S.BAYU WAHYONO, 099813177 D (2003) KEJAWEN DAN ALIRAN ISLAM : STUDI TENTANG RESPONS KULTURAL DAN POLITIK MASYARAKAT KEJAWEN TERHADAP PENETRASI GERAKAN ISLAM PURITAN DI YOGYAKARTA. Disertasi thesis, UNIVERSITAS AIRLANGGA.
|
Text (ABSTRAK)
gdlhub-gdl-s3-2007-wahyonosba-5080-dissabs.pdf Download (200kB) | Preview |
|
|
Text (FULLTEXT 1)
gdlhub-gdl-s3-2007-wahyonosba-5080-diss01-4 A.pdf Download (2MB) | Preview |
|
|
Text (FULLTEXT 2)
gdlhub-gdl-s3-2007-wahyonosba-5080-diss01-4 B.pdf Download (1MB) | Preview |
Abstract
Penelitian ini dilatarbelakangi adanya fenomena bahwa ketika negara mengalami surut, setelah lebih dari tigapuluh tahun menjadi kekuatan hegemonik dan dominatif terhadap masyarakat, konflik identitas yang merujuk pada etnis, ideologi, agama, dan kebudayaan terasa semakin manifes. Masyarakat yang sebelumnya senantiasa berada pada posisi yang terkooptasi dalam relasi negara-masyarakat, menunjukkan tanda-tanda menguat dan secara bebas mengeksprersikan identitasnya memanfaatkan ruang publik yang telah longgar tanpa kontrol negara. Bersamaan dengan itu, terbukannya peluang mengekspresikan identitas tersebut diikuti pula benturan antarnilai yang menjadi landasan eksistensi identitasnya. Dengan lain perkataan, iklim keterbukaan dan kebebasan mempunyai implikasi terhadap timbulnya fenomena konflik identitas antarnilai, yang sebelumnya memang potensial tetapi mampu dikendalikan secara efektif oleh kekuatan negara. Dalam pada itu kebudayaan Jawa sebagai sistem nilai di satu pihak, dan di lain pihak gerakan Islam yang sejak awal dekade 1990-an di Indonesia mengalami kebangkitan, kembali berada dalam suasana ketegangan hubungan. Proses pergulatan mempertahankan identitas masyarakat Kejawen yang berlangsung secara terusmenerus dan dinamis pada satu sisi, sementara pada sisi lain kebangkitan gerakan Islam puritan terus menunjukkan eskalasinya, maka benturan kedua entitas kebudayaan itu menjadi tidak terhindarkan. Terlebih lagi keduanya berangkat dari asumsi yang sama, bahwa negara merupakan wahana yang paling efektif untuk meneguhkan identitas. baik secara politik maupun kultural, sehingga pergulatan keduanya terus berada dalam konteks perebutan negara. Petanyaan utama dalam studi ini adalah: (1) Dalam proses pergulatan kedua entitas kebudayaan dan politik tersebut, bagaimana warga masyarakat kejawen mempertahankan identitasnya ketika menghadapi penetrasi gerakan Islam puritan? Pada konteks itu, secara kultural apakah masyarakat kejawen dalam merespons tekanan pengaruh Islam, mengalami proses kehilangan identitasnya atau terus berupaya mempertahankannya?; (2) Secara politik bagaimana masyarakat kejawen merespons tekanan pengaruh gerakan Islam puritan, apakah terjadi proses . transformasi menjadi basis pendukung partai-partai Islam, atau tetap berusaha memberikan dukungan terhadap partai-partai nasionalis yang dianggap mampu menjamin dan memberi proteksi terhadap kelangsungan tradisi kejawen (3) Dalam proses pergulatan antara warga masyarakat kejawen yang masih mendukung tradisi kebudayaannya dengan pendukung gerakan Islam puritan, bagaimana karakter hubungan kedua entitas tersebut? Bersifat interrelatif, kontestantif atau bahkan konfliktual? Studi ini dilakukim di Kecamatan Ngaglik Kabupaten Sleman Yogyakarta. Kecamatan Ngaglik, sebuah daerah termasuk dalam wilayah Kabupaten Sleman Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, sekitar 12 km arah utara kota Yogyakarta. Penelitian ini melihat terjadinya respons kultural dan politik masyarakat kejawen