SYAMILATUL KHARIROH (2004) Faktor Resiko Gagal Konversi BTA Sputum Penderita TB Paru Setelah Program Pengobatan DOTS Fase Intensif Di RSU Dr. Soetomo Dan PB4 Karang Tembok Surabaya. Thesis thesis, UNIVERSITAS AIRLANGGA.
Text
HALAMAN JUDUL .pdf Download (918kB) |
|
Text
RINGKASAN .pdf Download (1MB) |
|
Text
DAFTAR ISI .pdf Download (937kB) |
|
Text
BAB I .pdf Download (1MB) |
|
Text
BAB 2 .pdf Download (2MB) |
|
Text
BAB 3 .pdf Download (868kB) |
|
Text
BAB 4 .pdf Download (1MB) |
|
Text
BAB 5 .pdf Download (1MB) |
|
Text
BAB 6 .pdf Download (2MB) |
|
Text
BAB 7 .pdf Download (908kB) |
|
Text
DAFTAR PUSTAKA .pdf Download (946kB) |
|
Text
LAMPIRAN .pdf Download (3MB) |
Abstract
luberkulosis Pant merupakan masalah Global, menurut laporan WHO seriap tahun 8,47 _luta penduduk dunia tennfeksi TB pant., 2 jute trieninggal. Di Indonesia jumlah penderita TB pare menduduki peringkat ketiga tcrbanyak di dunia.Tnjall puha] lima pawn TB pare terjadt pada usia produktif (15 49 tahun j, 60% adalaii penduduk Sejak tahun 1995 Indonesia mengadopsi strategi DOTS (Directly Observed fteaiment Short - course) dengan panduan Obat Anti Tuberculosis (OAT) jangka pendek setama 6 bulan dan Pengawas Menelan Obat (PMO). Indikator keberhasilan pcngobatan DOTS dinyatakan dengan konversi BTA sputtnn pada akhir pengobatan intensif lebih dari 80% (Iasi angka keseaaathan pada akhir pengobatan lebih dari 85% dengan angka kesalahan laborat kurang dan S %. Data penderita TB pant dari Dinar Kesehatan Kota Surabaya pada tahun 2000 angka konversi setelah pengobatan fase intensif 85%, angka kesembuhan 57,1%, dan pada tahun 2001 angka konversi setelah pengobatan fase intensif 51,9%, angka kesembuhan tebih dari 85°la sehingga rata-rata angka konversi penderita TB part setelah pengobatan time intensif di Wilayah Dimas Kesehatan Kota Surabaya masili di bawah standart yang ditetapkan. Konversi sputum BTA penderita TB parer sangat ditentukan oleh faktor penderita TB part], petugas kescbatan dan lingkungan penderita. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh kepatulian berobat, status gizi, asupan makanan yang seimbang, adanya penyakit penyerta, kebiasaan merokok, kebiasaan tidur, pengetahuan tentang penyakit TB pant, jumlah BTA dalam dahak serta pecan keluarga sebagai pengawas menelan obat terhadap tcrjadinya gagal konversi setelah menjalani program pengobatan lase intensif di RS1f, Dr.Soetomo Surabaya dan BP4 Karang Tembok Surabaya_ Ratteangan penelitian min mengguna.kan Case Control Study, sebagai kasus adalah penderita TB pant kategori I setelah pengobatan DOTS Else intensif tidak terjadi konversi BTA pada sputum penderita TB pant sejumlah 33 responden dan sebagai kontrol adalah penderita TB pant kategori 1 setelah pengobatan DOTS fase intensif terjadi konversi BTA pada sputum penderita TB pare sejumlah 33 responden. Pengurnpulan data dilakukan wawancara dengan menggunakan kuesioner data dianalisis secara diskriptif dan analisis regresi Iogistik ganda dengan tingkat signifikansi 0,05. basil penelitian mentmjukkan babwa status gizi penderita. jenis makanan yang dikonsumsi dan penyakit penyerta mentpakan faktor risiko terjadinya gagal konversi BTA sputum penderita TB pare setelah pengobatan DOTS fase intensif dengan p 0,05. Penderita TB part dengan status g i kurus (BMI 17 -18,5) akan berisiko terjadi gagal konversi 8.861 kali lebih besar dari pada penderita TB pant dengan status gizi normal (BMI > 18,5 - 25,0) dan penderita TB pant dengan status gizi kurus sekali (B i1 < 17) akan berisiko terjadi gagal konversi 30.918 kali lc:bill besar dari pada penderita TB paru dengan status gizt normal (BM1 > 18,5 - 25,0). Pendevita TB paru dengan jenis makanan kurang (2 - 3 jails makanan) akan berisiko terjadi gagal konversi 11.184 kali lebih besar dari pada pendevita TB part' dengan jenis mama baik ( 5 jenis tuakanan). Penderita TB paru dengan penyakit penyerta (DM., Asma, Typhoid) akan berisiko terjadi gagal konversi 5.866 kali lcbih besar dari pada penderita TB paru tidak ada penyakit penyerta. Probabilitas gagal konversi sputum BTA pada pendaita TB pant dengan status gizi kurus (BMJ 17.0 — 18.5), jenis makanan kurang (2 — 3 jenis makanan) dan adanya penyakit penyerta sebesar 53%. Sedangkan probabilitas gagal konversi pada penderita TB paru tanpa disertai satus gizi kurus, jenis makanan kurang dan tidak adanya penyakit penyerta sebesar 42%. Berdasarkan basil penelitian di etas, peningkatan dan perbalkan status gizi destgan memberikan asupan makanan yang seimbang pada penderita TB part' yang sedang menjalani pengobatan DOTS merupakan faktor penentu keberhasilan konversi sputum BTA penderita TB paru. Deteksi dini pada pencluita TB pant terhadap adanya penyakit penyerta merupakan salah satu upaya untuk mencegah bertambah bcratnya penyakit yang dialami olch penderita TB pull yang akan berdampak terjadirtya gagal konversi..
Item Type: | Thesis (Thesis) | |||||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
Additional Information: | - | |||||||||
Uncontrolled Keywords: | TB Paru, Pengobatan DOTS | |||||||||
Subjects: | R Medicine > RA Public aspects of medicine > RA1-1270 Public aspects of medicine > RA421-790.95 Public health. Hygiene. Preventive medicine | |||||||||
Divisions: | 09. Sekolah Pasca Sarjana > Ilmu Kesehatan Masyarakat | |||||||||
Creators: |
|
|||||||||
Contributors: |
|
|||||||||
Depositing User: | S.Sos. Sukma Kartikasari | |||||||||
Date Deposited: | 06 Apr 2023 00:43 | |||||||||
Last Modified: | 06 Apr 2023 00:43 | |||||||||
URI: | http://repository.unair.ac.id/id/eprint/122316 | |||||||||
Sosial Share: | ||||||||||
Actions (login required)
View Item |