TRIEN KUNTOWIDJOJO
(2005)
PEMBEBANAN HAK TANGGUNGAN ATAS TANAH KONVERSI BEKAS HAK ADAT DALAM RANGKA MENJAMIN KREDIT PERBANKAN.
Thesis thesis, UNIVERSITAS AIRLANGGA.
Abstract
UUHT memiliki rechtsidee : mewujudkan perlindungan hukum dan kepastian hukum mengenai hak jaminan atas tanah. Mekanisme lembaga jaminan hak tanggungan mensyaratkan dua tahap yang harus ditempuh bagi kelahiran hak tanggungan yaitu : tahap pemberian hak tanggungan pada saat pembuatan perjanjian pemberian hak tanggungan yang selalu tertuang dalam formulir APHT dan tahap pendaftaran hak tanggungan. Keabsahan perjanjian pemberian hak tanggungan tergantung pada pemenuhan syarat-syarat yang telah ditentukan dalam berbagai peraturan perundang-undangan dan atau putusan-putusan peradilan mengenai topik-topik yang berkaitan dengan subyek hukum antara lain kecakapan bertindak (rechtsbekwaamheid) dan kewenangan berhak (rechtsbevoegdheid) dari manusia (natuurlifke persoon)obyek hokum antara lain hak-hak atas tanah, khususnya hak-hak atas tanah yang berasal dari hak-hak lama yang telah memenuhi syarat untuk didaftarkan tetapi pendaftarannya belum dilakukan serta perolehannya secara derivative berdasarkan memperoleh hak dengan alas hak umum (rechtsopvolging onder algemene titel) ataupun memperoleh hak dengan alas hak khusus (rechtsopvolving onder bifzondere titel) dan teknis administratif pertanahan wajib dilakukan oleh PPAT sebelum mengkonstatir perjanjian tersebut dalam APHT yang sesungguhnya merupakan penjelmaan dari pemeriksaan alas-hak (titel onderzook) yang meliputi penyelidikan kewenangan menguasai (beschikingsbevoegdhied) dan keadaan (hukum) kebendaan (zakenrechtelijke toestand) sebagaimana diajarkan oleh doktrin hukum. Namun, terdapat disharmonisasi dan disinkronisasi antar peraturan perundang-undangan dan atau putusan peradilan dan atau terdapat ketidakpastian hukum mengenai topik-topik tersebut. Tidak dapat diperoleh adanya kepastian hukum mengenai syarat-syarat keabsahan perjanjian pemberian hak tanggungan. Rechtsidee UUHT mengenai perwujudan perlindungan hukum dan kepastian hukum mengenai hak jaminan atas tanah pada akhirnya tidak teralisasi secara optimal, karena : a. Pensertipikatan hak-hak atas tanah yang berasal dari hak-hak lama yang telah memenuhi syarat untuk didaftar tetapi pendaftarannya belum dilakukan memerlukan waktu lebih kurang tiga sampai empat bulan. b. UUHT menunda penanggalan buku tanah hak tanggungan sampai hari ketujuh dan jika hari ketujuh itu jatuh pada hari libur, buku tanah hak tanggungan yang bersangkutan diberi tanggal hari kerja berikutnya setelah penerimaan secara lengkap surat �surat yang diperlukan bagi pendaftaran hak tanggungan. Kondisi pada sub a dan sub b itu berdampak bahwa perjanjian pemberian hak tanggungan yang selalu tertuang dalam formulir APHT tidak dapat didaftarkan manakala dalam kurun waktu-kurun waktu tersebut terjadi sita jaminan ataupun sita eksekusi terhadap hak atas tanah berikut atau tidak berikut bangunan tanaman dan hasil karya yang secara tetap merupakan satu kesatuan dengan tanah yang dibebani hak tanggungan dan atau pemberi hak tanggungan pailit. Di samping itu, UUHT dan peraturan pelaksanaannya belum mengatur secara jelas, lugas dan tuntas topik-topik yang berkaitan dengan pendaftaran hak tanggungan, antara lain : jangka waktu penerbitan sertipikat hak tanggungan, asas ondeelbarheid, mekanisme penerbitan sertipikat pengganti atas sertipikat hak tanggungan yang hilang atau rusak dan atau perubahan data yang tercantum dalam sertipikat hak tanggungan. Dengan demikian manakala debitor wanprestasi, UUHT memberikan hak kepada kreditor selaku pemegang hak tanggungan untuk mengeksekusi hak tanggungan yang dimilikinya melalui mekanisme parate executie dan titel eksekutorial. Eksekusi hak tanggungan melalui mekanisme parate executie memerlukan fiat dari pengadilan negeri, karena MARI