Sugeng Hariyanto (1999) Kaum Intelektual dan Politik Aliran (Studi Kasus Tentang Konflik Aliran di Lingkungan Tenaga Pangajar di STIP Surabaya). Thesis thesis, UNIVERSITAS AIRLANGGA.
Text (JUDUL)
1. JUDUL .pdf Download (206kB) |
|
Text (DAFTAR ISI)
2. DAFTAR ISI .pdf Download (273kB) |
|
Text (BAB I)
3. BAB I .pdf Download (546kB) |
|
Text (BAB II)
4. BAB II.pdf Restricted to Registered users only Download (1MB) | Request a copy |
|
Text (BAB III)
5. BAB III .pdf Restricted to Registered users only Download (880kB) | Request a copy |
|
Text (BAB IV)
6. BAB IV .pdf Restricted to Registered users only Download (709kB) | Request a copy |
|
Text (BAB V)
7. BAB V .pdf Restricted to Registered users only Download (840kB) | Request a copy |
|
Text (BAB VI)
8. BAB VI .pdf Restricted to Registered users only Download (2MB) | Request a copy |
|
Text (BAB VII)
9. BAB VII.pdf Restricted to Registered users only Download (2MB) | Request a copy |
|
Text (BAB VIII)
10. BAB VIII.pdf Restricted to Registered users only Download (1MB) | Request a copy |
|
Text (DAFTAR PUSTAKA)
11. DAFTAR PUSTAKA .pdf Download (257kB) |
Abstract
Politik aliran pada masa pemerintahan Orde Baru (Orba) tidak benar-benar mati. Upaya pemerintahan orba mereduksi atau bahkan mematikan politik aliran melalui kebijakan depolitisasi, deparpolisasi, dan asas tunggal Pancasila hanya berhasil pada level makro. Pada level mikro politik aliran masih tumbuh subur, bahkan pada menjelang akhir masa pemerintahan Soeharto telah mengalami revitalisasi atau –meminjam terminology Afan Gaffar—rejuvenasi pada level makro. Paling tidak fenomena tersebut terjadi di perguruan tinggi. Di STIP Surabaya, misalnya, tenaga pengajar sebagai kaum intelektual dan anggota masyarakat kampus telah mengalami polarisasi ke dalam kutub-kutub politik aliran berdasarkan perbedaan agama dan ideology. Selain itu, “Kelangkaan posisi dan sumber daya” juga menjadi determinan. Mereka terpolarisasi ke dalam tiga kelompok, yaitu kelompok “abang”, kelompok “ijo”, dan kelompok dosen muda. Kelompok “abang” merupakan representasi dari orang-orang yang mengklaim diri sebagai nasionalis. Mereka dahulu—ketika berstatus pelajar dan mahasiswa – aktif di organisasi sekolah dan kemahasiswaan dari Partai Nasional Indonesia, yaitu GSNI dan GMNI. Dilihat dari latarbelakang religio-kulturalnya, sebagian besar dari mereka adalah orang-orang cabangan dan Islam sekuler. Mereka menganggap dirinya sebagai orang beragama Islam, tetapi tidak menjalankan sepenuhnya syari’at dan ritual-ritual beragama Islam, tetapi tidak menjalankan sepenuhnya syari’at dan ritual-ritual agama itu. Dalam hal orientasi religio-kultural, Clifford Geetz member label sebagai Islam nominal (nominal Islam) atau istilah abangan ini, menurut Parsudi Suparlan, dipakai oleh mereka yang taat menjalankan ibadah agamanya untuk menyebut mereka yang tidak atau kurang taat dalam menjalankan ibadah agamanya. Dengan mengklaim diri sebagai orang islam, misalnya, menurut Zilfirdaus, mereka juga bangga sebagai muslim. Dalam pandangan kiai, mereka bukan orang lain, melainkan menjadi anggota umat yang belum menerima secara penuh dakwah dan sedang dalam proses menjadi muslim yang benar. Sebagian anggota lainnya Bergama Katolik dan Hindu. Di samping itu, dalam perjalannya sebagian besar dari kelompok ini melakukan mobilitas dari ranah abangan menjadi santri atau lebih disebut santrinisasi abangan dengan menunaikan rukun islam kelima, yaitu naik haji dan sesudahnya mengenakan atribut-atribut seorang Muslim santri. Karena itu, dalam hal kategorisasi kelompok, kelompok “abang” ini tidak identik dengan kategorisasi abangan Geertz. Kategorisasi kelompok ini, selain berdasarkan orientasi religio-kultural, juga didasarkan pada kesamaan kepentingan. Kelompok ini lebih merupakan kategorisasi social, yang menurut terminology Geertz lebih merupakan kategorisasi priyayi. Hal ini disebabkan karena kelompok ini merupakan kumpulan kaum intelektual berpendidikan tinggi yang berideologi nasionalis. Temuan ini memperkuat pendapat Parsudi Suparlan, Harsya Bactiar, Zilfirdaus Adnan, Mitsuo Nakamura, dan Kuntowijoyo yang mengkritik klasifikasi Geertz terhadap masyarakat Jawa, yang mereka nilai tidak didasarkan