sebagai fenomena sosio-antropologis, dalam arti bagaimana respons tersebut dipaparkan dalam bentuk diskripsi budaya secara ditail menurut persepsi masyarakat kejawen. Argumen ini sekaligus menjadi pertimbangan utama, mengapa penelitian ini memilih motode etnografi. Alur pikir studi ini pada prinsipnya ingin melihat bagaimana pergulatan dua entitas struktur dan kultur, yaitu antara masyarakat santri ortodoks yang teokratik dengan masyarakat kejawen heterodoks yang sekuleristik, dalam upaya memperebutkan negara. Kedua entitas itu memiliki asumsi dan bahkan keyakinan yang sama, yaitu bahwa negara merupakan wahana sekaligus instrumen yang paling efektif untuk mengendalikan. perilaku warga baik secara politik maupun kultural sebagaimana yang dikehendaki, karena watak negara yang memiliki kemampuan memaksa. Kerangka konsep yang digunakan untuk menjelaskan fenomena hubungan masyarakat kejawen dan Islam, khususnya yang berkaitan dengan gerakan pemurnian praktik agama, dengan mengkombinasikan tiga konsep utama, yaitu sinkretisme, etnisitas, identitas dan politik identitas. Sinkretisme selama ini menempati posisi yang cukup dominan dalam upaya menjelaskan hubungan kejawen dan Islam, khususnya di bekas daerah kerajaan Mataram. Proposisi dari segenap teoritisi seperti Geertz, Benda, Ricklefs, Mulder, Stange, Suseno, dan Woodward yang selama ini memfokuskan perhatian terhadap isu kejawen melalui konsep sinkritisme yang menghasilkan formulasi Islam sinkretis. Posisi konsep etnisitas ini digunakan untuk menjelaskan bahwa meskipun orang Jawa merupakan satu kesatuan etnis secara biologis, tetapi secara kebudayaan di dalamnya mengandung berbagai perbedaan. Sebagai sebuah konstruksi sosial, teori ini dipakai untuk menjelaskan bagaimana gerakan Islam puritan melakukan tekanan terhadap masyarakat kejawen. Teori ini diambil dari (Lipschutz, 1998), Benedict Anderson (2001),dan (Denis Dwyer, 1996). Sementara itu, posisi konsep identitas digunakan untuk mengetahui perbedaan identitas yang prinsipial terhadap dua entitas kebudayaan, yaitu kejawen dan Islam. Teori ini diambil dari perspektif dan formulasi Anthony Giddens (1960) tentang identitas person; dari Benedic Anderson (2001) tentang identitas kelompok (nation); dan dari Chris Barker (2000), J. Week (1990) serta S. Hall (1992) tentang teori identitas sosial dan kebudayaan. Studi ini menemukan bahwa pada prinsipnya tipologi kebudayaan masyarakat Jawa jauh dari sifat homogen, tetapi terfragmentasi menurut kelompok-kelompok rujukan, terutama antara masyarakat Islam puritan dan masyarakat kejawen yang meskipun mengaku beragama Islam tetapi hanya secara nominal. Dalam pergulatannya tetap diwarnai oleh dinamika tarik-menarik kepentingan politik dan identitas kebudayaan yang bersifat kontestantif antara subkultur santri dan subkultur abangan-priyayi atau kejawen. Konflik kultural dan politik itu semakin manifes dan dinamik, ketika kekuatan negara mulai surut. Fakta menunjukkan, yang terjadi kemudian kekuatan gerakan Islam puritan ada kecenderungan ingin menggantikan peran negara, menjadi kekuatan hegemonik baru dengan terus melakukan gerakan puritanisasi, yang berangkat dari prinsip fundamental bahwa agama dan negara adalah integralistik. Respons secara kultural masyarakat kejawen terhadap gerakan penguatan islamisasi ternyata menggunakan strategi yang diwujudkan dalam gerakan revivalisasi dan reproduksi ritual-ritual Jawa yang dianggap genuine, seperti membangkitkan dan menggairahkan kembali jamasan dan kirap pusaka, bersih