Rinus Pantouw, 030310321 N (2005) HAK TAGIH FACTOR DI DALAM PERJANJIAN ANJAK PIUTANG(FACTORING) ATAS PIUTANG DAGANG (Account Receivable). Thesis thesis, UNIVERSITAS AIRLANGGA.
|
Text (ABSTRAK)
gdlhub-gdl-s2-2006-pantouwrin-827-tmk860-k.pdf Download (254kB) | Preview |
|
|
Text (Fulltext)
35902.pdf Download (2MB) | Preview |
Abstract
Minimnya literature yang membahas factoring (Anjak piutang) dari segi hukum, sedangkan analisa pembahasan masih didominasi oleh kajian secara ekonomi. Hal ini mendorong pentingnya dilakukan penelitian dan explorasi yang lebih mendalam mengenai praktek Anjak-piutang dan konstruksi hukum yang tepat dalam penerapannya. Penelitian dimaksudkan mencari dan menemukan prinsip-prinsip hukum dalam perjanjian Anjak-piutang. Hubungan hukum tersebut, diantaranya ada tiga pihak yang terlibat, yaitu Factor, Klien dan Konsumen. Bidang usaha Anjak piutang secara bisnis termasuk sebagai salah satu jenis usaha pembiayaan. Sejak pasca krisis ekonomi mulai tahun 1998, Anjakpiutang mengalami pertumbuhan yang lambat dibandingkan dengan jenis pembiayaan multifinance lainnya yang lebih mengandalkan 'security dari barang yang dibiayai. Hal ini disebabkan adanya perbedaan mengenai 'security, karena Anjak-piutang yang mengandalkan pembayaran atas tagihan piutang dagang memang secara teknis risikonya dianggap lebih tinggi ketimbang jenis usaha pembiayaan lainnya. Tujuan penelitian agar dapat diperoleh bangunan konstruksi hukum yang mampu membentuk suatu pemahaman yang menyeluruh mengenai daya kerja hukum yang dipakai sebagai acuan atas tanggung jawab masing-masing pihak yang terlibat dalam transaksi Anjak piutang. Utamanya terhadap pemenuhan prestasi yang wajib dilakukan dikemudian hari yakni bagi kepentingan hak tagih kreditur selaku pihak factor. Untuk itu perlu menelaah dan menemukan jenis jenis klausula yang mendukung keberadaan prinsip-prinsip hukum yang dibahas, maka layak dan perlu diwujudkan dalam klausula-klausula yang dicantumkan dalam perjanjian Anjak-piutang berikut apa saja dokumen pendukung yang diperlukan. Pentingnya mengetahui latar belakang dari asal-muasal lahimya lembaga factoring. Lembaga hukum yang dimaksud itu mampu mengatasi'problem cash Flow'. Dikenal pertama kali di Negara yang menganut Common Law System, yakni Amerika Serikat dan Inggris. Bentuk dari suatu transaksi bisnis yang menjembatani permasalahan tersebut adalah transaksi Factoring yang dikemas dalam Factoring Agreement. Salah satu literatur hukum dari jurisprudensi Amerika dan Inggris, seperti yang ditulis oleh ahli hukum terkenal Henry Campbell Black dalam bukunya Black's Law Dictionary tentang terminology factoring adalah �Sale of accounts receivable of a fine to a factor at a discounted price. The purchase of accounts receivable from business by a factor, who thereby assumes the risk of loss in return for some agreed discount" Dikutip dalam perkara Manhattan Factoring vs Orsbum. And A system involving notice to the trade debtors, di mulai dari industry textile lihat perkara Corn Exchange Nat. Bank & Trust Co., Philadelphia vs. Klauder. Adapun hubungan bisnis dan pergaulan bisnis yang meluas itu telah memberikan pengaruh dan dikenalnya sitem factoring dikalangan pelaku bisnis. Meskipun factoring itu sendiri tidak dikenal dalam Civil Law System yang dianut di Indonesia. Namun atas permintaan dan memenuhi keinginan pelaku bisnis melalui 'pekerjaan' para "Lawyer/Drafter� untuk dibuatlah Factoring Agreement yang dapat dipakai di Indonesia, di mana dasar hukum yang utama adalah azas kebebasan berkontrak, yakni pasal 1338 ayat 1 BW. Pihak-pihak yang terlibat di dalam kegiatan Anjak-piutang adalah : 1.Factor adalah kreditur baru yang mengambil-alih atau membeli tagihan piutang dagang; 2.Klien adalah perusahaan selaku kreditur awal yang menjual dan menyerahkan piutang dagang yang berupa tagihan