HAK MEWARIS ANAK YANG TELAH DIPUTUS HUBUNGAN DARAH OLEH ORANG TUANYA BERDASARKAN ADAT DAN TRADISI TIONGHOA MENURUT B.W.

DHAMMA RATNA, 031042176 N (2012) HAK MEWARIS ANAK YANG TELAH DIPUTUS HUBUNGAN DARAH OLEH ORANG TUANYA BERDASARKAN ADAT DAN TRADISI TIONGHOA MENURUT B.W. Thesis thesis, UNIVERSITAS AIRLANGGA.

[img] Text (FULLTEXT)
12.pdf
Restricted to Registered users only

Download (953kB) | Request a copy
Official URL: http://lib.unair.ac.id

Abstract

Kematian merupakan perisitiwa hukum yang mengakibatkan proses pewarisan. Namun, sampai saat ini ternyata di Indonesia belum ada Undang-Undang mengenai hukum waris nasional. Hukum waris masih dibedakan menjadi 3 (tiga) kelompok, yakni: Hukum Waris Islam, Hukum Waris Adat dan Hukum Waris Perdata Barat (Burgerlijk Wetboek). Adanya pembedaan ini merupakan peninggalan dari masa penjajahan Kolonial Hindia Belanda, yang menggunakan politik untuk memecah belah bangsa Indonesia. Berdasarkan Staatsblad: 1917-129, ketentuan-ketentuan dalam B.W. hanya berlaku bagi mereka yang tunduk atau menundukan diri kepada B.W., khususnya mengenai hukum waris ialah: warga negara Indonesia keturunan Eropa dan Tionghoa. Selain ketentuan B.W., dalam hal pewarisan tenyata juga dipengaruhi oleh adat dan tradisi dalam golongan masyarakat tertentu, seperti misalnya pada masyarakat Golongan Tionghoa yang dikenal kuat dan memegang teguh dalam menjalankan adat dan tradisi mereka. Dalam adat dan tradisi Tionghoa, orang tua dapat melakukan pemutusan hubungan darah dengan anak kandungnya sendiri. Dalam kasus ini pemutusan hubungan darah yang terjadi dikarenakan anak tersebut mengambil sejumlah uang yang dipercayakan padanya untuk membeli emas demi kepentingan pribadinya. Ritual tersebut dilakukan di Kelenteng dengan memotong seekor ayam hitam, maka sejak saat itu ia beserta keturunanya tidak ada hubungan lagi dengan orang tuanya. Bahkan apabila ke-dua orang tuanya meninggal maka namanya tidak tercantum dalam batu nisan dan ia tidak memperoleh sepeserpun bagian dari harta warisan karena ia bukanlah ahliwaris. Berbeda dengan ketentuan dalam B.W. mengenai siapa ahliwaris dan yang dapat dikecualikan sebagai ahliwaris. Untuk dapat dikategorikan sebagai ahliwaris maka ia harus memenuhi beberapa persyaratan, yakni: ahliwaris harus ada dan masih ada pada saat warisan terbuka, mempunyai hubungan darah dengan pewaris atau merupakan suami atau istri yang hidup terlama, bukan orang yang dinyatakan tidak pantas untuk mewaris (onwaardig) dan tidak menolak warisan. Jadi, walaupun berdasarkan adat dan tradisi Tionghoa anak yang telah diputus hubungan darah bukanlah ahliwaris, tetapi berdasarkan ketentuan B.W. ia merupakan ahliwaris karena memenuhi syarat untuk itu. B.W. memberikan perlindungan kepada ahliwaris tertentu yang sama sekali tidak dapat dikecualikan dari perbuatan sewenang-wenang pewaris dengan cara apapun. Perlindungan tersebut ialah legitieme portie yang dimiliki oleh legitimaris, dengan syarat ia harus menuntut haknya. Penuntutan untuk memenuhi legitieme portie akan megakibatkan berkurangnya bagian ke-5 (lima) orang saudara kandungnya (ahliwaris lainnya). Oleh karena itu, untuk keadilan dilakukan inkorting (pemotongan) terhadap hibah semasa pewaris hidup kepada anak yang diputus hubungan darah tersebut.

Item Type: Thesis (Thesis)
Additional Information: KKB KK TMK 141/12 Rat h ABSTRAK TIDAK TERSEDIA
Uncontrolled Keywords: Hukum Waris, Ahliwaris, Legitieme portie, Inkorting
Subjects: K Law > KB Religious law in general > KB1-4855 Religious law in general. Comparative religious law. Jurisprudence > KB400-4855 Interdisciplinary discussion of subjects > KB632-636.2 Inheritance and succession
Divisions: 03. Fakultas Hukum > Magister Kenotariatan
Creators:
CreatorsNIM
DHAMMA RATNA, 031042176 NUNSPECIFIED
Contributors:
ContributionNameNIDN / NIDK
Thesis advisorLisman Iskandar, S.H., M.SUNSPECIFIED
Depositing User: Nn Husnul Khotimah
Date Deposited: 2016
Last Modified: 26 Sep 2016 10:16
URI: http://repository.unair.ac.id/id/eprint/37110
Sosial Share:

Actions (login required)

View Item View Item