mencampuradukkan eksekusi hak tanggungan melalui mekanisme parate executie dan titel eksekutorial. Menghadapi kondisi sedemikian itu, UUHT tidak mengatur secara jelas, lugas dan tuntas eksekusi hak tanggungan, baik melalui mekanisme parate executie ataupun eksekutorial titel. Bahkan, penjelasan I sub 9 UUHT dan penjelasan pasal 14 ayat (2) dan ayat (3) UUHT pun turnt mencampuradukkan eksekusi hak tanggungan melalui mekanisme parate executie dan titel eksekutorial. Ketidakpastian hukum itu mengakibatkan, praktek perbankan jarang melakukan eksekusi hak tanggungan melalui mekanisme parate executie dan selalu melakukan eksekusi hak tanggungan melalui mekanisme title eksekutorial. Topik eksekusi hak tanggungan yang diatur secara jelas dan lugas oleh UUHT hanyalah eksistensi sertipikat hak tanggungan yang diberi irah-irah "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa" sebagai tanda bukti adanya hak tanggungan yang memiliki kekuatan eksekutorial sama dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap dan berlaku sebagai pengganti grosse acte hypotheek sebagaimana dimaksud oleh pasal 224 HIR dan pasal 258 Rbg. Namun, UUHT tidak mengatur bentuk dan isi sertipikat hak tanggungan serta kepastian tanggal penerbitannya. Hak tanggungan merupakan accessoir terhadap utang-piutang, sehingga eksekusi hak tanggungan tergantung sepenuhnya pada keberadaan utang-piutang. Eksekusi hak tanggungan seringkali mengalami hambatan manakala terjadi ketidakpastian jumlah utang. Perjanjian utang-piutang sebagai pactum de contrahendo yang selalu tertuang dalam perjanjian baku kadang mengundang perdebatan mengenai keabsahannya manakala ia dikaitkan dengan asas konsensualisme, asas kekuatan mengikat dan asas kebebasan berkontrak sebagaimana dimaksud oleh pasal 1338 BW. Terlebih-lebih perjanjian itu mengandung syarat-syarat yang berisi penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden). Kebutuhan perjanjian baku memang tidak terelakkan, tetapi perlu diimbangi oleh adopsi ajaran penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden) yang tampaknya secara tidak langsung telah diterapkan oleh yurisprudensi MARI. Selain kendala tersebut, eksekusi hak tanggungan pun harus menghadapi pembatasan-pembatasan yang ditetapkan oleh UUK. Karakteristik-karakteristik dari lembaga jaminan hak tanggungan yang sangat terkait dengan eksekusinya, yaitu : droit de preference serta mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya, dipreteli oleh UUK dengan menerapkan jangka waktu 90 ( sembilanpuluh) hari terhitung sejak putusan pailit ditetapkan by the operation of law dan stay untuk jangka waktu paling lama 270 (duaratus tujuhpuluh) hari terhitung sejak putusan penundaan sementara kewajiban pembayaran utang ditetapkan. Di samping itu, setelah melampaui 2 (dua) bulan sejak insolvensi, pemegang hak tanggungan tidak berwenang mengeksekusi haknya dan haknya itu diambil alih oleh kurator. Memang, ia memperoleh seluruh haknya, tetapi harus menunggu sampai dilakukan pembagian harta pailit dan ia pun wajib membayar biaya kepailitan secara proporsional. Bilamana perjanjian pemberian hak tanggungan mengandung foreign element, hukum Indonesia merupakan applicable law sesuai dengan pasal 17 AB. Namun, pasal 17 AB tidaklah mudah diterapkan, karena yang diatur oleh pasal 17 AB adalah benda tidak bergerak, sedangkan UUHT bersumber pada UUPA hanya mengenal benda tanah dan benda bukan tanah. Kewajiban penggunaan SKMHT dalam bentuk formulir tidak sinkron dengan regulasi sebagaimana dimaksud oleh pasal 35 PJN jo. pasal 28 ayat kelima PJN. Di samping itu, kewajiban penggunaan SKMHT juga tidak selaras dengan ketentuan pasal 18 AB apabila SKMHT itu dibuat diluar negeri. Pembuatan SKMHT dengan menggunakan formulir tersebut membuka peluang verzet yang bertujuan menghambat eksekusi hak tanggungan.
Actions (login required)
|
View Item |