SUSILO EDY, 030810154 M (2009) PENASEHAT HUKUM POLRI DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA DI INDONESIA. Thesis thesis, UNIVERSITAS AIRLANGGA.
|
Text (ABSTRAK)
gdlhub-gdl-s2-2010-susiloedy-12248-th2410-k.pdf Download (305kB) | Preview |
|
Text (FULL TEXT)
gdlhub-gdl-s2-2010-susiloedy-11170-th2410-p.pdf Restricted to Registered users only Download (2MB) | Request a copy |
Abstract
Adanya ketentuan, bahwa anggota Polri tunduk pada peradilan umum dalam Pasal 29 ayat (1) UU 2/2002, menimbulkan konsekwensi yuridis yang bersifat kausatif dalam menghadapi permasalahan hukum terkait dengan kepentingan tugas. Dalam hal ini menimbulkan hak bagi Tersangka/Terdakwa untuk mendapatkan bantuan hukum dari institusi Polri dan merupakan kewajiban institusi Polri untuk menyediakan tenaga bantuan hukum, disamping yang bersangkutan juga berhak untuk menunjuk Penasehat Hukumnya sendiri, guna membantu menghadapi permasalahan hukumnya. Sebagaimana diatur dalam PP 3/2003 Pasal 13, yang berbunyi : (1) Tersangka atau terdakwa anggota Polri berhak mendapatkan bantuan hukum pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan. (2) Kepolisian Negara Republik Indonesia wajib menyediakan tenaga bantuan hukum bagi tersangka atau terdakwa anggota Polri yang disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang berkaitan dengan kepentingan tugas. (3) Bantuan hukum sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan dengan memanfaatkan Penasehat Hukum dari institusi Kepolisian Republik Indonesia dan/atau Penasehat Hukum lainnya. (garis bawah penulis) Dengan demikian bagi anggota Polri yang �kena� perkara pidana terkait dengan tugas, maka Penasehat Hukum Polri yang disediakan oleh institusi Polri dapat memberikan bantuan hukum, karena secara normatif limitatif memang demikian aturannya, akan tetapi jika ada anggota Polri terkena perkara pidana terkait dengan permasalahan pribadi atau di luar kepentingan tugas, keberadaan Penasehat Hukum Polri dalam memberikan bantuan hukum, dan beracara di peradilan umum, masih menjadi permasalahan yang banyak diperdebatkan (debatable), mengingat keberadaannya tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 49) selanjutnya disingkat UU 18/2003 atau UU advokat. Sedangkan dalam praktek di lapangan, masih sering kita jumpai adanya penolakan-penolakan terhadap kehadiran Penasehat Hukum Polri yang beracara di peradilan umum, guna mendampingi/membela kepentingan anggota Polri/keluarganya dalam menghadapi permasalahan hukumnya. Penolakan tersebut dapat berasal dari Penasehat Hukum lawan, Jaksa Penuntut Umum, dan bahkan dari Majelis Hakim yang memeriksa perkara di persidangan.
Actions (login required)
View Item |