Mambangil, 099913258M (2003) Pendaftaran Jaminan Fidusia Menurut Undang-Undang No. 42 Tahun 1999. Thesis thesis, UNIVERSITAS AIRLANGGA.
|
Text (ABSTRAK)
gdlhub-gdl-s2-2008-mambangil-6776-th1807-k.pdf Download (509kB) | Preview |
|
|
Text (FULLTEXT)
gdlhub-gdl-s2-2008-mambangil-6776-th1807-p.pdf Download (1MB) | Preview |
Abstract
Fidusia sudah dikenal sejak zaman Romawi sebagai fasilitns kredit, kedudukan kreditor sangat kuat bila debitor menyerahkan barang kepada kreditor dan kreditor tidak mengembalikan debitor tidak dapat berbuat apa-apa. Lembaga ini (Fiducia Cum Creditoria) sangat lemah karena belum diatur dalam konstruksi hukum, akhirnya ditinggalkan masyarakat sehubungan mulai berlakunya lembaga jaminan hipotik dan gadai yang lebih memberikan kepastian hukum. Ketika Belanda mengadopsi hukum perdata Romawi, hipotik dan gadai masuk dalam burgerlijk wetboek sedang Fidusia sudah lenyap. Ketika diperlakukan azas konkordansi di Hindia Belanda Hipotik dan gadailah yang masuk dalam BW Hindia Belanda sebagai BW yang sekarang. Kekuatan hukum Fidusia di Belanda baru ada pada tahun 1929 yaitu keputusan HR Belanda tanggal 25 Januari 1929 yang terkenal dengan nama Bierbrowij Arrest yang disusul dengan keputusan HR Belanda tanggal 21 Juni 1929, N.J. 1929 - 1096 (Hokker van Tilburg Arrest). Kedua arrest ini sebagai titik awal pengakuan Fidusia dalam praktek. Dalam Sio Arrest 22 Mei 1953 suatu pengakuan adanya hak mendahulu seorang kreditor, Fidusia timbul lagi dalam praktek kehidupan ekonomi karena hipotik dan gadai tidak dapat menampung perkembangan kehidupan ekonomi. Sedang kekuatan hukum Fidusia di Indonesia berdasarkan jurisprudensi Arrest Hooggerrechtshof (HGH) 18 Agustus 1932, lembaga ini timbul dengan pesat karena pengaruh pelaku ekonomi membutuhkan fasilitas kredit. Objek Jaminan Fidusia belum mendapatkan kepastian hukum mengingat dalam jurisprudensi HGH tanggal 16 Pebruari 1933, tanah (grantrech) hadiah para sultan dapat dijadikan jaminan. Dari jurisprudensi tersebut Fidusia dapat diletakkan atas benda bergerak maupun benda tetap serta perjanjian dicatat pada sertifikat di Kantor Pendaftaran Tanah, namun keputusan PT. Surabaya tanggal 27 Maret 1951 No.158/1950 dan keputusan MA.RI tanggal 1 September 1971, bahwa objek Jaminan hanya diakui atas benda bergerak. Hal ini menunjukkan adanya kepentingan yang tumpang tindih. Dalam perkembangan selanjutnya baru pada tahun 1999, diundangkan Undang-Undang Nomor 42 Tabun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Undang-Undang Fidusia ini dimaksudkan dapat memberikan kepastian dan perlindungan hukum guna menunjang perekonomian Nasional bagi para pihak. Dalam perjanjian disyaratkan harus dengan akta Notaris dan didaftarkan pada Kantor Pendaftaran Fidusia. Kreditor / Penerima Fidusia memperoleh hak mendahulu sebagai ciri dari hak kebendaan, dan bila tidak didaftarkan kreditor / Penerima Fidusia tidak lebih hanya sebagai kreditor konkuren yaitu yang dijamin secara umum bukan jaminan khusus. Penyerahan benda objek Jaminan Fidusia dari Pemberi Fidusia kepada penerima Fidusia dilakukan yang lazim disebut secara constitutum possessorium yakni penyerahan hak yang diikuti tetap dikuasai bendanya (Pasal 1 Ayat (1) UUJF). Mengingat objek Jaminan Fidusia secara fisik tetap dikuasai debitor undang-undang ini melarang adanya Fidusia ulang yang sudah terdaftar, bila Pemberi Fidusia melanggar dapat dianggap sebagai pidana penggelapan, dan yang mendapatkan benda objek Jaminan Fidusia kedua tidak dapat mendalilkan dengan ketentuan Pasal 1977 BW. Bagi pembeli benda objek Jaminan Fidusia dalam perdagangan, undang-undang memberi perlindungan, bahwa pembelian sesuai harga pasar dan telah lunas tidak termasuk harta pailit. Bagi debitor yang tidak