ERDA SUSANTY ADJI RATMARA, 090515589 M (2008) KARAKTER YURIDIS GUGATAN PRA - PERADILAN. Thesis thesis, UNIVERSITAS AIRLANGGA.
|
Text (ABSTRAK)
gdlhub-gdl-s3-2010-ratmaraerd-11136-th0209-k.pdf Download (15kB) | Preview |
|
Text (FULL TEXT)
gdlhub-gdl-s3-2010-ratmaraerd-10416-th0209.pdf Restricted to Registered users only Download (859kB) | Request a copy |
Abstract
Timbulnya gugatan pra-peradilan sebagai akibat karena adanya dugaan penyidik (polisi dan jaksa) telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan Undang-Undang, antara lain Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, Undang-Undang No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian dan Undang-Undang No. 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan. Gugatan praperadilan merupakan hak tersangka yang di duga telah melakukan perbuatan pidana, sehingga apabila dalam proses penyidikan atau penuntutan ada indikasi pelanggaran hak tersangka yang dilakukan oleh penyidik, maka tersangka dapat melakukan gugatan dalam membela haknya tersebut melalui praperadilan. Substansi praperadilan terdiri dari keabsahan penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan dan penghentian penuntutan. Wewenang penyidik merupakan wewenang atributif, yaitu wewenang yang diatur dalam Undang-Undang. Wewenang yang dijalankan penyidik tersebut hakekatnya dalam rangka menjalankan salah satu fungsi pemerintahan. Artinya bahwa Kepolisian menjalankan urusan pemerintahan di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan Pasal 2 Undang-Undang Kepolisian sedangkan Kejaksaan melaksanakan fungsi pemerintahan di bidang penuntutan (Pasal 2 Undang-Undang Kejaksaan). Adanya tugas dan wewenang tersebut, maka penyidik mempunyai legalitas (keabsahan) dalam melakukan tindakan-tindakan hukum. Berdasarkan Undang-Undang Kepolisian maupun Undang-Undang Kejaksaan, wewenang diklasifikasikan menjadi wewenang terikat dan wewenang diskresi. Wewenang terikat merupakan wewenang umum yang berdasarkan peraturan perundang-undangan sedangkan wewenang diskresi merupakan suatu wewenang untuk bertindak atau tidak bertindak atas dasar pilihan dan penilaiannya sendiri dalam menjalankan kewajiban hukum dengan maksud untuk lebih cepat, efesien dan efektif mencapai tujuan yang diamanatkan Undang-Undang Dasar dan penyelenggara negara, demi keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Tindakan-tindakan penyidik berdasarkan wewenangnya juga dapat diklasifikasikan, menjadi tindakan materiil dan tindakan hukum. Tindakan materiil merupakan tindakan faktual yang dilakukan oleh penyidik, sedangkan tindakan hukum merupakan tindakan yang berdasarkan hal-hal yang sifatnya dapat menimbulkan akibat hukum tertentu, yaitu menimbulkan hak dan kewajiban bagi seseorang. Secara materiil praperadilan tersebut menguji sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan dan atau penghentian penuntutan yang dilakukan penyidik yang berdasarkan undang-undang dinilai menyimpang dari prosedur serta wewenang yang telah ditetapkan. Prosedur dimaksud bersangkut paut dengan administrasi atau ketatausahaan penyidikan atau penuntutan yang seharusnya dikeluarkan atau tidak dikeluarkan oleh penyidik. Tindakan penyidik tersebut dalam rangka mengemban tugas dan wewenang sebagai pejabat pemerintah bidang penegakan hukum yang masuk pada lingkup Keputusan Tata Usaha Negara. Oleh karena itu praperadilan merupakan sengketa administrasi, yaitu sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, sehingga amar putusan gugatan berkaitan dengan administrasi, yakni mencabut keputusan atau mengeluarkan keputusan baru atau ganti rugi. Pemeriksaan gugatan praperadilan difokuskan pada keabsahan dari tindakan penyidik yang berupa penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan maupun penghentian penuntutan. Dengan demikian, menurut konsep hukum administrasi Pengadilan Tata Usaha Negara mempunyai kemungkinan kompetensi untuk memeriksa, mengadili dan memutus gugatan praperadilan, karena gugatan praperadilan merupakan sengketa tata usaha negara Dasar hukum pernyataan tersebut terdapat dalam ketentuan Pasal 30 ayat (4) UUD 1945, Pasal 2 Undang-Undang Kepolisian, Pasal 2 Undang-Undang Kejaksaan, dan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang PTUN. Di sisi lain, terdapat hambatan-hambatan dalam pelaksanaan gugatan praperadilan, antara lain Terdapat hambatan yuridis yaitu hambatan yang timbul dari adanya peraturan perundang-undangan yang sifatnya membatasi kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara, antara lain terdapat dalam ketentuan Pasal 2 butir d Undang-Undang PTUN dan Hambatan non yuridis yaitu hambatan berkaitan dengan kedudukan Pengadilan Tata Usaha Negara yang hanya ada pada tingkat provinsi dengan daerah hukumnya meliputi wilayah provinsi, karena perlu dibentuknya Pengadilan Tata Usaha Negara yang berkedudukan di ibukota Kabupaten/Kota yang daerah hukumnya meliputi wilayah Kabupaten/Kota. Hal ini merupakan amanat dari ketentuan Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang PTUN, yang mengatur dibentuknya Pengadilan Tata Usaha Negara yang berkedudukan di ibukota Kabupaten/Kota.
Actions (login required)
View Item |