CHANDRA BUDI WALUYO, 030610156 N (2009) PENERAPAN PRINSIP- PRINSIP REFORMA AGRARIA DALAM PEMBENTUKAN PENGADILAN AGRARIA. Thesis thesis, UNIVERSITAS AIRLANGGA.
|
Text (ABSTRAK)
gdlhub-gdl-s2-2010-waluyochan-12399-tmk150-k.pdf Download (307kB) | Preview |
|
Text (FULL TEXT)
gdlhub-gdl-s2-2010-waluyochan-11336-tmk150-9.pdf Restricted to Registered users only Download (636kB) | Request a copy |
Abstract
Pembentukan Pengadilan Agraria sebagai peradilan khusus di lingkungan peradilan umum dapat di lakukan dengan menggunakan acara pemeriksaan biasa dan acara pemeriksaan cepat dengan komposisi hakim yang berjumlah 3 (tiga) orang terdiri dari 1 (satu) orang pada pengadilan Tata Usaha Negara yang bersangkutan dan 2 (dua) orang hakim Ad Hoc. Kewenangan (Komptensi) dari pengadilan agraria adalah menangani masalah tanah yang di sebabkan oleh penggunaan dan penyalahgunaan kekuasaan negara terhadap hak kepemillikan tanah yang menimbulkan kerugian bagi perorangan maupun masyarakat baik itu secara materiil maupun inmateriil, yang di sebabkan keputusan badan atau pejabat tata usaha negara. Kalau kita kembali lagi mengacu kepada Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman maka pengadilan agraria tidak bisa di lakukan karena apabila menambah satu bentuk pengadilan ke dalam sistem pengadilan maka tentunya akan merevisi Undang-Undang yang telah ada yaitu Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, walaupun demikian dengan adanya peranan hakim Ad Hoc merupakan suatu harapan baru bagi dunia pengadilan di Indonesia, dimana hakin Ad Hoc mempunyai kewenangan untuk menyelesaikan sengketa /konflik pertanahan melalui bentuk mediasi terhadap para pihak yang bersengketa termasuk juga terbentuknya Komisi Nasional Penyelesaian Sengketa Agraria (KNUPKA) dimana hanya akan terbatas untuk penyelesaian sengketa/konflik yang berhubungan dengan penyelahgunaan kewenangan publik juga diperlukan perlindungan korban maupun saksi terhadap konflik/sengketa pertanahan dimana dalam pembentukan pengadilan agraria menganut asas retroaktif dengan pembentukan pengadilan Ad Hoc yang mempunyai kewenangan memutus dan memeriksa sengketa/konflik pertanahan yang terjadi sebelum peraturan ini di undang-undangkan. Hambatan Yuridis dalam pembentukan pengadilan agraria tidak lepas belum adanya peraturan perundang-undangan yang terbentuk secara kongkrit namun hanya terbentuk secara legitimasi politik, dimana dalam pembentukna pengadilan agraria yang merupakan pengadilan khusus bisa di bentuk melalui 2 pola:Pembentukan pengadilan khusus langsung melalui Undang-Undang dan Pembentukan Pengadilan khusus dengan cara menetapkan pembentukan pengadilan khusus dengan cara menetapkan pembentukannya dalam Undang –Undang. Dimana kewenangan pembentukan ada pada Presiden. Pembentukan pengadilan khusus ditempuh melalui pada pola yang kedua pembentukan KNUPKA ( Komisi Nasional Untuk Penyelasaian Konflik Agraria) bisa harus dibuat Undang-Undang, biasa juga melalui Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang (PERPU). Hambatan Birokrasi hal ini terkait dengan lembaga birokrasi peetintah yang berwenang dalam pengelolaan dan pengembangan administrasi pertanahan yang diatur dalam Peraturan Presiden No 25 Tahun 2005 yang diubah menjadi Peraturan Presiden No 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional dengan adanya organ khusus terhadap penyelesaian sengketa/ konflik agraria pertanahan dan pembentukan komite pertanahan, namun didalam implementasinya tidak pernah membuat /menerbitkan dokumen tersebut yang mengakibatkan timbulnya sengketa/konflik pertanahan. Hambatan sumber daya manusia dimana selama ini materi dari sumber daya manusia para hakim yang ada baik itu pengadilan umum maupun pengadilan tata usaha negara pada saat menyelesaikan sengketa masih banyak belum menguasai dan memahami hukum dan peraturan pertanahan sehingga dalam memeriksa dan memutus perkara pertanahan tidak mencapai sasaran pada subtansi akar permasalahannya hal ini disebabkan hakim tidak diarahkan kespesialisasi namun masih bersifat general, dengan adanya hakim Ad hoc yang diangkat dengan keputusan presiden atas usulan Mahkmah Agung.Dimana kompetensi hakim Ad Hoc mempunyai tugas yang sama dengan anggota majelis lainnya disisi lain hakim Ad Hoc berwenang juga dalam membuat Disseting Opinion, hal ini terjadi apabila terjadi perbedaan pendapat dengan hakim ketua. Selain itu harus adanya pengawasan terhadap hakim Ad Hoc baik dari segi kredibilitas dan kinerja dalam memeriksa sengketa pertanahan termasuk juga pembinaan dari segi moral dimana harus ada bahan pengawasan yang dibentuk Mahkamah Agung sehingga akan menjadi efektif dan efesien dalam penanganan sengketa/konflik agraria.
Actions (login required)
View Item |