Nurhayati, Aniek, NIM. 099712738 M (2008) KONSTRUKSI GENDER PADA AKTIVIS PEREMPUAN BERLATAR BELAKANG PESANTREN. Thesis thesis, UNIVERSITAS AIRLANGGA.
|
Text (ABSTRAK)
gdlhub-gdl-s2-2006-nurhayatia-647-ts0404-k.pdf Download (233kB) | Preview |
|
Text (FULL TEXT)
gdlhub-gdl-s2-2006-nurhayatia.pdf Restricted to Registered users only Download (1MB) | Request a copy |
Abstract
Pesantren selama ini diidentikkan sebagai kultur yang sangat paternalistik dengan dominasi kyai sebagai otoritas tunggal dan teks-teks fiqih yang bias gender. Fenomena maraknya halaqah tentang gender tidak luput dart alumni-alumni pesantren yang menjadi aktivis perempuan, meskipun mereka yang menjadi aktivis perempuan tidak selalu berkecimpung di pesantren. Perempuan pesantren yang peduli terhadap kesetaraan gender dan menjadi subyek penelitian ini, menjadi seperti sekarang melalui proses. Salah satu proses itu tentunya adalah di pesantren. Untuk itu penelitian ini ingin mengetahui konstruksi mereka di pesantren dan proses yang membentuk mereka menjadi aktivis perempuan. Berdasarkan pembahasan atau analisis yang telah dilakukan dapat disimpulkan sebagai berikut; Pertama, subyek penelitian mengalami pengalaman yang menempatkan perempuan pada posisi subordinat, meskipun dengan tingkatan yang berbeda. Pada umumnya keresahan itu berkaitan dengan teks-teks yang 126 bias gender. Kecuali pada keluarga yang memberi cukup kebebasan seperti Badriyah dan Ruhaini, realitas lingkungan keluarga yang patriarkhi juga menimbulkan keresahan pada tiga subyek penelitian yang lain. Tidak dipungkiri bahwa kyai, sistem dan kitab di pesantren merupakan akar dari kuatnya tradisi patriarkhi disana. Kyai memberi kontribusi sebagai otoritas tunggal yang menentukan sistem dan penathiran kitab. Sementara sistem memberi kontribusi karena pelajaran kitab tidak ditujukan untuk dikaji tetapi dianggap sebagai kebenaran yang mutlak. Sedangkan kitab terutama teks-teks yang bias gender memberi kontribusi yang kuat karena kitab tersebut dianggap memiliki kebenaran mutlak dan karenanya tidak perlu dikaji. Ini merupakan tali temali yang saling mendukung satu sama lain. Namun, meminjam teori simbolik yang percaya bahwa manusia memiliki subyektifitas yang kuat maka suatu kultur tidak selalu memiliki dampak yang sama pada setiap individu. Ini dapat dilihat pada lima subyek penelitian, yang rata-rata memiliki keresahan dengan teks-teks maupun realitas di pesantren. Meskipun pada banyak perempuan yang lain, sebagaimana juga terlihat dalam kajian penelitian terdahulu, mereka menerima begitu saja "kodrat" yang digariskan oleh tradisi dan teks-teks tersebut. Kedua, ada beberapa hal yang mendorong perempuan pesantren menjadi aktivis perempuan. Ada yang bermula dari keresahan yang dialami 127 dipesantren, diteruskan pada waktu kuliah, dan mendapatkan jawaban melalui wacana yang ditekuninya. Ada yang gelisah melihat realitas keterkungkungan perempuan, ini terutama dari keluarga pesantren. Mereka mendapatkan jawaban diluar pesantren, melihat kebebasan perempuan dan juga menggumuli wacana tentang gender. Ada yang memberontak terhadap kultur patriarkhi di keluarganya, dan mendapat jawaban melalui aktivitas organisasi yang tinggi dan training tentang gender. Sementara itu satu subyek penelitian mengalami keadaan yang datar-datar saja dan pengalaman peduli kesetaraan gender yang didapatkan ketika banyak mengkaji tafsir hadits yang bias gender dan menggantinya dengan hadits dari Aisyah yang egaliter. Adapun konstruksi mental yang terjadi pada saat bertemu dengan isu kesetaraan gender tidak terlihat emosional, kecuali dalam salah satu kasus subyek penelitian yang melakukan pemberontakan-pemberontakan yang cukup kotroversial. Lainnya bervariasi antara kelegaan mereka karena mendapatkan jawaban atas keresahan yang selama ini dialami sampai kesadaran bahwa menjadi perempuan