QOMARA SARI, 030416042 (2008) INTERKONEKSI ANTAR OPERATOR PENVEDIA JASA TELEKOMUNIKASI DALAM PERSPEKTIF HUKUM PERSAINGAN USAHA. Skripsi thesis, UNIVERSITAS AIRLANGGA.
|
Text (ABSTRAK)
gdlhub-gdl-s1-2008-sariqomara-8278-fh201_0-k.pdf Download (336kB) | Preview |
|
Text (FULLTEXT)
gdlhub-gdl-s1-2008-sariqomara-8085-fh201_08.pdf Restricted to Registered users only Download (1MB) | Request a copy |
Abstract
Urgensi interkoneksi antar operator penyedia jasa telekomunikasi sebagaimana yang sudah ditentukan dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 08/ Per/ M.KOMINF/ 02/ 2006 tentang Interkoneksi yaitu pengadaan interkoneksi wajib dilaksanakan untuk memberikan j aminan kepada pengguna agar dapat mengakses jasa telekomunikasi sehingga wajib disediakan oleh penyelenggara jaringan telekomunikasi berdasarkan permintaan secara transparan dan, tidak diskriminatif. Ketersambungan layanan dan seluruh fasilitas penting interkoneksi wajib dicantumkan dan dipublikasikan dalam Dokumen Penawaran Interkoneksi (DPI). DPI yang disetujui oleh Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) adalah DPI milik penyelenggara jaringan telekomunikasi dengan pendapatan usaha (operating revenue) 25% atau lebih dari total pendapatan usaha seluruh penyelenggara telekomunikasi dalam segmentasi layanannya, dalam hal ini dipegang oleh operator incumbent, yaitu PT. Telekomunikasi Seluler, PT. Excelcomindo Pratama, Tbk, dan PT. Indosat. Pasca penetapan regulasi tentang interkoneksi, ditetapkan tarif interkoneksi berbasis biaya (Cost-based interconnect pricing) dengan penerapan batas tarif atas yang dalam prakteknya tidak terlalu mempengaruhi pendepatan umum akan tetapi memberikan kesempatan kepada operator untuk memilih rute termurah (least-cost routing). Namun dalam tarif ritel, pemerintah tidak dapat mengintervensi operator karena penetapan tarif kepada konsumen ditentiukan dari tarif interkoneksi ditambah biaya bisnis dan margin yang ditetapkan masing-masing operator. Analisa adanya persaingan usaha tidak sehat pada praktek interkoneksi dalam perspektif hukum persaingan usaha yaitu dengan menggunakan pendekatan rule of reason melalui teori pembuktian hard line evidence theory. Karena selain dibuktikan dengan pendekatan yuridis juga harus memperhatikan tingkat persaingan pada pasar yang bersangkutan (pendekatan ekonomi). Adanya operator dominan yang mengasai pasar dapat menghambat adanya persaingan (barrier to entry), khususnya bagi operator new entries dengan melihat strategi harga yang diterapkan pelaku usaha. Oleh karena itu, dalam praktek interkoneksi antar operator layanan jasa telekomunikasi berpotensi besar melanggar ketentuan Pasal 19 W Nomor 5 Tahun 1999 mengenai penguasaan pasar serta melanggar ketentuan Pasal 5 UiJ Nomor 5 Tahun 1999 mengenai- pedanjian yang dilarang karena operator dominan dapat melakukan penetapan harga atas biaya interkoneksi.
Actions (login required)
View Item |