BASUKI REKSO WIBOWO
(2004)
ARBITRASE SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PERDAGANGAN DI INDONESIA.
Disertasi thesis, UNIVERSITAS AIRLANGGA.
Abstract
Di Indonesia, eksistensi arbitrase sebagai cara menyelesaikan sengketa telah dikenal sejak jaman penjajahan dan diatur dalam Rv Stb. 1847-52 jo.Stb.1849-63 pasal 615 s/d 651 jo. pasal 377 HIR Stb. 1941-44 dan pasal 705 RBG Stb. 1927-227. Berkaitan dengan pesatnya perkembangan kegiatan perdagangan baik dalam lingkup nasional maupun internasional telah dilakukan pembaharuan hukum arbitrase Indonesia. Pembaharuan hukum dilakukan melalui ratifikasi terhadap konvensi internasional maupun melalui pembaharuan undang-undang. Ratifikasi konvensi internasional sebagai upaya harmonisasi hukum Indonesia terhadap hukum internasional dalam rangka untuk meningkatkan hubungan perdagangan dengan negara lain. Convention on the Settlement of Investment Disputes between States and Nationals of other States (Washington Convention 1965) diratifikasi berdasarkan UU No. 5 tahun 1968 tentang Persetujuan atas Konvensi tentang Penyelesaian Perselisihan antara Negara dan Warganegara Asing mengenai Penanaman Modal. Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards 1958 ( New York Convention 1958) diratifikasi berdasarkan Keputusan Presiden No. 34 tahun 1981 tentang Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing di Wilayah Indonesia. Pembaharuan perundang-undangan arbitrase nasional terwujud dengan berlakunya Undang Undang No.30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alterantif Penyelesaian Sengketa yang mencabut Rv Stb. 1847-52 jo.Stb.1849-63 pasal 615 s/d 651 jo. pasal 377 HIR Stb. 1941-44 dan pasal 705 RBG Stb. 1927-227. Selain daripada itu, eksistensi arbitrase sebagai sebuah alternatif penyelesaian sengketa diatur juga diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan lain untuk menyelesaikan sengketa tertentu yang lebih spesifik, antara lain di bidang ketenagakerjaan, lingkungan hidup, perlindungan konsumen, jasa konstruksi, rahasia dagang, desain industri, desain tata letak sirkuit terpadu, paten, merek, hak cipta, serta lain sebagainya. Adanya berbagai pengaturan dalam berbagai undang-undang tersebut membuktikan tentang pentingnya penyelesaian sengketa melalui arbitrase pada masa mendatang. Prinsip-prinsip arbitrase umum arbitrase telah dinormakan ke dalam UU No.30/1999 antara lain meliputi : (1). Prinsip otonomi para pihak memilih : (a). forum arbitrase, (b). tempat arbitrase, (c). hukum yang berlaku, (d). arbitrator, (e). bahasa; (2). Prinsip perjanjian arbitrase menentukan wewenang arbitrase; (3). Prinsip larangan campur tangan pengadilan kecuali undang-undang menentukan lain; (4). Prinsip pemeriksaan arbitrase bersifat private and confidential ; (5). Prinsip audi et alteram Partem ; (6). Prinsip perwakilan (kuasa) bersifat fakultatif; (7). Prinsip kebolehan penggabungan pihak ketiga dalam proses arbitrase; (8). Prinsip pemeriksaan arbitrase bersifat tertulis; (9). Prinsip limitasi waktu proses arbitrase; (10). Prinsip perdamaian bersifat fakultatif; (11). Prinsip pembuktian; (12). Prinsip putusan arbitrase dan pendapat mengikat (binding opinion) bersifat final and binding ; (13). Prinsip religiusitas putusan arbitrase; (13). Prinsip putusan arbitrase berdasarkan hukum atau berdasarkan ex aequo et bono ; (14). prinsip dissenting opinions ; (15). Prinsip biaya perkara ditanggung pihak berperkara; (16). Prinsip pelaksanaan putusan arbitrase oleh pengadilan; (17). Prinsip resiprositas dalam pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional; (18). Prinsip ketertiban umum dalam pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional; (19). Prinsip pembatalan putusan arbitrase dengan alasan yang bersifat limitatif. (20). Prinsip religiusitas putusan arbitrase merupakan prinsip yang khas dan bersumber dari nilai-nilai filosofis masyarakat Indonesia. Penerapan prinsip-prinsip dasar arbitrase pada dasarnya merupakan kewajiban, sekaligus tanggung jawab, bagi semua pihak yang terkait dengan penggunaan arbitrase sebagai alternative penyelesaian sengketa perdagangan. Betapapun idealnya prinsip-prinsip dasar arbitrase, akan menjadi kehilangan makna dan hakekatnya apabila dalam prakteknya tidak dijalankan sebagaimana mestinya. Sejalan dengan hal tersebut, perlu ditumbuh-kembangkan kultur dan etika dalam perilaku bisnis di kalangan komunitas bisnis agar senantiasa menjunjung tinggi sikap-sikap kejujuran, kepercayaan, keterbukaan, kepatutan, itikad baik dan kesukarelaan dalam aktifitas bisnis. Arbitrase hanya mungkin berkembang dengan baik apabila kultur dan etika bisnis telah berkembang dengan baik pula. Pengadilan memiliki arti yang sangat penting terhadap masa depan dan perkembangan arbitrase sebagai alternatif penyelesaian sengketa dagang di Indonesia. Dalam kedudukannya sebagai out of court dispute resolution , arbitrase tidak memiliki wewenang publik sebagaimana terdapat pada lembaga Pengadilan (state court). Pengadilan memiliki arti penting sebagai supporting institution terhadap kelancaran proses arbitrase maupun pelaksanaan putusan arbitrase. Pada prinsipnya UU No.30/1999 melarang campur tangan Pengadilan terhadap arbitrase kecuali dalam hal-hal tertentu yang diatur undang-undang. Wewenang Pengadilan melakukan campur tangan dalam hal-hal : (1). penunjukan arbitrator dalam al para pihak tidak mencapai sepakat dalam pemilihan arbitrator; (2). mengadili gugatan hak ingkar terhadap arbitrator; (3). Mernberikan pengakuan atau penoaakan putusan arbitrase internasional; (4). menjalankan (eksekusi) putusan arbitrase nasional maupun arbitrase internasional; (5). mengadili permohonan pembatalan putusan arbitrase. Wewenang pengadilan melakukan campur tangan terhadap arbitase tidak dimaksudkan untuk mereduksi atau bahkan meniadakan samasekali kedudukan maupun peranan arbitrase, melainkan justru dimaksudkan untuk melancarkan proses-proses arbitrase agar berlangsung sebagaimana mestinya. Peningkatan kepercayaan masyarakat terhadap arbitrase bermanfaat untuk mengurangi sarat-beban pengadilan serta untuk memberikan pilihan menarik dalam penyelesaian sengketa perdagangan secara lebih efektif dan efisien. Campur tangan Pengadilan sedapat mungkin dihindari kecuali undang-undang membolehkan serta tidak bertentangan dengan prinsip¬prinsip yang berlaku. Perlu dikembangkan pemahaman secara luas bahwa arbitrase bukanlah merupakan pesaing bagi pengadilan yang akan mereduksi peran serta wewenang Pengadilan.
Actions (login required)
|
View Item |