ISMED S.H., 090210105
(2006)
PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL.
Thesis thesis, UNIVERSITAS AIRLANGGA.
Abstract
a. Perselisihan perburuhan dapat berakhir pada pemutusan hubungan kerja. Perselisihan perburuhan diharuskan secara bipartit dan jika penyelesaian tidak membawa hasil, maka penyelesaian melibatkan unsur pemerintah dalam hal ini Dinas Tenaga Kerja secara tripartit. Jika tidak membawa hasil diajukan secara tertulis pada Panitia Penyelesaian Perburuhan Daerah dan dibanding pada Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat. Hal ini berbeda jika diakhiri dengan pemutusan hubungan kerja, maka jika perseorangan, instansi yang berkompeten adalah Panitia Penyelesaian Perselisihan Daerah dan jika secara massal yang berkompeten adalah Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat. Diundangkannya UU No. 2 Tahun 2004 dimaksudkan mencabut ketentuan yang diatur dalam UU No. 22 Tahun 1957 dan perwujudan dari ketentuan pasal 155 ayat (4) UU No. 13 Tahun 2003 dengan dibentuknya beberapa lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial baik penyelesaian secara non litigasi maupun secara litigasi. Namun meskipun UU No. 2 Tahun 2004 telah diundangkan dan diberlakukan tanggal 16 Januari 2006, lembaga yang dimaksud belum terbentuk, sehingga belum jelas penanganannya.
b. Mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial menurut UU No. 2 Tahun 2004 selain lebih singkat juga lebih mengarah pada penyelesaian secara non litigasi. Selain itu dengan melibatkan banyak lembaga yang dapat menyelesaikan masalah perselisihan hubungan industrial, akan memberikan banyak pilihan baik pengusaha maupun pekerja untuk memilih lembaga yang dirasa sangat kompeten dan adil dalam memberikan suatu putusan.
Actions (login required)
|
View Item |