AGUS WAHYUDI, 071144018 (2013) PKS DAN NU (Studi Kasus Tentang Penguatan Jejaring PKS Dalam Menembus Basis NU di Kabupaten Trenggalek dalam Pemilihan Umum 2009). Thesis thesis, UNIVERSITAS AIRLANGGA.
|
Text (ABSTRAK)
gdlhub-gdl-s2-2013-aguswahyud-27463-8.abstr-t.pdf Download (129kB) | Preview |
|
Text (FULL TEXT)
gdlhub-gdl-s2-2013-aguswahyud-27463-full text.pdf Restricted to Registered users only Download (2MB) | Request a copy |
Abstract
Tantangan elektoral bagi Partai Politik dalam Pemilihan Umum di Indonesia pasca era reformasi semakin berat. Pemberlakuan Electoral Thresshold menjelang Pemilu 2004, serta pemberlakuan Parlementary Tresshold menjelang Pemilu 2009, menjadi rintangan bagi semua Partai Politik di Indonesia, termasuk Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Sehingga, PKS terus melakukan proses pelembagaan partai politik, sebagaimana konsep Randall dan Svasan. Salah satu implikasi dari proses pelembagaan partai politik tersebut, pada tahun 2007, dalam Musyawarah Kerja Nasional di Bali, PKS menisbatkan dirinya sebagai Partai Terbuka bagi semua masyarakat di Indonesia. PKS telah mengalami ‘metamorfosis’ dari partai kader menjadi chatch all party (Katz dan Mair). Derivasi dari chatch all party, PKS membuat kebijakan yang bersifat pragmatis, yang mampu mengakomodir seluruh masyarakat dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sehingga pada tahun 2007, PKS meluncurkan panduan Rabthul Am (Ikatan Umum). Implikasi program Rabthul Am tersebut adalah organisasi PKS bergerak serta mendekatkan diri kepada semua kalangan di Indonesia, baik kalangan lintas agama, lintas organisasi kemasyarakatan (ormas) Islam, organisasi profesi, buruh, tani, nelayan dan lain-lain. Program Rabthul Am ini juga ‘merasuk’ dalam ranah kalangan Nahdlatul Ulama (NU). Berbeda dengan ‘segmentasi’ yang lain, kalangan NU memiliki resistensi yang cukup panjang dengan PKS. Stigmatisasi PKS sebagai gerakan salah satu ‘agen’ gerakan transnasional oleh sebagian ilmuwan Islam dari kalangan NU. Kerenggangan tersebut semakin terlihat, karena antara PKS dan NU memiliki 3 (tiga) perbedaan, yakni : perbedaan akar sejarah, perbedaan ideologi gerakan serta perbedaan pilihan partai politik pada awal era reformasi di Indonesia. Menurut Bachtiar Efendy, perbedaan mencolok antara PKS dan NU, bahwa PKS digolongkan sebagai kelompok Islam Modernis, sedangkan NU termasuk kalangan Islam tradisionalis. Temuan menarik dalam studi ini, bahwa PKS mampu meraih suara siginifikan di beberapa desa yang notebene adalah basis NU pada kasus Pemilihan Umum Tahun 2009 di Kabupaten Trenggalek, sebuah daerah di barat daya dari Kota Surabaya Propinsi Jawa Timur yang memiliki kultur budaya politik Islam Mataraman. Tesis ‘baru’ dalam studi ini adalah adanya titik temu antara PKS dan NU dalam Pemilu tahun 2009 di Kabupaten Trenggalek dalam ‘rumah politik’ Budaya Islam Mataraman, sebuah ‘rumah’ yang memberikan ‘ruang-ruang’ keleluasaan bagi penghuninya untuk mengekpresikan diri dalam pilihan politiknya. Kultur budaya yang cenderung sinkretis¸ serta mengakomodasi setiap perbedaan dalam masyarakat. Sebuah kultur yang biasa menciptakan harmoni dalam kebhinnekaan.
Actions (login required)
View Item |