ADAM MUHSHI, 031141127 (2013) PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEMELUK AGAMA PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 140/PUU-VII/2009. Thesis thesis, UNIVERSITAS AIRLANGGA.
|
Text (ABSTRAK)
gdlhub-gdl-s2-2013-muhshiadam-26922-6.abstr-k.pdf Download (191kB) | Preview |
|
Text (FULL TEXT)
gdlhub-gdl-s2-2013-muhshiadam-26922-1.full text.pdf Restricted to Registered users only Download (1MB) | Request a copy |
Abstract
Isu hukum yang diangkat dalam penelitian ini adalah ratio legis Undang-Undang Nomor 1/PnPs/ Tahun 1965 dan ratio decidendi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 140/PUU-VII/2009. Penelitian ini adalah penelitian normatif dengan pendekatan perundang-undangan, pendekatan konsep, pendekatan historis, dan pendekatan kasus. Hasil dari penelitian ini adalah: (1) Keberadaan UU Nomor 1/PnPs/1965 dilatarbelakangi oleh situasi politik pada masa Demokrasi Terpimpin yang dijiwai oleh cita-cita revolusi nasional dan pembangunan nasional semesta menuju ke masyarakat adil dan makmur. Cita-cita nasional tersebut tidak akan pernah tercapai dengan banyaknya peristiwa berlatar belakang agama yang dapat mengancam persatuan dan kesatuan bangsa pada saat itu. Dengan harapan untuk mengatasi dan mengantisipasi tindakan-tindakan yang dapat mengancam persatuan dan kesatuan bangsa khususnya yang bermotif agama tersebut, maka UU a quo itu dikeluarkan. UU a quo yang merupakan salah satu realisasi dari Dekrit Presiden Tanggal 5 Juli 1959 ditujukan agar segenap rakyat di seluruh wilayah Indonesia dapat menikmati ketenteraman beragama dan mendapat jaminan untuk menunaikan ibadah menurut agamanya masing-masing. Untuk dapat menciptakan ketenteraman kehidupan beragama tersebut, maka UU a quo menentukan pembatasan dan/atau pencegahan terhadap dua hal utama, yaitu: pertama, tindakan pencegahan agar tidak terjadi penyelewengan-penyelewengan atas ajaran-ajaran pokok agama; dan kedua, tindakan pencegahan agar tidak terjadi penodaan/penghinaan terhadap agama serta mencegah adanya ajaran-ajaran untuk tidak memeluk agama yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa. (2) Melalui Putusan MK Nomor 140/PUU-VII/2009, MK menyatakan bahwa UU Nomor 1/PnPs/1965 baik secara formil maupun secara materiil adalah konstitusional sehingga MK kemudian menyatakan menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya. Secara formil, argumentasi hukum yang digunakan MK adalah Pasal I Aturan Peralihan UUD NRI 1945. Sedangkan secara materiil, MK menyatakan bahwa larangan dan/atau pembatasan terhadap hak atas kebebasan beragama dalam UU a quo berada pada ranah forum externum yang secara konstitusional telah diatur oleh Pasal 28J ayat (2) UUD NRI 1945. Meskipun demikian, dalam dasar pertimbangan Putusan a quo MK juga mengakui bahwa UU Nomor 1/PnPs/1965 mengandung kelemahan baik dari segi bentuk, rumusan, maupun kaidah-kaidah hukumnya sehingga perlu dilakukan penyempurnaan melalui proses legislasi. Penelitian ini merekomendasikan supaya DPR segera melakukan perubahan terhadap kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam UU Nomor 1/PnPs/1965 sehingga dapat menjamin kepastian hukum dalam pelaksanaan hak atas kebebasan beragama. Materi perubahan itu antara lain: (i) pemberian bantuan-bantuan hendaknya diberikan pada semua agama dan aliran kepercayaan tanpa terkecuali; (ii) norma: “Terhadap badan/aliran kebatinan, pemerintah berusaha menyalurkannya ke arah pandangan yang sehat dan ke arah Ketuhanan Yang Maha Esa” seyogyanya dihapus saja; dan (iii) Konsep agama, pokok-pokok ajaran agama, permusuhan, penyalahgunaan, penodaan, dan penghinaan agama masih bersifat kabur atau ambigu sehingga perlu diberi batasan atau definisi.
Actions (login required)
View Item |