DISKURSUS LEMBAGA PENYIARAN PUBLIK: ANALISIS WACANA LEMBAGA PENYIARAN PUBLIK TENTANG AKSES PUBLIK, DANA PUBLIK, PARTISIPASI PUBLIK, AKUNTABILITAS PUBLIK MENURUT PENGELOLA RRI MALANG, PENGUSAHA RADIO DAN MASYARAKAT SERTA KETERKAITANNYA DENGAN DISKURSUS DEMOKRATISASI LOKAL

ROCHMAD EFFENDY, 090410689 L (2006) DISKURSUS LEMBAGA PENYIARAN PUBLIK: ANALISIS WACANA LEMBAGA PENYIARAN PUBLIK TENTANG AKSES PUBLIK, DANA PUBLIK, PARTISIPASI PUBLIK, AKUNTABILITAS PUBLIK MENURUT PENGELOLA RRI MALANG, PENGUSAHA RADIO DAN MASYARAKAT SERTA KETERKAITANNYA DENGAN DISKURSUS DEMOKRATISASI LOKAL. Thesis thesis, UNIVERSITAS AIRLANGGA.

[img]
Preview
Text (ABSTRAK)
gdlhub-gdl-s2-2008-effendyroc-7553-abstract-8.pdf

Download (744kB) | Preview
[img] Text (FULLTEXT)
gdlhub-gdl-s2-2008-effendyroc-7553-full-min.pdf
Restricted to Registered users only

