YAN ASWARI, 030710195
(2011)
PENJATUHAN SANKSI PIDANA MATI TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI TERKAIT DENGAN HAK ASASI MANUSIA.
Skripsi thesis, UNIVERSITAS AIRLANGGA.
Abstract
Pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia selama ini belum pernah ada
satu pun kasus yang dijatuhi sanksi pidana mati. Padahal korupsi di Indonesia saat
ini telah sedemikian menggurita, akut, dan sistemik. Keberadaan sanksi pidana
yang tegas dan keras memiliki peran yang sangat penting dalam proses
pemberantasan korupsi. Di dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 junto
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemeberantasan Tindak Pidana
Korupsi atau yang disebut UU PTPK sebenarnya sudah ada ruang yuridis yang
dapat digunakan untuk memberikan sanksi pidana mati terhadap pelaku tindak
pidana korupsi yaitu di Pasal 2 ayat (2) UU PTPK yang merumuskan bahwa
“dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan
dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.” Namun hingga detik ini
dalam pelaksanaanya belum pernah ada satu pun putusan pengadilan di Indonesia
yang berani menggunakan pasal ini. Bila ditelusur lebih jauh, selain dikarenakan
faktor keberanian dari aparat penegak hukumnya dan harus terpenuhinya terlebih
dahulu unsur-unsur yang terdapat di rumusan Pasal 2 ayat (1) UU PTPK, ternyata
masalah terpentingnya dalam penerapan pasal ini adalah terletak pada penafsiran
frasa “dalam keadaan tertentu”. Pada penjelasan disebutkan yang dimaksud dalam
keadaan tertentu dalam pasal tersebut adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan
pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi, apabila tindak pidana itu
dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukan bagi penanggulangan keadaan
bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang
meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, serta pengulangan tindak
pidana korupsi. Penjelasan tersebut dirasa kurang mendetail sehingga diperlukan
pembahasan yang mendalam terkait frasa “dalam keadaan tertentu” tersebut. Di
samping itu, untuk menjatuhkan sanksi pidana mati tidaklah mudah karena masih
ada perdebatan karena tidak semua masyarakat sepakat dengan sanksi terberat ini,
mereka berdalih bahwa penjatuhan sanksi pidana mati dianggap melanggar hakhak
kemanusian. Persoalan akan perlindungan HAM, khususnya perlindungan hak
untuk hidup, selama ini menjadi batu sandungan yang terbesar ketika akan
menjatuhkan sanksi pidana mati untuk pelaku tindak pidana korupsi. Alasan
utama pihak yang kontra terhadap adanya penjatuhan sanksi pidana mati adalah
merasa bahwa hak hidup merupakan hak mutlak yang tidak dapat dicabut oleh
siapapun kecuali Tuhan dan dilindungi hak tersebut oleh UUD 1945 Pasal 28 I
ayat (1). Meskipun hak hidup telah dijamin oleh konstitusi, namun konstitusi
Indonesia tidaklah menganut asas kemutlakan HAM, hal ini dapat dilihat dari
ketentuan Pasal 28 J ayat (2) UUD 1945 sebagai pasal penutup bab tentang HAM.
Dengan ditempatkannya pasal ini sebagai pasal penutup berarti telah memberi
tafsir secara sistematis bahwa Pasal 28 A hingga Pasal 28 I UUD 1945 yang
mendahuluinya tunduk pada ketentuan pembatasan HAM yang dimuat dalam
Pasal 28 J UUD 1945. Dengan demikian, penjatuhan sanksi pidana mati untuk
pelaku tindak pidana korupsi yang selama ini terhalangi oleh persoalan HAM,
khususnya hak hidup, dapat ditegakkan.
Actions (login required)
|
View Item |