Bagianto, Hari, NIM. 099813228 D (2009) PENGARUH DEFISIENSI SENG TERHADAP RESPON NYERI (Pendekatan Molekuler Pada Penelitian Menggunakan Tikus Sprague Dawley). Disertasi thesis, UNIVERSITAS AIRLANGGA.
|
Text (ABSTRAK)
gdlhub-gdl-s3-2008-bagiantoha-9732-disk22-k.pdf Download (650kB) | Preview |
|
Text (FULL TEXT)
gdlhub-gdl-s3-2009-bagiantoha-9582-disk22-p.pdf Restricted to Registered users only Download (1MB) | Request a copy |
Abstract
Di negara berkembang termasuk Indonesia, khususnya di Nusa Tenggara Timur (NTT) defisiensi mikronutrien termasuk defisiensi Zn masih merupakan masalah yang penting (Hidayat,1997, Whittaker, 1998, Prasad, 2003). Seng merupakan unsur esensial untuk proses tumbuh-kembang, karena merupakan komponen esensial lebih dari 200 macam metaloenzim dengan berbagai macam aktivitas sintesis atau degradasi dari hampir seluruh metabolit (karbohidrat, protein, lemak, asam nukleat). Metaloenzim Zn memonitor replikasi, transkripsi dan translasi elemen genetik (Vallee., 1983, Bertini et al., 1986). Karena itu defisiensi Zn akan berdampak luas terhadap berbagai sistem tubuh. Seng berpengaruh terhadap nyeri terutama di proses modulasi melalui reseptor NMDA yang di dalamnya termasuk NO sebagai produk akhirnya. Karena NO yang sangat labil sulit dihitung maka nNOS yang memproduksi NO dipakai sebagai parameter nyeri (Mungiu.,et al., 2002.,Gonzalez and Rustioni, 1998, Margaret et al., 1998). Penanggulangan nyeri terutama nyeri kronis masih belum dilakukan dengan memuaskan, bahkan di USA (Bennet, 1997,Brookoff, 2000, Rowbotham et al., 2000). Proses nyeri nosisepsi terdiri dari 4 tahapan yaitu (a) transduksi, (b) transmisi, (c) modulasi dan (d) persepsi. Penelitian pada tahap transduksi dan transmisi telah banyak dilakukan, dan sebagian besar telah terungkap. Tahap Persepsi merupakan tahapan yang amat komplek. Sangat banyak faktor yang mempengaruhinya secara berkaitan, karena itu penelitian ini difokuskan pada tahap modulasi di tingkat medula spinalis. Modulasi nyeri ditentukan oleh keseimbangan antara aktivitas reseptor penghambat (inhibitory) dan pemacu (excitatory). Reseptor NMDA berperan penting pada proses modulasi nyeri kronis (Carpenter ,1999). Seng menghambat kerja reseptor NMDA melalui hambatan ikatan reseptor ini dengan glisin yang merupakan koagonis NMDA (Yeh et at., 1990), dan akan menghambat ikatan reseptor NMDA dengan glutamat sebagai ligannya sehingga aktivitas reseptor NMDA akan menurun. Defisiensi Zn akan memudahkan ikatan glisin dengan reseptor NMDA dan akan meningkatkan ikatan glutamat sebagai ligan yang akan meningkatkan eksitabilitas receptor NMDA. Hal ini akan meningkatkan masuknya ion kalsium melalui katub ion terkait reseptor NMDA, yang selanjutnya mengaktivasi NOS dan berakhir dengan meningkatnya kadar NO (nirik oksida) sitosol. Nitrik Oksida akan segera menyebar ke set neuron presinaptik dan merangsang produksi glutamat yang meningkatkan rangsang pada receptor NMDA sehingga menimbulkan hiperalgesia. Dalam keadaan normal rangsang noksius pada reseptor mGlu akan memecah PIP2 menjadi IP3 dan DAG yang kemudian akan mengaktifkan PKC-α serta menghasilkan NO melalui nNOS (Ohno and Suzuki, 1995). PKC-α ini merupakan enzim yang diperlukan untuk aktivitas reseptor NMDA melalui fosforilasi. PKC-α mengandung 4 atom Zn sehingga defisiensi Zn diperkirakan akan menghambat aktivitas PKC-α dalam memfosforilasi reseptor NMDA, dan sebagai akibatnya aktivitas reseptor NMDA akan menurun pula. Inositoi Trifosfat yang dihasilkan reseptor mGlu akan merangsang keluarnya ion Ca++ dari Retikulum Endoplasma yang merupakan deposit ion Ca intrasel. Ion Ca++ ini setelah terikat Calmudolin akan mengaktivasi nNOS yang akan meningkatkan NO sitosol. Walaupun pada rangsang noksius transien tidak bisa membuka katub ion, reseptor NMDA tetap bisa menghasilkan ion Ca++ sitosol, dan NO melalui jalur ini. Berdasarkan kajian diatas atom Zn dapat menurunkan respon nyeri (inhibitory) melalui hambatan pada glisin sebagai koagonis