Download (3MB) | Request a copy
Official URL: http://lib.unair.ac.id

Abstract

Radio Republik Indonesia telah membawa `genetika lembaga penyiaran public semenjak dilahirkan pada tanggal 11 September 1945. Suasana sosial politik yang pada saat itu adalah masa perjuangan mengusir penjajah dari Bumi Pertiwi. Hal ini bisa dilihat dari sumpah Tri Prasetya para pendiri RRI yang intinya adalah mengutumakan kepentingan bangsa diatas kepentingan yang lain. Suasana hati para angkasawan RRI saat itu adalah bagaimana memanfaatkan RRI untuk kepentingan bangsa dengan segala daya dan upaya. Situasi sosial politik yang otoriter menjelang runtuhnya Presiden Soekarno dan naiknya Presiden Soeharto ikut merubah secara total manajemen RRI menjadi alat alat ideologis negara (an ideological state apparatus) dan medium propaganda penguasa. Namun seiring dengan gerakan reformasi yang mengusung demokrasi, RRI-pun dikembalikan kepada asal pendiriannya menjadi lembaga penyiaran publik sesuai dengan amanat Undang-Undang No 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran. Sebagai ranah yang bernilai ekonomi dan politik strategis, jagat penyiaran selalu menjadi ajang perebutan kekuasaan antara para pemangku kepentingan ; negara, pasar dan masyarakat sipil. Suasana tarik ulur kepentingan antara mereka sudah mulai saat pembahasan, pengesahan dan hingga ke proses Uji materi Undang-Undang Penyiaran di Mahkahah Konstitusi. Tidak heran, kalau UU penyiaran ini sarat dengan kompromi. kompromi politik antara mereka sehingga seringkali mengabaikan substansi hukum. Tak terkecuali, materi tentang lembaga penyiaran publik. Meski Undang-Undang Penyiaran telah menetapkan bahwa lembaga penyiaran publik terdiri dari Radio Republik Indonesia (RRI), Televisi Republik Indonesia (TVRI), dan Lembaga Penyiaran Publik Lokal. Ketiganya bentuk badan hukum yang didirikan oleh negara (untuk RRI dan TVRI) dengan jangkauan siaran nasional dan pemerintah daerah dengan wilayah siaran lokal. Namun ketentuan ini masih disalah tafsirkan oleh Departemen Pendidikan Nasional yang mendirikan Televisi Pendidikan (TV-E) yang menyelenggarakan siaran nasional. Hal yang sama juga terjadi di Kabupaten Sanggau Kalimantan Barat akhir Oktober 2005 yang mendirikan radio komunitas. Hal ini jelas bertentangan dengan pasal 21 (ayat 1, 2 dan 3), pasal 22 (ayat 1 dan 2) serta pasal 23 (ayat I dan 2) UU Penyiaran. Melihat pelanggaran ini, Komisi Penyiaran Indonesia memprotes dan menuntut pihak pemerintah untuk meninjau ulang pendirian lembaga penyiaran tersebut. Hal ini kemudian diperburuk dengan dengan munculnya lembaga penyiaran publik lokal sebagai reinkarnasi dari Radio Khusus Pemerintah Daerah/Radio Siaran Pembangunan Daerah (RKPD/RSPD) yang melakukan kegiatan siaran di wilayah yang dapat dijangkau oleh RRl/TVRI. Jelas, hal ini juga bertentangan dengan ketentuan Peraturan Pemerintah No 11 Tahun 2005 Tentang Penyelenggaraan Lembaga Penyiaran Publik. Bahkan radio tersebut disebut sebagai radio swasta milik pemerintah daerah, seperti kasus radio Suara Jombang FM yang dikelola pemerintah Kabupaten Jombang. Hal ini menunjukkan keberagaman atau pertentangan diskursus lembaga penyiaran publik di kalangan pejabat negara. Sengketa pemahaman mengenai hal ini juga terjadi antara masyarakat sipil dan kalangan industri penyiaran. Berangkat dari permasalahan tersebut, penelitian dilakukan untuk mengetahui bagaimana diskursus lembaga penyiaran publik RRI Malang menurut para pengelolanya, kalangan industri radio dan masyarakat sipil, terutama berkaitan dengan aspek akses publik, dana publik, partisipasi publik dan akuntabilitas publik. Di samping itu, penelitian ini berupaya memaparkan bagaiamana keterkaitan diskursus tersebut dengan proses demokratisasi lokal. Lembaga penyiaran publik adalah lembaga yang independen, netral, tidak komersial dan berfungsi melayani kepentingan masyarakat. Fokus utama pada layanan publik sehingga peran supervisi dan evaluasi publik selalu melekat dalam operasional LPP. Tidak heran, kalau LPP menjadik ruang publik (public sphere) masyarakat yang dengan ruang ini diharapkan mampu menumbuhkembangkan modal sosial mereka sehingga terjadi proses memberdayaan yang memungkinkan mereka untuk melakukan proses tawar menawar politik secara seimbang dengan kekuatan negara