jangka pendek yang berasal dari transaksi dagang miliknya melalui suatu perjanjian (Factoring Agreement); 3.Konsumen adalah pihak tertarik yang wajib membayar hutang dagangnya yang telah dialihkan oleh klien kepada pihak factor pada saat jatuh temponya. Penerapan hukum Anjak-piutang menurut pendapat majelis hakim pengadilan niaga di Indonesia, seperti dalam penelitian terhadap 7 putusan majelis hakim dalam perkara permohonan pailit menunjukkan perbedaan di dalam menafsirkan dan memahami pengertian dan konsep hukum Anjakpiutang, baik sebagai utang atau sebagai pembelian piutang. Yang mencolok di antaranya ada 1(satu) putusan mengenai pembelian piutang dalam perkara PT. Batara Intemasional Finansindo (PT. BIF) mengajukan permohonan pailit terhadap PT. Gabus Putih Indah (PT. GPI) atas dasar Perjanjian Factoring. Putusan ini memuat pertimbangan ratio hukum Anjak piutang mendasarkan pada Keputusan Menteri Keuangan, yaitu dibuktikan adanya keterlibatan tiga pihak, yaitu factor sebagai pembeli piutang(PT. BIF), klien sebagai penjual piutang(PT. GPI), dan yang terakhir adalah konsumen atau pelanggan yang wajib membayar piutang tersebut. Hubungan hukum dalam Factoring ini menurut pendapat majelis hakim, bahwa walaupun tennuat klausula recourse yang tetap membebankan risiko kegagalan membayar kepada klien, namun disisi lain juga membatasi kewenangan hukum klien untuk menagih kepada konsumen. Dalam hal ini kewenangan menagih tetap pada factor, kecuali secara tertulis factor meminta klien untuk melakukan penagihan. Kegagalan PT. BIF melakukan pemindahan hak tagih yang pantas dari PT.BIF sebagai factor kepada PT. GPI sebagai klien bukanlah obyek utang dad PT. BIF kepada PT.GPI. Pertimbangan Majelis Kasasi dalam perkara PT. BIF dengan PT. GPI yang termuat dalam memori kasasi, diantaranya menyebutkan, bahwa Judex Factie tidak salah menerapkan hukum dan dasar pengakuan utang adalah perjanjian Anjak-piutang yang menurut pendapat hukum dad Majelis Kasasi perjanjian tersebut tidak ada di karenakan PT. BIF dan PT. GPI telah sepakat mengakhiri perjanjian Anjak-piutang, sedangkan status hubungan diantara debitur dan kreditur tidaklah dapat dibuktikan secara sederhana, sehingga penyelesaian sengketa ini haruslah diajukan ke Pengadilan Negeri. Ruang lingkup Anjak-piutang diperkenalkan lewat lembaga pembiayaan. Oleh karenanya nuansa dan karakter pembiayaan sangat mewarnai hubungan yang tercipta di dalam lembaga Anjak-piutang di Indonesia. Karakter pembiayaan erat kaitannya dengan hubungan utang-piutang. Konsep utangpiutang terdapat dua sisi produk perbuatan, yaitu utang dan piutang. Utang adalah produk perbuatan dari sisi pihak yang memperoleh pinjaman sejumlah uang, sedangkan piutang adalah produk perbuatan dilihat dari sisi pihak yang memberi pinjaman sejumlah uang. Sifat pembiayaan ini menyebabkan adanya unsur biaya bunga sebagai pengganti diskonto dan adanya limit(plafond) kredit yang diperjanjikan dan adanya sifat retensi. Di dalam praktek perbankan, pihak pemberi pinjaman dan pihak penerima pinjaman atau peminjam yang dikemas dalam suatu perjanjian kredit yang merupakan perjanjian pokok dan biasanya diikuti dengan peijanjian jaminan. Pedanjian pokok yang dimaksud lebih dikenal sebagai PeRjanjian Kredit untuk meMbiayai Piutang Dagang (Account Receivable(AR) Financing Program). Perkembangan selanjutnya Anjak piutang, berupa model percampuran, dimana bentuk pembiayaan bersama-sama dengan pembelian dan pengalihan berada dalam satu pengertian Anjak-piutang. Keiembagaan pembiaya, dan pembelian tersebut dalam khasanah hukum Indonesia masing-masing mempunyai dasar-hukum sandhi-sandhi. Untuk itu diperlukan interpretasi sistematis terhadap suatu undang-undang sebagai bagian dan keseluruhan sistem perundang-undangan dengan jalan menghubungkan dengan undangundang lain.
Actions (login required)
View Item |