melaksanakan kewajiban sesuai dengan kesepakatan dalam perjanjian bukan karena daya paksa dianggap ingkar janji, dengan demikian Penerima Fidusia dapat melakukan eksekusi, baik dilakukan dengan dijual lelang maupun di bawah tangan, kemudahan dalam eksekusi ini memberi kekuatan perlindungan kepada Penerima Fidusia. Pendaftaran Jaminan Fidusia dengan membayar sejumlah uang diatur dalam PP Nomor 87 Tahun 2000, sedang penyerahan sertifikat Jaminan Fidusia diatur dalam Keputusan Menteri Kehakiman dan HAM Nomor M.01.MM.01.06 Tahun 2000. Adapun fase perjanjiannya, perjanjian hutang piutang adalah perjanjian pokok perjanjian ini sifatnya obligatoir berikutnya perjanjian tambahan merupakan perjanjian kebendaan sifatnya assessoir, artinya adanya perjanjian pokok, bila perjanjian pokoknya hapus maka perjanjian tambahannya hapus, namun tidak sebaliknya, bila perjanjian tambahannya hapus tidak menjadikan perjanjian pokoknya hapus. Sifat perjanjian tambahan (perjanjian kebendaan) melahirkan hak-hak kebendaan mengandung konsekwensi bahwa kreditor Penerima Fidusia hak-haknya dapat ditegakkan terhadap siapapun. Ciri hak-hak kebendaan yang dimiliki kreditor Penerima Fidusia adalah hak kebendaan yang terbatas, artinya selama debitor Pemberi Fidusia tidak ingkar janji maka kreditor Penerima Fidusia tidak dapat memanfaatkan hak kebendaan yang dimilikinya. Bila debitor ingkar janji tentunya kreditor Penerima Fidusia akan mengeksekusi benda objek jaminan dan mengambil pelunasan dari basil penjualan sedang sisanya dikembalikan kepada debitor / Pemberi Fidusia. Juga perlindungan semacam ini diberikan kepada Pemberi Fidusia dan Penerima Fidusia, bahwa mereka dilarang mengadakan perjanjian yang menyimpang dari ketentuan-ketentuan UUJF. Hak kebendaan yang terbatas ini tidak raja ketika debitor Pemberi Fidusia tidak ingkar janji, bahkan dalam hal eksekusi pun kreditor / Penerima Fidusia harus dengan lelang (di depan umum), tidak dapat semaunya kreditor / Penerima Fidusia berbuat bebas Bahwa dengan didaftarkan benda objek Jaminan Fidusia lahirlah apa yang disebut openbaarheid diketahui oleh umum dan sekaligus munculnya Hak-hak yang mempunyai karakteristis hak kebendaan (hak mendahulu) artinya bahwa kreditor / Penerima Fidusia dapat mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan benda objek Jaminan Fidusia dari pada kreditor lainnya, dan bila Penerima Fidusia tidak mendaftarkan atau pendaftarannya ditolak, maka tidak mempunyai hak mendahulu, dia tidak lebih sebagai kreditor konkuren, kreditor yang hak pelunasannya sama. Bila hasil penjualan benda objek Jaminan sisa setelah diambil harus dikembalikan kepada Pemberi Fidusia dan kemungkinan untuk melunasi piutang kreditor lainnya. Sehubungan adanya pengembalian sisa penjualan benda objek jaminan, harus ada limit waktu pembatasan oleh undang-undang.
Item Type: | Thesis (Thesis) | ||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|
Additional Information: | KKB KK-2 TH 18/07 Man p | ||||||
Uncontrolled Keywords: | Fidusia is transfering of property right trustedly as debt guarantee from the publisher of Fiducia to the receiver of Fiducia, where as the physical property are still authorized by the publisher of Fiducia by borrow - use tie. | ||||||
Subjects: | H Social Sciences > HG Finance > HG1-9999 Finance > HG1501-3550 Banking > HG1710-1710.5 Electronic funds transfers K Law > K Law (General) |
||||||
Divisions: | 09. Sekolah Pasca Sarjana > Ilmu Hukum | ||||||
Creators: |
|
||||||
Contributors: |
|
||||||
Depositing User: | Nn Shela Erlangga Putri | ||||||
Date Deposited: | 2016 | ||||||
Last Modified: | 29 Jan 2019 04:23 | ||||||
URI: | http://repository.unair.ac.id/id/eprint/34366 | ||||||
Sosial Share: | |||||||
Actions (login required)
View Item |