Asri Sundari, 090014100M
(2003)
UPACARA RUWATAN ANAK SUKERTA DALAM MASYARAKAT JAWA DI KABUPATEN JEMBER : Suatu studi perubahan makna simbolik.
Thesis thesis, UNIVERSITAS AIRLANGGA.
Abstract
Penelitian yang berjudul upacara ruwatan anak sukerta dalam masyarakat Jawa di Kabupaten Jember (suatu studi perubahan makna simbolik) menjelaskan bahwa penelitian ini dilakukan di dua dikawasan yakni pada masyarakat pedesaan di Kecamatan Ambulu dan Kecamatan Wuluhan dan masyarakat perkotaan di tiga kecamatan yakni Patrang, Sumbersari, dan Kaliwates. Penelitian ini menghasilkan perbedaan pemahaman yang tajam tentang keyakinan kultural ritual ruwatan anak sukerta yakni tentang pemaknaan simbolik. Untuk masyarakat pedesaan memaknai bahwa simbol itu mengandung religius magis atau bersifat sakral, sedangkan masyarakat perkotaan menganggapnya simbol itu bersifat profan. Bentuk pemahaman dua kawasan tersebut muncul sebagai bentuk perubahan sosial dan perubahan budaya. Perubahan sosial tampak adanya fakta ritual ruwatan anak sukerta yang diadakan oleh Gereja Katolik Santo Yusuf Kabupaten Jember, karena di dalam tata ibadat Katolik tidak ada aturan untuk melakukan ruwatan dan tidak ada istilah anak sukerta sebab semua anak yang lahir adalah keadaan baik. Fakta yang lain adanya pembersihan anak sukerta yang dilakukan dengan proses agaminisasi dengan istilah istiqosah, sebab di dalam agama Islam tidak ada kelahiran anak sukerta apalagi melakukan ritual ruwatan. Ritual ruwatan anak sukerta merupakan milik kebudayaan Jawa. Sedangkan perubahan sosial yang lain terdapat pada Struktur Keluarga Berencana dengan lahirnya jumlah anak yang semuanya termasuk kelahiran anak sukerta. Struktur ini mengakibatkan masyarakat untuk percaya dan sebaliknya meninggalkannya. Bentuk perubahan budaya tampak pada ritual ruwatan anak sukerta di Gereja Katolik Santo Yusuf Kabupaten Jember dengan nama Ruwatan Akulturasi. Disebut perubahan budaya karena model struktur yang dilakukan telah meninggalkan simbol dan sesaji yang penuh dengan makna simbolik yakni mengandung nilai-nilai dan norma. Disamping itu pagelaran wayang kulit yang seharusnya sebagai syarat utama karena mengandung religius magis telah dipisahkan dari acara ritual ruwatan dan hanya sebagai hiburan.
Actions (login required)
|
View Item |