dan pasar. Modal sosial masyarakat yang selama ini tercabik-cabik akibat rusaknya ruang publik mereka akibat proses komodifikasi yang dilakukan penyiaran swasta, maka RRI sebagai ruang publik dapat diharapkan akan mampu membantu tumbuhnya masyarakat sipil. Sebab disinilah forum diskusi dan artikulasi kepentingan publik. Hal ini mengingat memiliki empat karakteristik ; akses publik, dana publik, partisipasi dan akuntabilitas publik. Akses publik berarti. LPP harus menjangkau semua wilayah negara tanpa memandang potensi ekonomi sebuah daerah sebab ia berfungsi sebagai national flag carrier. Dana publik adalah bahwa dana operasional siaran LPP bersumber dari APBN/APBD, sumbangan masyarakat, iuran penyiaran dan iklan niaga yang berjumlah 15 persen dari total waktu siaran namun 30 persennya harus dialokasikan untuk iklan layanan masyarakat. Adapun partisipasi publik berarti bahwa peran serta masyarakat dalam LPP dijamin berupa keikutsertaan di dalam siaran, evaluasi, iuran penyiaran, dan sumbangan masyarakat serta membentuk kelompok pemerhati RRI. Sedangkan akuntabilitas publik bahwa LPP harus mampu mempertanggungjawabkan kinerja penyiarannya baik kepada pemerintah maupun kepada masyarakat. Penelitian yang menggunakan pendekatan kualitatif dengan paradigma konstruktifs menerapkan metode wawancara mendalam, pengamatan dan telaah dokumen. Di samping itu, penelitian ini juga menggunakan analisis wacana MAK Halliday untuk menganalisis hasil wawancara mendalam dengan para informan yang terdiri para pengelola RRI Malang, pengusaha radio dan masyarakat sipil. Ciri utama dari analisis wacana model ini adalah pembacaannya terhadap bahasa (teks) yang dikaitkan dengan konteksnya. Disini, teks bukan sekadar terdiri dari kata-kata dan kalimat tapi sesunggunya terdiri dari makna-makna. Teks, dengan demikian, merupakan bahasa yang berfungsi: bahasa yang sedang melaksanakan tugas tertentu dalam konteks situasi, yang berlainan dengan dengan kata-kata atau kalimat lepas. Teks, makanya, merupakan hasil proses pemilihan makna melalui pemilihan tanda yang terus menerus. Model analisis ini terdiri dari ; Pertama, medan wacana ( field of discourse) : merujuk pada apa yang terjadi: apa yang dijadikan wacana oleh pelaku mengenai sesuatu yang terjadi.Kedua, pelibat wacana (tenor of discourse), menunjuk pada orang-orang yang dicantumkan dalam teks; sifat, kedudukan dan peranan mereka. Ketiga, sarana wacana (mode of discourse) merujuk pada bagian yang diperankan bahasa: bagaimana komunikator menggambarkan medan (situasi) dan pelihat (orang-orang yang dikutip) ; apakah menggunakan Bahasa yang diperhalus/hiperbolik, eufimistik atau vulgar. Penelitian menemukan bahwa diskurus akses publik tentang alokasi 20% frekuensi untuk lembaga penyiaran publik masih dipandang secara berbeda oleh informan dengan dalil pembenar masing-masing. Pengusaha radio menyatakan hal ini akan mengancam keberlangsungan bisnis radio. Hal ini diperparah dengan buruknya kinerja pelayanan publik serta ketidakmampuan pihak RRI dalam mengelola frekuensi. Bersikukuhnya RRI sebagai penguasa 20% frekuensi serta ngototnya para pengusaha swasta tidak bisa dilepaskan dari konteks sejarah masing-masing yang pernah menjadi alat kekuasaan sehingga mereka berusaha untuk merdapatkan kembali previledge yang pernah mereka dapatkan pada era Orde Baru tersebut. Adapun mcngenai diskursus dana publik para informan sepakat bahwa negara harus mendanai operasional RRI baik lewat APBN dan APBD sebagai bagian dari layanan publik. Berkenaan dengan diskursus partisipasi publik dalam LPP mereka bertiga bersepakat tentang perlunya sebuah wadah yang menampung aspirasi publik serta memberikan masukan terhadap kinerja LPP RRI untuk menjamin bahwa LPP RRI benar¬-benar telah berpihak kepada kepentingan publik. Mereka juga, setuju bahwa akuntabilitas keuangan publik perlu diterapkan dalam rangka mewuiudkan LPP RRI yang benar-benar memperjuangkan kepentingan publik. Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa ideal LPP RRI Malang sebagai ruang publik (public sphere) sulit terwujud mengingat beberapa kendala seperti kualitas SDM. sarana teknis pendukung kerja, struktur kelembagaaan yang belum tertata, behan setoran ke kantor pusat, minimnya dana operasional penyeienggaraan penyiaran baik yang bersumber dari APBN dan nihilnya dana APBD, citra negatif yang masih melekat sebagai corong pernerintah, belum terbentuknya forum pemerhati (local consultative forum). Meski geliat pembenahan telah dilakukan oleh RRI Jawa Timur, namun langkah tersebut lebih mencerminkan nuansa komersial daripada upaya untuk mengedepankan aspek pelayanan kebutuhan publik. Watak kepublikan LPP RRI Malang yang seharusnya tercermin dari adanya partisipasi publik serta pertanggungjawaban publik belum terwujud. Keikutsertaan publik hanya sebatas menyelenggarakan program siaran hiburan lewat pembentukan ,fans club dan belum menyentuh esensi partisipasi publik yang menyangkut pembentukan wadah yang mampu mengawasi, mengevaluasi serta menjadikan RRI sebagai forum diskusi, artikulasi serta pelayanan kepentingan publik. Sebagai `benteng pertahanan publik dari serangan komodifikasi yang dilancarkan media swasta yang akan rnemperburuk kualitas ruang publik, LPP RRI dan publik perlu untuk saling mendekatkan diri sebab keduanya merupakan unsur yang tak terpisahkan sebab terikat hubungan yang saling menguntungkan. Hubungan simbiosis mutualis ini dapat direalisir lewat pembentukan wadah Local Consultative Forum (LCF). Fungsi LPP RRI sebagai ruang publik serta arena bagi publik untuk memberdayakan diri mereka dapat terwujud lewat sajian informasi yang benar (the right to know) serta memberikan ruang masyarakat untuk mengungkapkan gagasan (the right to express). Di ruang ini diharapkan akan bertumbuh kembang modal social (social capital) yang tercerai berai akibat kian memburuknya kualitas ruang publik yang dilakukan media swasta lewat komodifikasi budaya. Ruang ini pula akan menjadi lahan yang memungkinkan tumbuhnya masyarakat sipil lokal yang mandiri serta mampu melakukan tawar menawar politis secara seimbang dengan kekuatan negara dan pasar. Temuan lain penelitian ini adalah lambannya masa transisi dari Perjan ke LPP RRI yang bisa dilihat dari belum adanya struktur kelembagaan yang proporsional sehingga mampu menjalankan fungsi layanan publiknya. Status organisasi LPP RRI saat ini berada di bawah naungan Departemen Keuangan. Sebagai lembaga layanan publik di bidang komunikasi publik, LPP RRI seharusnya dikelola Departemen Komunikasi dan Informatika. Berdasarkan temuan diatas maka dapat disampaikan beberapa rekomendasi sebagai berikut : (1) Pihak Pemda Malang Raya dan LPP RRI hendaknya sama-sama saling mendekatkan diri dengan menghilangkan ego sektoral mereka demi mementingkan kebutuhan masyarakat dalam bentuk pengucuran dana APBD serta mempertimbangkan ulang pendirian LPPL; (2) LPP RRI hendaknya segera melakukan road show atas jalinan kerjasama dengan masyarakat akademisi, pemerintah daerah dan swasta mengkampanyekan perubahan status mereka dari corong pemerintah menjadi corong masyarakat; (3) Dewas RRI maupun Direksi RRI dituntut untuk segera menerapkan struktur LPP yang baru sehingga visi dan misi LPP dapat dilaksanakan dengan memasukkan LPP RRI di bawah naungan Departemen Komunikasi dan Informatika ; (4) LPP RRI bersama dengan akademisi perlu segera membentuk Forum Pemerhati LPP sebagai mitra kerja LPP dalam meningkatkan kualitas siaran dan sebagai mitra Dewan Pengawas dalam hal supervisi dan evaluasi sehingga terjamin penerapan watak kepublikannya sehingga dapat terwujud masyarakat sipil yang mampu mendesakkan agenda kepada negara dan pasar (5) Masyarakat, terutama akademisi perlu memikirkan untuk menata ulang dengan menyatukan sistem penyiaran yang terpecah tiga jenis dengan masing-masing berjalan sendiri-sendiri dalam satu organisasi. </description

Item Type: Thesis (Thesis)
Additional Information: KKB KK-2 TSK.06/08 Eff d
Uncontrolled Keywords: Lembaga penyiaran; Radio
Subjects: P Language and Literature > P Philology. Linguistics > P87-96 Communication. Mass media
Divisions: 09. Sekolah Pasca Sarjana > Media dan Komunikasi
Creators:
CreatorsNIM
ROCHMAD EFFENDY, 090410689 LUNSPECIFIED
Contributors:
ContributionNameNIDN / NIDK
Thesis advisorHenny Subiakto, Drs., SH., M.Si.UNSPECIFIED
Thesis advisorSuko Widodo, Drs., M.SiUNSPECIFIED
Depositing User: Nn Dhani Karolyn Putri
Date Deposited: 2016
Last Modified: 07 Jun 2017 19:02
URI: http://repository.unair.ac.id/id/eprint/34252
Sosial Share:

Actions (login required)

View Item View Item