reseptor NMDA tetapi juga dapat meningkatkan respon nyeri (excitatory) melalui aktivasi PKC-α, yang akan memfosforilasi reseptor NMDA. Sedangkan faktanya, pada keadaan normal Zn, nyeri kronis masih bisa terjadi yang berarti reseptor NMDA masih bisa aktif walaupun kadar Zn normal. Penelitian ini bertujuan mengungkap pengaruh defisiensi Zn terhadap respon nyeri dan modulasi pada medula spinalis dengan menggunakan hewan coba tikus Sprague Dawley (SD). Tikus SD dibagi dalam 2 kelompok yaitu kelompok defisiensi dan kelompok normal. Kelompok defisiensi dibuat dengan diet IRI-OB tanpa Zn selama dua bulan, sehingga didapat keadaan defisiensi Zn kronis seperti fenomena klinis yang terjadi di NTT. Status Zn diperiksa pada tulang tibia karena merupakan kadar yang paling stabil dibanding dengan organ lainnya (rambut, plasma, otot dan sebagainya). Setiap kelompok dibagi 2 lagi, yaitu kelompok nyeri kronis (rangsang noksius kontinyu) dan kelompok nyeri akut (rangsang noksius transien). Kelompok nyeri kronis dibuat dengan operasi CCI Bennet yang mengikat longgar saraf skiatika tikus. Pemeriksaan respon nyeri dilakukan secara klinis terhadap kelompok defisiensi dan normal dengan alat tes plantar modifikasi Ugo Basille. Tes plantar merupakan tes rangsang termal noksius transien, sehingga yang diukur adalah ambang rangsang nyeri akut. Sedangkan pada kelompok nyeri kronis disamping telah mengalami "drop foot ", tikus juga telah mengalami rangsang noksius kontinyu sehingga pengukuran respon nyeri dengan menggunakan alat tes plantar menjadi tidak valid. Pemeriksaan respon nyeri pada kelompok nyeri kronis (rangsang noksius kontinyu) dan akut (rangsang noksius transien) dilakukan melalui parameter molekuler menggunakan metode imunohistokimia dengan menentukan ekspresi nNOS. Hasil penelitian menunjukkan pada kelompok defisiensi Zn terjadi penurunan yang tidak bermakna pada tes plantar dari 32,2 ± 2,2 detik menjadi 29,1 ± 7,9 detik (p=0,251), artinya defisiensi Zn tidak mempengaruhi nyeri akut karena plantar test mengukur ambang rangsang nyeri akut. Tetapi terjadi peningkatan yang bermakna pada nNOS terutama pada kelompok defisiensi dengan rangsang noksius kontinyu (respon nyeri kronis) yaitu dari 11,6 ± 1,5 sel/LP menjadi 16,8 ± 3,3 sel/LP (p=0,027). Pada kelompok defisiensi dengan rangsang noksius transien terjadi kenaikan nNOS yang tidak bermakna yaitu dari 4,4 ± 1,5 sel/LP menjadi 9,0 ± 3,4 sel/LP (p=0,055). Pada kelompok Zn normal, rangsang noksius kontinyu dibanding dengan rangsang noksius transien masih terjadi kenaikan nNOS yang bermakna yaitu dari 4,4±1,5 sel/LP menjadi 11,6 ± 1,5 sel/LP (p=0,002). Sehingga dapat disimpulkan, defisiensi Zn akan meningkatkan respon nyeri terutama pada nyeri kronis. Mengingat bahwa pada kecukupan Zn, rangsang noksius kontinyu masih menimbulkan nyeri walaupun ada hambatan Zn pada pengikatan glisin, maka dapat disimpulkan bahwa hambatan Zn pada reseptor NMDA tidak meniadakan tetapi hanya mengurangi aktivitas reseptor NMDA. Selanjutnya mengingat respon nyeri pada defisiensi Zn ternyata lebih tinggi dibandingkan dengan dalam keadaan kecukupan Zn (masing-masing 16,8 ± 3,3 sel/LP dan 11,6 ± 1,5 sel/LP, p=0.027) maka, diperkirakan fosforilasi reseptor NMDA tetap dapat terjadi dengan bantuan protein kinase lain dan bukan oleh PKC-α yang aktivitasnya memerlukan Zn.
Item Type: | Thesis (Disertasi) | ||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|
Additional Information: | KKA KK Dis K 22/08 Har p | ||||||
Uncontrolled Keywords: | PAIN; PAIN CLINICS | ||||||
Subjects: | Q Science > QP Physiology > P351-495 Neurophysiology and neuropsychology | ||||||
Divisions: | 09. Sekolah Pasca Sarjana > Ilmu Kedokteran | ||||||
Creators: |
|
||||||
Contributors: |
|
||||||
Depositing User: | Sulistiorini | ||||||
Date Deposited: | 18 May 2009 12:00 | ||||||
Last Modified: | 07 Aug 2017 23:15 | ||||||
URI: | http://repository.unair.ac.id/id/eprint/28706 | ||||||
Sosial Share: | |||||||
Actions (login required)
View Item |