pada satu criteria yang sama. Kelompok ini lahir untuk mewadahi orang orang yang mengklaim mempunyai ideology sama yaitu nasionalis. Lahirnya kelompok ini tidak dapat dilepaskan dari konflik politik di tingkat makro antara kelompok nasionalis dan kelompok Islam. Konflik di tingkat makro ini kemudian berimbas ke tingkat mikro, seperti di STIP Surabaya, yang melahirkan konflik antara kelompok “abang” (kelompok nasionalis) dan kelompok “ijo” (kelompok Islam). Dalam melihat negara anggota kelompok ini mengembangkan sikap dan tindakan yang rasional dengan mempertimbangkan keuntungan ekonomi dan politik. Dengan rasionalisasi tindakan seperti itu mereka lebih memilih mengintegrasikan diri ke dalam struktur birokrasi daripada di luar. Karena itu, mereka cenderung menjadi actor yang mereproduksi ideology, politik, dan kebijakan nasional. Misalnya, mereka memberi legitimasi terhadap format politik dan ideologi negara sebagai suatu yang abash. Mereka juga menjadi actor-aktor yang patuh dan taat terhadap struktur. Ketaatan dan kepatuhan tersebut tercipta disebabkan pada masa pemerintahan Orba posisi negara relative otonom terhadap faksi-faksi pendukungnya, termasuk kaum intelektual. Untuk melanggengkan supremasinya, negara Orba seperti diteorikan oleh Antonio Gramsci dan Louis Althusser, selain melakukan dominasi atau penindasan (coercion), juga melakukan hegemoni atauideologis (terminology Althusser), yaitu tampil melalui kepemimpinan intelektual dan moral atau Ideological tate Apparatus (ISA)—meminjam terminologi Althusser. Kaum intelektual dari kelompok “abang” “digiring” untuk menerima apa adanyaterhadap apa yang sudah ditentukan oleh struktur. Misalnya dalam hal penerimaan diskursus resmi Orba tercermin dalam ungkapan: “memilih Golkar berarti menjaga kesinambungan pembangunan nasional, sebaliknya memilih partai politik berarti mengancam kesinambungan pembangunan nasional, negara harus membayar harga mahal jika partai politik yang memenangkan Pemilu, dan lainnya.” Dalam posisi demikian negara Orba sebagai suprastruktur mempunyai kedudukan otonom terhadap kaum intelektual. Kaum intelektual bersikap dan bertindak patuh dan taat untuk menjamin kepentingan negara. Temuan ini memperkuat teori Dialektika Basis-Suprastruktur Althusser, yang menyatakan basis tidak lain hanya pilar penyangga suprastruktur, dan sekaligus menolak teori Dialektika Basis-Suprastruktur Karl Marx yang menyatakan basislah yang lebih menentukan. Kelompok “ijo” merupakan representasi dari kelompok Islam. Geertz menyebutkan kelompok ini sebagai santri. Dalam hal religi-kultural, anggota kelompok ini merupakan orang-orang Islam yang taat dalam menjalankan syari’at dan ritual-ritual agamanya. Tidak hanya itu, sikap dan tindakan sehari-hari anggota kelompok ini selalu dirujukkan kepada Quran dan hadist. Quran dan hadist menjadi pedoman normative nagi sikap dan tindakan anggota kelompok ini. Selama menjadi mahasiswa anggota kelompok ini aktif da;lam organisasi kemahasiswaan yang merupakan organisasi afilial dari Partai-partai Islam pada masa itu, yaitu Partai Masyumi dan NU, yaitu HMI dan PMII. Kesamaan pengalaman religio-kultural dan organisasi kemahasiswaan menjadi syarat utama bagi tenaga pengajar agar dapat diterima menjadi anggota kelompok ini. Dalam kelompok “ijo” sendiri juga terpolarisasi ke dalam dua kelompok yaitu kelompok “ijo” dari Muhammadiyah dan kelompok “ijo” dari NU. Polarisasi tersebut lebih disebabkan karena perbedaan kultural di antara Muhammadiyah dan NU pada tingkat makro. Seperti halnya kelompok “abang,” terbentuknya kelompok “ijo” juga tidak dapat dilepaskan dari akar historis da konflik ideologis anatara kelompok nasionalis dan kelompok Islam di tingkat makro. Keberadaan kelompok ini merupakan generasi penerus organisasi ekstra kampus HMI dan PMII, karena anggota kelompok ini adalah alumni-alumni dua orgasnisasi tersebut. Selain itu, keberadaan kelompok ini juga sebagai kekuatan penyeimbang terhadap kekuatan kelompok “abang”. Tidak seperti kelompok “abang”, dalam melihat negara anggota kelompok ini tidak sertamerta mereproduksi ideology, politik, dan kebijakan nasional. Penataran P4 (Pendidikan, Penghayatan, dan Pengalaman Pancasila) dan penataran-penataran