Rahma Sugihartati (2017) Merekonstruksi Subkultur-Narasi Humanis ###### Diturunkan atas permintaan Dekan surat nomor 3763/UN3.1.7/KP/2022##########. Jawa Pos.
Text (PEER REVIEW)
46_Hasil Nilai Karil Bu Rahma (46).pdf Restricted to Repository staff only Download (2MB) | Request a copy |
|
Text (KORAN)
46A_Merekonstruksi Subkultur-Narasi Humanis.pdf Restricted to Repository staff only Download (1MB) | Request a copy |
Abstract
TINDAK kekerasan dan aksi perpeloncoan adalah salah satu hal yang lazim terjadi di institusi pendidikan seperti Akademi Kepolisian (Akpol). Para siswa Akpol –yang setelah lulus bertugas sebagai bagian dari aparat penegak hukum yang harus selalu siap menghadapi ulah penjahat– sebenarnya wajar jika selama proses pendidikan digembleng dengan pembinaan fisik agar tahan pukul dan tahan banting. Namun, ketika pembinaan fisik yang dilakukan kebablasan dan melewati batas-batas yang bisa ditoleransi, yang terjadi kemudian sangat memprihatinkan. Seperti dilaporkan di media massa, Brigadir Dua Taruna (Brigdatar) Muhammad Adam dinyatakan tewas akibat luka di dua paru-parunya. Indikasinya jelas: ada sejumlah luka luar di bagian dada tengah, kiri, dan kanan yang merupakan pertanda bahwa korban meninggal karena dianiaya. Korban dinyatakan meninggal karena gagal napas dan kekurangan oksigen (Jawa Pos, 19 Mei 2017). Kasus yang terjadi di Akpol Semarang itu adalah tindak kekerasan yang kali kesekian terjadi di institusi pendidikan. Sebelumnya kasus serupa terjadi di berbagai sekolah kedinasan, SMA Taruna Nusantara, dan institusi pendidikan lain –yang semua menyebabkan adanya korban tewas karena dianiaya para senior. Inisiasi Di berbagai institusi pendidikan, atas nama ”program pembinaan” selama ini disinyalir masih kerap terjadi berbagai kasus tindak kekerasan yang dibungkus ritus perpeloncoan. Melakukan bullying, memelonco para junior atau adik kelas, dan lain sebagainya, adalah hal yang lazim terjadi di berbagai lembaga pendidikan meskipun jelas-jelas telah dilarang. Di lembaga pendidikan kedinasan dan sekolah-sekolah tertentu, melakukan perpeloncoan dan pembinaan dengan aksi kekerasan bahkan boleh dikata telah menjadi subkultur yang diwariskan dari angkatan ke angkatan berikutnya. Ada beberapa faktor yang menyebabkan kenapa tindak kekerasan dan penganiayaan masih terjadi di berbagai lembaga pendidikan. Pertama, karena di kalangan para siswa di berbagai sekolah kedinasan, perpeloncoan dianggap merupakan bagian dari proses inisiasi yang harus dilalui semua junior sebelum menggantikan posisi sebagai senior yang akan mengulang kembali apa yang mereka alami ketika menjadi junior. Bagi siswa yang tahan pukul dan sedang tidak bernasib sial, seberapa pun intensif pembinaan dan penganiayaan yang mereka alami, itu semua tidak akan menjadi masalah karena mereka mampu beradaptasi dengan situasi dan kondisi lingkungan. Tetapi, hal itu berbeda jika ada siswa yang secara fisik memiliki kelemahan dan tidak mampu beradaptasi dengan gaya pendidikan yang mereka jalani. Siswa yang tak mampu beradaptasi secara fisik-alamiah terhadap tekanan lingkungan sosialnya bukan tidak mungkin akan mengalami berbagai ancaman dan tindak kekerasan yang bertubi-tubi. Kedua, karena aksi kekerasan yang dilakukan berulang-ulang atau terus-menerus, kemungkinan pada satu titik tertentu akan berkembang menjadi subkultur yang diinternalisasi dan kemudian dipraktikkan para siswa. Dikatakan menjadi subkultur karena para siswa pada akhirnya telah menerima aksi kekerasan sebagai bagian dari proses belajar yang harus dilalui dan dijamin sustainability-nya. Praktik tindak kekerasan dan aksi perpeloncoan yang dilakukan para siswa senior, ketika berkembang menjadi konstruksi sosial yang dinternalisasi siswa lain, terutama siswa junior, menjadi mata rantai tindak kekerasan yang berlangsung di sekolah kedinasan sehingga tidak akan dapat dihentikan. Seorang siswa junior yang di sebuah tahun menjadi korban bullying dan korban penganiayaan para seniornya, maka ketika telah berganti status menjadi senior di tahun kedua atau ketiga, aksi yang sama pun tanpa sadar akan dipilih dan dilestarikan. Ketiga, tindak kekerasan yang telah ter-internalized dan kemudian diwariskan dari angkatan satu ke angkatan satu ke angkatan berikutnya. Pada akhirnya akan berkembang menjadi identitas sosial para anggota masyarakat yang menjadi bagian dari proses itu. Pada titik ini, tindak kekerasan yang biasanya dilakukan para senior sangat mungkin akan sulit dicegah. Sebab, apa yang mereka lakukan dipahami sebagai bagian dari identitas sosialnya. Bukannya merasa malu atau bersalah dengan tindak kekerasan yang dilakukan, para siswa yang terbiasa melakukan justru memperlakukan dan mendemonstrasikan perilaku mereka sebagai bagian dari cara mereka merepresentasikan dirinya. Meski tidak bisa digeneralisasi, tetapi cukup sering terjadi pelaku tindak kekerasan di sekolah justru menceritakan dengan bangga pengalaman dan tindakan yang mereka lakukan selama menjalani proses pendidikan. Pada titik ini, di mana para pelaku sudah masuk ke taraf bangga atas apa yang mereka lakukan, maka upaya untuk menghapus budaya kekerasan di sekolah kedinasan sungguh bukan hal yang mudah.
Item Type: | Article | ||||
---|---|---|---|---|---|
Uncontrolled Keywords: | subkultur, narasi humanis | ||||
Subjects: | K Law > K Law (General) | ||||
Divisions: | 07. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik > Ilmu Informasi dan Perpustakaan | ||||
Creators: |
|
||||
Depositing User: | Tn Slamet Triyono | ||||
Date Deposited: | 16 Dec 2020 05:18 | ||||
Last Modified: | 19 Jun 2022 15:35 | ||||
URI: | http://repository.unair.ac.id/id/eprint/101498 | ||||
Sosial Share: | |||||
Actions (login required)
View Item |