WARSONO, 0996123007 D (2003) WACANA POLITIK KIAI NU PADA ERA PEMERINTAHAN GUS DUR: Apakah Sebagai Intelektual Organik atau Intelektual Tradisional? Disertasi thesis, UNIVERSITAS AIRLANGGA.
|
Text (ABSTRAK)
jiptunair-gdl-s3-2003-warsono-850-kiai-diss09-w-abs.pdf Download (187kB) | Preview |
|
|
Text (FULL TEXT)
jiptunair-gdl-s3-2003-warsono-850-kiai-diss09-w.pdf Download (15MB) | Preview |
Abstract
Penelitian ini dimaksudkan untuk mengkaji wacana politik kiai NU pada era pemerintahan Gus Dur, dilihat darI perspektif Gramscian. Hal ini dimaksudkan untuk memahami bagaimana kiai menghadapi dominasi negara ketika pemerintahannya dipegang oleh seorang kiai yang juga dari NU. Apakah mereka akan bertindak sebagai intelektual organik atau tetap menjalankan fungsi sebagai intelektual tradisional sebagai wujud dari peran kenabian. Kiai macam apa yang bertindak sebagai intelektual organik da kiai macam apa yang bertindak sebagai intelektual tradisional. Penelitian ini memfokuskan pada kiai-kiai NU, baik yang menjadi pengurus PBNU, kiai yang aktif di PKB maupun di partai politik lain, dan kiai yang tidak menjadi pengurus suatu partai politik. Penelitian ini menggunakan pendekatan analisis wacana, dengan memfokuskan pada makna ideologis dari suatu teks, ucapan atau kata-kata serta argumentasi kiai dalam menangapi dominasi pemerintahan Gus Dur. Pengumpulan data dilakukan dengan cara mengumpulkan berbagai tulisan kiai, khususnya yang berkaitan dengan politik. Selain itu, penulis juga menghadiri berbagai kegiatan kiai seperti istighosah, haul serta kegiatan lain yang melibatkan kiai. Analisis data dilakukan dengan memetakan makna ideologis wacana yang dikembangkan oleh masing-masing kiai dikaitkan dengan kondisi yang melatar belakangi wacana tersebut. Dari hasil analisis diketahui bahwa pada era pemerintahan Gus Dur, tidak semua kiai bertindak sebagai intelektual organik untuk mempertahankan pemerintahan Gus Dur. Ada kiai yang bertindak sebagai intelektual tradisional, dan ada kiai yang tetap menjalan peran kenabian, tetapi ada juga kiai yang bertindak sebagai intelektual organik dan intelektual tradisional secara simultan. Dari penelitian ini ditemukan bahwa kiai yang bertindak sebagai intelektual organik juga mempunyai motivasi berbeda-berbeda. Ada kiai yang motivasinya membela NU, dengan melihat Gus Dur sebagai lambang dari NU, tetapi ada juga yang motivasinya kekawatiran akan kehilangan hak-hak istimewanya, sebagai bagian dari kelompok dominan. Begitu juga kiai yang bertindak sebagai intelektual tradisional dilandasi oleh motivasi yang berbeda. Ada kiai intelektual organik yang dilandasi oleh analisis rasional atas kepemimpinan Gus Dur, tetapi ada juga yang dilandasi oleh sikap oposan, karena perbedaan ideologi. Variasi fungsi dan perbedaan motivasi ini berpengaruh kepada wacana yang dikembangkan oleh masing-masing kiai. Kiai yang menjalankan peran kenabian, wacananya berada pada wilayah etik dan moral politik, yang ditujukan untuk kepentingan umat secara keseluruhan, baik yang muslim maupun yang non muslim. Kiai intelektual tradisional rasional wacana politiknya berada pada wilayah ketatanegaraan dengan mengacu kepada aturan hukum yang berlaku, dan ditujukan untuk kepentingan bangsa dan negara. Kiai intelektual tradisional oposan, wacana politiknya berada pada wilayah hukum Islam, dan dimaksudkan untuk menegakan hukum Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sedangkan kiai intelektual organik yang membela NU wacana politiknya berada pada wilayah simbolis dan irasional. Kiai intelektual organik kawatir, wacana politiknya berada pada wilayah konflik yang mengundang konflik dengan orang lain atau kelompok lain. Kiai simultan, wacana politiknya dipengaruhi oleh lingkungan dimana dan dengan siapa ia berwacana. Adanya varian fungsi kiai, di satu sisi tidak menguntungkan pemerintahan Gus Dur, karena tidak semua kiai membantu membangun hegemoni dalam rangka mempertahankan dominasi. Bahkan kiai yang kawatir, justru dapat mengunggu dan merusak citra kepemimpinan Gus Dur. Di sisi lain, variasi fungsi kiai dapat menumbuhkan demokratisasi di Indonesia. Namun, bila tidak dikelola secara baik, perbedaan motivasi tersebut juga dapat menimbulkan konflik antar umat beragama maupun inter umat Islam, karena setiap kiai mempunyai kekuasaan hegemonik yang dapat dipakai untuk memobilisir masyarakat, khususnya para santri. Kekuasaan hegemonik kiai tidak hanya bersumber dari intelektual, moral dan ekonomi, tetapi juga bersumber dari nasab (geneology), dan usia (gerontocracy), serta hubungan patron-klien antara santri dan kiai. Dalam kominitas kiai dan NU, tradisi untuk menghormati kiai dan keluarganya dan yang tua, sangat kuat dan terus dipertahankan, sebagai sumber kekuasaan hegemoni.
Item Type: | Thesis (Disertasi) | ||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|
Additional Information: | KKB KK-2 Dis.S.09/03 War w (abstrak tidak lengkap) | ||||||
Uncontrolled Keywords: | POLITICAL LEADERSHIP; ISLAM AND POLITICS | ||||||
Subjects: | B Philosophy. Psychology. Religion > BP Islam. Bahaism. Theosophy, etc > BP1-253 Islam J Political Science > JA Political science (General) |
||||||
Divisions: | 09. Sekolah Pasca Sarjana > Ilmu Sosial | ||||||
Creators: |
|
||||||
Contributors: |
|
||||||
Depositing User: | Nn Dhani Karolyn Putri | ||||||
Date Deposited: | 19 Oct 2016 21:49 | ||||||
Last Modified: | 19 Oct 2016 21:49 | ||||||
URI: | http://repository.unair.ac.id/id/eprint/32729 | ||||||
Sosial Share: | |||||||
Actions (login required)
View Item |