desa, ruwatan, upacara wiwit dan methik padi, dan kegairahan mengunjungi tempat-tempat yang dikeramatkan. Revivalisasi ritual-ritual masyarakat kejawen itu dimaksudkan untuk melakukan perumitan-perumitan budaya, dengan demikian pengaruh kebudayaan luar menjadi lebih sulit masuk karena ritual-ritual itu semakin semakin meneguhkan identitas budayanya sehingga sulit ditembus. Terjadi semacam proses involusi ritual, yang dimaksudkan untuk melindungi masyarakat kejawen dari penerobosan program program puritanisasi Islam yang secara kebudayaan menyudutkan posisi kejawen dalam posisi sulit. Perumitan ritual dimaksudkan sebagai benteng untuk melindungi masyarakat kejawen dari pengaruh-pengaruh penguatan islamisasi yang demikian gencar dan meluas. Dalam penelitian ini ditemukan, bahwa respons politik masyarakat kejawen memiliki kecenderungan besar mendukung partai-partai nasionalis sekuler yang terepresentasi pada PDIP dan Golkar. Kesediaan menjadi basis pendukung kedua partai tersebut merupakan pilihan sadar dan rasional, karena dalam pandangan masyarakat kejawen hanya partai-partai nasionalis sekulerlah yang bisa memberi garansi kelestarian identitas kebudayaan Jawa. Sedangkan partai-partai Islam atau yang berbau Islam, menurut pandangan mereka bagaimanapun tetap berpotensi menyingkirkan tradisi dan kesenian Jawa, untuk kemudian digantikan dengan tradisi yang berorientasi pada kebudayaan Arab yang merupakan pusat dan asal-usul Islam. Bentuk negara sekuler berdasarkan Pancasila bagi masyarakat kejawen sudah menjadi pilihan baku, karena itu gerakan Islam puritan yang tetap menginginkan integrasi agama dan negara senantiasa ditentang oleh masyarakat kejawen. Studi ini menemukan fakta bahwa hingga sekarang pun usaha kelompok Islam politik yang puritan untuk menjadikan Indonesia menjadi negara Islam, terus mendapat perlawanan dari kaum sekuler yang basis utamanya adalah masyarakat abangan. Kecil kemungkinan masyarakat kejawen akan menyeberang menjadi basis partai partai Islam atau yang berbau Islam, sepanjang isu di seputar hubungan agama dan negara terus dipersoalkan oleh politik Islam. Terpeliharanya sikap konsisten masyarakat kejawen yang lebih memilih negara sekuler itu berakar pada sejarah. Raja-raja Jawa pedalaman sudah sejak dini menerapkan kebijakan politik yang membatasi peran - ulama masuk ke wilayah politik kerajaan. Dengan lebih halus (subtil), pula seperti itu juga diterapkan oleh Soekarno dan Soeharto. Caranya dengan mengakomodasi simbol-simbol keislaman ditarik masuk ke dalam wilayah kerajaan atau negara, tetapi bersamaan dengan itu sekaligus menerapkan pembonsaian politik pengaruh Islam. Studi ini membawa implikasi teoretik, bahwa penjelasan teoretik tentang hubungan kejawen dengan Islam yang menggunakan konsep sinkritisme yang selama ini masih dominan, perlu dipertanyakan. Di sana yang terjadi sesungguhnya bukan sinkritisme, karena dua entitas yang berjumpa itu tidak mengalami proses saling memakai baik secara teologis maupun lebih-lebih secara kultural. Bahkan yang terjadi hubungan konfliktual yang saling menghilangkan, sehingga dua-duanya tetap tegak dengan landasan eksistensinya masing-masing. Implikasinya sangat absolut, orang menjadi santri tidak mungkin abangan, Sebaliknya orang abangan tidak bisa disebut santri atau semi-santri baik secara teologis maupun kultural. Bahwa masyarakat abangan memeluk Islam, lebih karena pilihan formalitas karena negara hanya memberi kesempatan pilihan pada lima agama yang didifinisikan sebagai agama resmi. Dengan