak sesuai dengan ketentuan Pasal 156 ayat (4) Undang-Undang No.13 Tahun 2003 dan uang pisah yang besarnya dan pelaksanaannya diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. Jadi dalam hal terjadi mogok kerja yang tidak sah, PHK memang tidak dilarang melainkan ada mekanisme dan persyaratan tertentu yang harus dipenuhi terlebih dahulu. Sehingga pengusaha tidak dapat serta merta melakukan PHK terhadap pelaku mogok kerja yang tidak sah tersebut.
Item Type: | Thesis (Skripsi) | ||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|
Additional Information: | KKB KK-2 FH 178 09 Uma m | ||||||
Uncontrolled Keywords: | STRIKE AND LOCKOUTS | ||||||
Subjects: | K Law > KB Religious law in general > KB1-4855 Religious law in general. Comparative religious law. Jurisprudence > KB400-4855 Interdisciplinary discussion of subjects > KB1270-1278 Labor laws and legislation | ||||||
Divisions: | 03. Fakultas Hukum | ||||||
Creators: |
|
||||||
Contributors: |
|
||||||
Depositing User: | Tn Hatra Iswara | ||||||
Date Deposited: | 26 May 2010 12:00 | ||||||
Last Modified: | 12 Sep 2016 08:27 | ||||||
URI: | http://repository.unair.ac.id/id/eprint/14053 | ||||||
Sosial Share: | |||||||
Actions (login required)
View Item |