serupa sebagai salah satu bentuk Ideological State Apparatus atau hegemoni tidak begitu saja mampu meretas batas-batas kultural dan ideology kelompok ini. Mereka tidak sertamerta menerima Pancasila sebagai ideology. Quran dan hadist tetap menjadi pegangan dan penuntun utama dalam bersikap dan bertindak. Gambaran ini tidak dapat dilepaskan dari kondisi hubungan kelompok Islam dan negara di tingkat makro. Dalam hal ideology negara, misalnya, kelompok Islam baru menerima Pancasila sebagai asas tunggal pada pertengahan tahun 1980-an. Sementara itu, kelompok dosen muda merujuk kepada orang-orang yang berada di luar dua kelompok tersebut. Kelompok ini lebih merupakan kategorisasi social daripada kategorisasi berdasarkan religio-kultural. Mereka lebih dipersatukan oleh kesamaan visi dan background pendidikan. Dilihat dari religio-kulturalnya anggota kelompok ini lebih beragam. Mereka merupakan tenaga pengajar yang berusia relative muda dengan latar belakang religio-kultural abangan, santri, dan nasionalis. Latarbelakang organisasi kemahasiswaan juga beragam, yang terdiri dari eks-HMI, eks-GMNI, dan tenaga pengajar tanpa induk organisasi (kelompok ”putih”). Eksistensi kelompok ini sebagai respon terhadap struktur yang lebih banyak memberikan constraining (kendala) daripada memberikan enabling (peluang). Terhadap struktur yang constraining ini, kelompok ini mengembangkan komitmen untuk melakukan perubahan dan pengembangan ilmu pengetahuan. Perubahan dan pengembangan ilmu dijadikan basis legitimasi untuk membangun kelompok ini, seperti diteorikan oleh Jurgen Habermas. Kelompok ini praktis lahir dari produk negara Orba. Artinya, mereka memasuki pendidikan pada masa tahun 1970-an dan 1980-an. Masa-masa tersebut negara Orba sudah mempunyai bentuk dan memantapkannya. Ini bisa ditunjukkan dari proses depotilisasi PNS, praktis politik floating mass, dan pengasas-tunggalan organisasi massa dan organisasi politik. Pada kelompok mahaiswa selain mengalami proses-proses tersebut, negara Orba awalnya membubarkan KAMI/KAPI, lambang supremasi mahasiswa terhadap negara (Orde Lama). Kemudian, negara Orba mematahkan perlawanan mahasiswa dalam peristiwa Malari tahun 1974 dengan scenario demonstrasi membawa kerusuhan yang menghambat pembangunan. Tahun 1980-an, negara Orba melakukan apa yang diistilahkan NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus), organisasi-organisasi ekstra, di antaranya kelompok Cipayung, dilarang untuk terlibat dalam kegiatan kampus. Mahasiswa dilarang pula melakukan kegiatan-kegiatan politik praktis, kebebasan mimbar dibatasi. Akibatnya, selain terjadi protes terhadap program tersebut, mahasiswa tidak bisa lagi secara transparan ikut aktif di organisasi-organisasi ekstra. Proses kaderisasi pada organisasi-organisasi tersebut menjadi terhambat, keterlibatan mereka di kampus akhirnya hanya terbatas pada perebutan kursi-kursi di BPM dan Senat Mahasiswa Fakultas. Di pihak lain, perseteruan tersebut membuat image terhadap organisasi ekstra menjadi buruk dan melahirkan kelompok baru dalam mahasiswa, yaitu kelompok putih. Kondisi ini menyebabkan ikatan-ikatan mahasiswa terhadap organisasi-organisasi ekstra melemah. Lemahnya proses kaderisasi ditunjang oleh terputusnya hubungan antara organisasi ekstra dan partai-partai politik. Dengan kondisi organisasi-organisai mahasiswa pada negara Orba, tidaklah mengherankan bila kemudian mereka bisa bersatu menjadi kelompok “dosen muda”, meski dengan latar belakang ideology yang berbeda.
Item Type: | Thesis (Thesis) | ||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|
Uncontrolled Keywords: | Kaum Intelektual, Politik Aliran, Konflik Aliran, Orde Baru (Orba) | ||||||
Subjects: | J Political Science > JQ Political institutions Asia > 6651 Political institutions and public administration (Asia,Africa, Australia, Pacific Area, etc.) | ||||||
Divisions: | 09. Sekolah Pasca Sarjana > Ilmu Sosial | ||||||
Creators: |
|
||||||
Contributors: |
|
||||||
Depositing User: | Ika Rudianto | ||||||
Date Deposited: | 03 May 2020 03:46 | ||||||
Last Modified: | 03 May 2020 03:46 | ||||||
URI: | http://repository.unair.ac.id/id/eprint/94162 | ||||||
Sosial Share: | |||||||
Actions (login required)
View Item |