demikian, kesimpulan Ricklefs (1979) dengan melanjutkan temuan Geertz yang membuat kategorisasi atau tipologisasi dengan mem-breckdown masyarakat Jawa menjadi lebih rumit seperti santri-priyayi, abangan-santri dan seterusnya, tidak representatif lagi. Begitu pula studi Muhammad Pranowo (1994) dengan temuan bahwa terjadi semakin menguatnya budaya santri di wilayah kejawen yang sekaligus menegaskan bahwa polarisasi santri-abangan tidak valid, itu boleh jadi hanya terjadi pada masyarakat di lingkungan pesantren tempat ia meneliti. Di samping itu Pranowo mengesampingkan atau memang sengaja menyembunyikannya suatu realitas bahwa pondok pesantren di wilayah mataraman sebagian besar santrinya datang dari luar daerah, yaitu dari daerah-yang memang basis santri. Oleh karena itu, untuk memahami masyarakat kejawen dengan formulasi teoretik yang dikemas dalam format sinkretisme barangkali tidak terlalu berlebihan jika dikatakan sebuah tarikan kesimpulan teoretik yang terburu-buru. Sinkretisme asumsi-asumsinya bersifat statis, kurang mengandaikan adanya relasi kebudayaan yang senantiasa dinamik. Sinkretisme dianggap sebagai sebuah hasil final dari proses negosiasi dan resistensi kultural, padahal proses itu masih belum selesai. Dengan demikian sinkretisme itu boleh dianggap sebagai semacam rase yang bersifat tentatif: semacam situasi gencatan senjata kultural (cultural cease fire). Selanjutnya proses saling tawar-menawar itu -terus berlangsung dengan penuh dinamika, sehingga yang lebih tepat adalah bahwa hubungan kejawen dan Islam bersifat konfliktual dari dua entitas yang pada hakekatnya memang berbeda. ' Dalam pada itu penjelasan dan kesimpulan yang ditarik oleh studi-studi terdahulu seperti yang dilakukan oleh Mark Woodward (1989), Andrew Betty (1996), dan sebagian juga dilakukan Clifford Geertz (1960), Muhammad Pranowo (1992), Koetjaraningrat (1984) Simuh (1995) dan lain-lain yang menggunakan sinkretisme sebagai konstruksi utama tentang masyarakat kejawen dalam hubungannya dengan Islam masih problematik. Terlebih lagi berbagai studi yang dilakukan pada era Orde Baru, terutama oleh sejumlah peneliti dari pendukung developmentalism yang suka dengan konsep sinkretisme, terasa kurang mewakili realitas empirik karena bias paradigma konsensus yang pada masa itu tidak biasa dengan pendekatan konflik. </description
Item Type: | Thesis (Disertasi) | ||||||||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
Additional Information: | KKB KK-2 Dis S 01/04 Wah k | ||||||||||||
Uncontrolled Keywords: | kejawen society,puritan Islamic movement, conflict, state, and cultural and political respons | ||||||||||||
Subjects: | B Philosophy. Psychology. Religion > BP Islam. Bahaism. Theosophy, etc > BP1-253 Islam H Social Sciences > HM Sociology > HM(1)-1281 Sociology > HM711-806 Groups and organizations > HM756-781 Community H Social Sciences > HV Social pathology. Social and public welfare > HV1-9960 Social pathology. Social and public welfare. Criminology > HV697-4959 Protection, assistance and relief > HV3176-3199 Special classes. By race or ethnic group |
||||||||||||
Divisions: | 09. Sekolah Pasca Sarjana > Ilmu Sosial | ||||||||||||
Creators: |
|
||||||||||||
Contributors: |
|
||||||||||||
Depositing User: | Nn Dhani Karolyn Putri | ||||||||||||
Date Deposited: | 11 Oct 2016 04:05 | ||||||||||||
Last Modified: | 05 Jul 2017 22:34 | ||||||||||||
URI: | http://repository.unair.ac.id/id/eprint/32555 | ||||||||||||
Sosial Share: | |||||||||||||
Actions (login required)
View Item |