Yurizal, 090114340 M (2003) ASPEK PIDANA DALAM UNDANG � UNDANG NO. 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA. Thesis thesis, UNIVERSITAS AIRLANGGA.
|
Text (ABSTRAK)
jiptunair-gdl-s2-2005-yurizal-1443-th_09-04 ABSTRAK.pdf Download (191kB) | Preview |
|
|
Text (Fulltext)
35354.pdf Download (1MB) | Preview |
Abstract
Pada dasarnya lembaga jaminan fidusia dipakai untuk memberi kemudahan dan sekaligus memenuhi kebutuhan sangat besar yang terus meningkat bagi dunia usaha. Dalam perkembangannya lembaga jaminan fidusia tidak hanya digunakan oleh pengusaha besar saja, melainkan juga digunakan oleh masyarakat pada umumnya. Pertama kali dasar hukum yang digunakan apakah obyek fidusia itu benda bergerak atau juga meliputi benda yang tak bergerak adalah putusan MA No. 372. K/SIP/1970, yang menyebutkan bahwa obyek fidusia adalah hanya benda bergerak, sedangkan dalam Undang-undang rumah susun telah memberikan kedudukan pada fidusia sebagai jaminan kebendaan tetap yang keberadaannya diakui oleh Undang undang. Dalam praktek benda yang diserahkan sebagai jaminan dalam fidusia adalah benda-benda atau barang-barang secara sosial ekonomi dapat menunjang kelancaran jalannya usaha. Perkembangan hukum yang semakin pesat sehingga lahir dan berlakunya Undang-undang No. 42 Tahun 1999 tentang jaminan fidusia. Realisasi Undang-undang tersebut dilapangan tidak sesuai dengan apa yang kita harapkan dengan kata lain masih ditemukan pelanggaran-pelanggaran seputar jaminan fidusia. Hal ini dipicu karena jaminan fidusia masih dianggap lembaga yang paling gampang dan mudah untuk mendapat tambahan modal yang dilakukan oleh semua orang, karena dalam jaminan fidusia itu pengalihan suatu hak berdasarkan atas kepercayaan belaka. Padahal sebagaimana diketahui bahwa tujuan dibentuk atau lahirnya Undang-undang No. 42 Talum 1999 untuk memenuhi kebutuhan hukum yang dapat lebih memacu pembangunan hukum nasional dan untuk menjamin kepastian hukum serta mampu memberikan perlindungan hukum bagi pihak yang berkepentingan. Dalam perjalanannya fidusia telah mengalami perkembangan yang cukup berarti. Perkembangan itu misalnya menyangkut kedudukan para pihak. Misalnya dalam pasal 24 Undang-undang No. 42 Tahun 1999 menentukan bahwa: "Penerima fidusia tidak menanggung kewajiban atas akibat tindakan atau kelalaian pemberi fidusia baik yang timbul dari hubungan kontraktual maupun yang timbul dari perbuatan melanggar hukum dengan menggunakan dan pengalihan benda yang menjadi obyek jaminan fidusia" . Pasal tersebut diatas sangat penting, karena sebelum Undang-undang No. 42 Tahun 1999 itu dibentuk pemberi fidusia apabila melakukan perusakan atas barang yang menjadi obyek atas jaminan fidusia, maka penerima fidusia (bank) akan menanggung kerugian, karena barang tersebut mungkin tidak akan laku untuk dijual pada pihak lain. Dalam pasal 23 ayat 2 Undang-undang No. 42 Tahun 1999 menentukan: "Pemberi fidusia dilarang mengalihkan, menggadaikan atau menyewakan pada pihak lain benda yang menjadi obyek jaminan fidusia yang tidak merupakan benda persediaan kecuali dengan persetujuan tertulis terlebih dahulu dari penerima fidusia". Dari ketentuan tersebut, bahwa obyek jaminan fidusia tidak boleh dialihkan pada pihak lain tanpa persetujuan dari pihak penerima fidusia. Konsekuensi apabila, pengalihan, menggadaikan atau menyewakan dilakukan tanpa persetujuan dari penerima fidusia, maka dapat dikatagorikan pemberi fidusia telah melakukan perbuatan melanggar hukum sebagaimana ketentuan dalam pasal 36 Undang-undang No. 42 Tahun 1999, yang menentukan: "Pemberi fidusia yang mengalihkan, menggadaikan atau menyewakan benda yang menjadi obyek fidusia sebagaimana dimaksud dalam pasal 23 ayat 2 yang dilakukan tanpa persetujuan tertulis lebih dahulu dari penerima fidusia, di pidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp. 50.000.000,- (lima puluhjuta rupiah). Apabila ketentuan yang terdapat dalam pasal 36 Undang-undang No. 42 Tahun 1999 itu tidak diindahkan oleh pemberi fidusia, maka pihak kepolisian berwenang untuk memproses jalannya perbuatan melanggar hukum tersebut, dengan ketentuan perjanjian jaminan fidusia itu wajib didaftarkan di kantor pendaftaran fidusia sesuai dengan prosedur undang-undang tersebut. Menurut pasal 36 tersebut diatas, istilah mengalihkan, menggadaikan dan menyewakan benda yang menjadi obyek fidusia Tanpa persetujuan tertulis dari penerima fidusia berarti mengasingkan/ memindahtangankan obyek jaminan fidusia, sehingga perbuatan itu dapat dipidanakan. Dengan penyalahgunaan benda jaminan fidusia akan menimbulkan pelanggaran pidana sengketa jaminan fidusia di Indonesia, oleh karena diharapkan aparat penegak hukurn dan instansi terkait lebih terfokus secara aktif menindak para debitur yang melakukan tindak pidana tersebut sesuai dengan Undang-undang, jadi tidak ada lagi debitur yang merugikan kreditur. </description
Item Type: | Thesis (Thesis) | ||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|
Additional Information: | KKB KK-2 TH.09/04 Yur a | ||||||
Uncontrolled Keywords: | Fiducia warrant - misuse of trust - penalty aspect | ||||||
Subjects: | K Law K Law > K Law (General) > K1-7720 Law in general. Comparative and uniform law. Jurisprudence |
||||||
Divisions: | 09. Sekolah Pasca Sarjana > Ilmu Hukum | ||||||
Creators: |
|
||||||
Contributors: |
|
||||||
Depositing User: | Nn Andalika ilmianti | ||||||
Date Deposited: | 2016 | ||||||
Last Modified: | 13 Jun 2017 17:21 | ||||||
URI: | http://repository.unair.ac.id/id/eprint/35354 | ||||||
Sosial Share: | |||||||
Actions (login required)
View Item |