PUDJI SRIANTO, 090013741 D
(2004)
PERUNUTAN ALUR LUTEOLITIK HORMON PROSTAGLANDIN F2 YANG DIBERIKAN SECARA SUBMUKOSA VULVA UNTUK GERTAK BIRAHI PADA SAPI PERAH.
Disertasi thesis, UNIVERSITAS AIRLANGGA.
Abstract
Serangkaian penelitian yang terdiri dari penelitian pertama (eksperimental) dan kedua (eksperimental laboratoris) telah dilakukan dengan tujuan untuk membuktikan timbulnya birahi yang fertil pada sapi perah yang disebabkan oleh pemberian PGF2 secara submukosa vulva dan perunutan alur luteolitik yang dilalui oleh PGF2 dalam saluran alat kelamin betina sapi perah untuk menimbulkan birahi. Penelitian pertama merupakan penelitian lapangan yang menggunakan 30 ekor sapi perah Frisch Holland (FH) sebagai sampel, yang dibagi menjadi 10 ekor perlakuan I sebagai kelompok kontrol (penyuntikan PGF2 secara im dosis 25 mg), 10 ekor kelompok perlakuan II (penyuntikan PGF2 secara Sbmv dosis 7,5 mg) dan 10 ekor kelompok perlakuan III (penyuntikan PGF2 secara Sbmv dosis 5 mg). Peubah yang diamati dalam penelitian pertama ini adalah jumlah sapi yang birahi, waktu timbulnya birahi, kejadian ovulasi, serta angka kebuntingan. Hasil penelitian pertama menunjukkan bahwa penyuntikan PGF2 pada kelompok I, II dan III dapat menimbulkan birahi sebanyak 100%; waktu timbulnya birahi berturut-turut adalah 77,00 ± 7,20 jam, 73,30 ± 2,36 jam dan 73,30 ± 2,36 (P>0,05); Kadar hormon progesteron dalam serum darah saat penyuntikan PGF2 berturut-turut adalah sebesar 3,2590 ± 2,4447 ng/mI; 3,5530 ± 2,4783 ng/ml dan 3,8700 ± 2,0592 ng/ml (P>0,05); kadar hormon progesteron saat birahi didapatkan berturut-turut sebesar 0,0780 ± 0,1724 ng/ml, 0,0950 ± 0,1630 ng/ml dan 0,1820 ± 0,1703 ng/mI (P>0,05). Sedangkan kadar hormon progesteron hari ke-7 setelah birahi didapatkan berturut-turut sebesar 2,7190 ± 1,2933 ng/ml, 2,7350± 1,6790 ng/mI dan 2,3750 ± 1,0092 ng/ml (P>0,05). Analisis faktorial (3x3) menunjukkan bahwa tidak terdapat interaksi antara dosis hormon PGF2a yang diberikan dan waktu pengambilan darah terhadap kadar hormon progesteron dalam serum darah (P>0,05), akan tetapi terdapat perbedaan yang sangat nyata antara pengambilan darah pertama, kedua dan ketiga dengan kadar hormon progesteron dalam serum darah (P<0,01). Persentase kebuntingan pada sapi perah didapatkan berurut-turut sebesar 70%; 70% dan 60% (P>0,05). Penelitian kedua yang merupakan penelitian eksperimental laboratorik terdiri atas rangkaian penelitian yang meliputi biosintesis anti-PGF2 dengan cara memberikan imunisasi sebanyak empat kali pada delapan ekor kelinci lokal jantan (Oryctologus cuniculus) yang dibagi menjadi 4 kelompok, masing-masing kelompok terdiri dari 2 ekor. Kelompok kontrol disuntik dengan PBS + CFA dan IFA, kelompok PI disuntik dengan PGF2 250 µg (50 µl dalam 50 µ1 CFA), kelompok PII disuntik dengan PGF2 50014 (100 µl dalam 100 gl CFA) dan kelompok Pill disuntik dengan PGF2 750 µg (150 pi dalam 150 µl CFA), Kemudian dilakukan penyuntikan ulang (booster) pada minggu ke 3, 4 dan 5 dengan PGF2 dalam IFA dengan dosis yang sama. Imunoglobulin G (IgG) yang diperoleh dari serum hasil pengambilan darah dikarakterisasi dengan menggunakan metoda dot blot dan ELISA Tidak Langsung. Anti-PGF2 yang diperoleh digunakan sebagai antibodi primer untuk pemeriksaan imunohistokimia tidak langsung pada saluran alat kelamin betina sapi perah (metoda Avidin Biotin Complex). Pembuktian perunutan alur luteolitik digunakan 5 ekor sapi perah betina sebagai sampel. Satu ekor sebagai kontrol disuntik dengan PBS secara Sbmv dosis 1,5 cc, 2 ekor sebagai kelompok perlakuan I disuntik dengan PGF2 secara Sbmv dosis 7,5 mg(1,5 cc) dan 2 ekor sebagai kelompok perlakuan II disuntik dengan PGF2 secara Sbmv dosis 5 mg (1 cc) kemudian selang satu dan dua jam setelah penyuntikan sapi dipotong. Selanjutnya saluran alat kelamin sapi betina diambil dan di potong-potong (ukuran 2) (2X2) untuk dibuat preparat imunohistokimia. Hasil penelitian kedua menunjukkan bahwa penyuntikan PGF2 sebagai imunogen pada kelinci jantan dapat menimbulkan anti-PGF2 yang dikarakterisir melalui uji spesifisitas dengan menggunakan teknik dot blot dan ELISA Tidak Langsung. Selanjutnya ikatan antigen dan antibodi yang divisualisasikan dengan warna kecoklatan terdapat pada semua saluran reproduksi pada perlakuan satu dan dua jam setelah penyuntikan hormon PGF2 , akumulasi warna kecoklatan banyak terdapat pada preparat korpus uteri. Dari rangkaian tahapan penelitian yang telah dilakukan dapat dibuktikan bahwa pemberian hormon PGF2 secara submukosa vulva dapat menimbulkan respon birahi yang fertil dan memberikan angka kebuntingan sebesar 60-70%. Pemeriksaan imunohistokimia dengan metoda Avidin Biotin Complex dapat digunakan untuk merunut alur luteolitik hormon PGF2 yang diberikan secara submukosa vulva.
Actions (login required)
|
View Item |