YUNUS DWICAHYO WICAKSONO, 031214153012 (2014) Miscarriage Of Justice dalam Pembalikan Beban Pembuktian pada Perkara Tindak Pidana Korupsi. Thesis thesis, UNIVERSITAS AIRLANGGA.
|
Text (ABSTRAK)
gdlhub-gdl-s2-2014-wicaksonoy-33376-4.abstr-i.pdf Download (182kB) | Preview |
|
Text (FULL TEXT)
gdlhub-gdl-s2-2014-wicaksonoy-33376-full text.pdf Restricted to Registered users only Download (1MB) | Request a copy |
Abstract
Miscarriage Of Justice merupakan suatu keadaan gagalnya tercapai dari tujuan hukum yakni keadilan dan kepastian hukum. Keadaan ini terjadi apabila terdapat ketidaksinambungan penegakan hukum dalam suatu negara. Ketidaksinambungan dalam penegakan hukum tersebut terjadi dapat disebabkan karena ulah para penegak hukum maupun dapat juga terjadi karena terdapat aturan-aturan dalam negara tersebut yang saling bertentangan. Dewasa ini korupsi merupakan kejahatan yang paling utama yang ingin diberantas didalam negara Indonesia.Keadaan miscarriage of justice ini banyak pula terjadi dalam penegakan hukum di Indonesia. Salah satu bentuk keadaan miscarriage of justice adalah terjadi pada penanganan korupsi di Indonesia. Dimana dalam hal penanganan korupsi di Indonesia terdapat beberapa proses beracara yang berbeda dengan aturan dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Korupsi tergolong dalam tindak pidana yang luar biasa. Oleh karena itu, korupsi tergolong dalam White Collar Crime yakni kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai kedudukan tinggi. Karena sifat tindak pidana yang luar biasa tersebut maka terdapat beberapa aturan dalam hukum acara penegakan kasus korupsi yang berbeda dengan aturan dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara pidana. Meskipun diperboleh kan didalam undang-undang terdapat perbedaan aturan akan tetapi didalam pengaturan suatu aturan hukum tidak boleh bertentangan dengan azas yang berlaku didalam negara tersebut. Didalam UU No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi diatur beberapa pasal yang bertentangan dengan aturan didalam Kitab Undang-undang Hukum acara Pidana. Perbedaan tersebut terdapat dalam pembalikan beban pembuktian. Negara indonesia merupakan negara civil law yang yang sangat memegang teguh kepastian hukum dalam penegakan hukumnya. Apabila terdapat perbedaan dalam pengaturan undang-undang bahkan pertentangan terhadap azas yang berlaku di Indonesia maka perlu dikaji ulang secara yuridis aturan yang mengatur hal tersebut. Dalam hal ini, pembalikan beban pembuktian merupakan sistem pembuktian yang diadopsi dari negara common law. Negara Indonesia merupakan negara civil law system yang menggunakan Azas Praduga Tidak Bersalah (Presumption Of Inouncence).Didalam pembalikan beban pembuktian sangat rentan terhadap pelanggaran Azas Praduga Tidak Bersalah (Presumption Of Inouncence). Didalam pengaturan pembalikan beban pembuktiansangat mendekati terhadap Azas Paraduga Bersalah (Presumption Of Guilt) atau bahkan Praduga Korupsi. Dengan dengan demikian Azas Praduga Bersalah (Presumption Of Guilt)akan timbul dalam penanganan perkara korupsi dan hal itu telah menyalahi dari upaya penegakan hukum di Indonesia yang menganut Azas Praduga tidak bersalah (Presumption Of Innouncence). Didalam pasal 66 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana disebutkan bahwa terdakwa tidak memiliki kewajiban untuk melakukan pembuktian karena beban kewajiban pembuktian dimiliki oleh jaksa Penuntut Umum, akan tetapi didalam pasal 12b jo.37 dan 38 Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 diatur tentang terdakwa yang memiliki beban pembuktian. Padahal, didalam hukum acara pidana di Indonesia apabila terdapat pertentangan antara peraturan-peraturan dalam undang-undang, maka hal yang perlu diperhatikan adalah kembali ke dalam azas hukum yang berlaku di negara tersebut.
Actions (login required)
View Item |