Putu Ayu Ekaputri, 030110202 N (2003) SURAT KUASA MEMASANG HAK TANGGUNGAN DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 1996 TENTANG HAK TANGGUNGAN. Thesis thesis, UNIVERSITAS AIRLANGGA.
|
Text (ABSTRAK)
jiptunair-gdl-s2-2005-ekaputripu-1561-tmk_60-04.pdf Download (502kB) | Preview |
|
|
Text (FULL TEXT)
jiptunair-gdl-s2-2005-ekaputripu-1561-tmk_60-04.pdf Download (2MB) | Preview |
Abstract
Surat Kuasa diatur dalam Buku III BW, Bab XVI, Baglan 1, dimulai dari Pasal 1792 sampai dengan 1819 BW. Esensi kuasa sebagaimana datur dalam Pasal 1792 BW adalah merupakan suatu persetujuan dengan mana seorang memberikan kekuasaan kepada seorang lain yang menerimanya untuk atas namanya menyelenggarakan suatu urusan. Dengan demikian terdapat suatu hubungan hukum antara pemberi kuasa dalam hal ini pemberi hak tanggungan dengan pihak penerima kuasa dalam hal ini Bank sebagai pemegang hak tanggungan. Hubungan hukum tersebut adalah suatu pelimpahan kewenangan dari debitor kepada kreditor yang terangkum dalam perjanjian pemberi kuasa. Kewenangan kewenangan tersebut adalah berkaitan dengan pelaksanaan pembebanan hak tanggungan. Fungsinya agar dalam proses pembebanan hak tanggungan itu kreditor tidak melampaui kewenangan yang telah ada dalam perjanjian pemberian kuasa tersebut. SKMHT bisa saja dibuat secara lisan atau bawah tangan sepanjang ada kesepakatan dan perjanjian yang dibuat mengikat bagi para pihak yang membuatnya (pacta sunt servanda) sebagaimana tertuang dalam pasal 1338 BW dan sudah tentu syarat sahnya perjanjian harus dipenuhi sesuai pasal 1320 BW. Namun mengingat perjanjian lisan atau bawah tangan ini rawan terhadap permasalahan permasalahan terutama dalam proses pembebanan hak tanggungan karena membawa konsekwensi yang besar sekali terhadap debitor yaitu bisa kehilangan hak atas tanah yang dijaminkannya. Menilik Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1996 tentang Bentuk SKMHT, APHT, Buku Tanah Hak Tanggungan dan Sertipikat Hak Tanggungan, maka dapat disimpulkan bahwa penguasa menghendaki agar pembuatan SKMHT haruslah tertulis dan otentik. Berkaca pada pengalaman masa lalu dimana proses pemberian kredit tanpa disertai pemasangan nyata atau cukup dengan Surat Kuasa Memasang Hipotik lebih banyak dilakukan dalam praktek maka dalam UUHT pasal 15 ayat (3) dan (4) sebagai tindakan antisipasi SKMHT diberikan jangka waktu dengan tujuan agar pemasangan nyata terealisir (SKMHT ditingkatkan menjadi APHT). Demi perlindungan untuk ekonomi lemah dan aplikasi asas kebebasan berkontrak maka penguasa melakukan intervensi dengan dikeluarkannya Peraturan MNA/Kepala BPN Nomor 4 Tahun 1996 tanggal 8 Mei 1996 dimana jangka waktu SKMHT tersebut dikecualikan merupakan suatu antisipasi dan bentuk kepedulian penguasa agar UUHT lebih akomodatif. Asas kebebasan berkontrak yang dianut hukum positif kita (pasa 1338 BW) merupakan salah satu asas hukum perjanjian sehingga ketentuan jangka waktu SKMHT tidaklah bertentangan dengan asas kebebasan berkontrak itu sendiri. Menurut Undang Undang nomor 5 Tahun 1986 tentang PTUN kegiatan yang dilakukan oleh Notaris/PPAT dalam pembuatan SKMHT merupakan rangkaian kegiatan administrasi, namun demikian Notaris/PPAT bukanlah pejabat TUN karena tidak memenuhi unsur unsur sebagai pejabat TUN.
Actions (login required)
View Item |