pada kenyataannya tidak hams dikekang. Ketiga, bahwa saat ini ada keterbukaan dari pesantren terhadap masuknya isu kesetaraan gender dikaji melalui halaqah-halaqah. Didukung oleh media, masyarakat melihat pesantren telah menerima kesetaraan gender. Berdasarkan deskripsi data yang diungkapkan oleh subyek penelitian, 128 terungkap bahwa realitas itu hanya ilusi. Dalam perspektif postmodern, realitas itu adalah hiper, hiper-realitas. Pada masa sekarang memang masyarakat dituntut untuk melakukan keterbukaan terhadap wacana yang berkembang. Tapi masa yang mayoritas diam ini hanya memamah biak wacana-wacana tersebut, tanpa merefleksikan dalam kehidupan nyata. Sehingga, ilusi terlihat seperti realitas yang sesungguhnya atau hiper-realitas. Perbandingan dengan Penelitian Terdahulu Penelitian terdahulu tentang perempuan pesantren mengambil lokasi di pesantren, artinya melihat dari dekat santri-santri perempuan. Penelitian tersebut adalah konstruksi gender perempuan di pesantren, orientasi pendidikan santri perempuan, dan orientasi santri setelah di pesantren. Semua hash penelitian itu memberi kesimpulan yang umum bahwa santri putri tidak memiliki kedalaman ilmu agama, di pesantren hanya menunggu jodoh, dan orientasi mereka semata nantinya mengabdi pada suami. Perkecualianperkecualian yang terjadi pada santri perempuan akhirnya tidak terlihat. Penelitian ini ingin melihat adanya perkecualian itu, dengan memilih perempuan pesantren yang peduli terhadap kesetaraan gender. Mengingat temanya, maka subyek tersebut haruslah yang memiliki pengalaman memperjuangkan kesetaraan gender. Karenanya. kemudian dipilih bahwa 129 pesantren adalah menjadi bagian dari latar belang mereka, baik keluarga maupun pendidikan. Dengan demikian tidak dilihat apakah mereka saat ini berkecimpung di pesantren atau tidak. Dengan demikian ini merupakan kontribusi ilmiah dari peneliti untuk meneropong kehidupan dan pengalaman perempuan pesentren yang saat ini bisa dikatakan menjadi aktivis perempuan. Kontnbusi praktis diharapkan penelitian ipi dapat dilanjutjcan untuk menutupi kekurangan dari penelitian ini atau yang terlewatkan. Implikasi Hasil Penelitian Secara teoritis penelitian ini memberi implikasi bahwa konstruksi gender dalam suatu komunitas yang disosialisasikan dan dipelajari oleh anggota masyarakat tidak selalu mengha-silkan sebagaimana yang dimaksudkan. Manusia adalah subyek yang otonom yang memiliki otoritas dalam melakukan tindakan sesuai dengan interaksi yang dilakukannya. Karenanya, bisa sangat mungkin bahwa kesadaran pada kesetaraan gender lahir dari kultur yang justru menekan Implikasi teoritis yang lain adalah perlunya kajian bahwa apakah ramainya isu kesetaraan gender deakukan dengan berbagai macam cara, seperti training, seminar, media, dan lain-la innya diretleksikan pleb penerimanya 130 dalam kehidupan nyata. Jika tidak, maka ini merupakan hiper-realitas semata, sebagaimana hal ini juga tampak pada maraknya halaqah gender di pesantren. Implikasi praktis, diharapkan penelitian ini membuka wawasan barn, terutama untuk peminat studi ilmu sosial, khususnya studi gender. Diharapkan pula - bila tidak berlebi-han - bahwa penelitian ini dapat menjadi pertimbangan bagi aktivis perempuan yang bergerak untuk penyadaran gender, khususnya di pesantren.
Item Type: | Thesis (Thesis) | ||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|
Additional Information: | TS 04/04 Nur k | ||||||
Subjects: | B Philosophy. Psychology. Religion > BP Islam. Bahaism. Theosophy, etc > BP174-190 The practice of Islam H Social Sciences > HQ The family. Marriage. Woman > HQ1-2044 The Family. Marriage. Women > HQ1101-2030.7 Women. Feminism |
||||||
Divisions: | 09. Sekolah Pasca Sarjana > Ilmu ilmu Sosial | ||||||
Creators: |
|
||||||
Contributors: |
|
||||||
Depositing User: | Sulistiorini | ||||||
Date Deposited: | 10 Mar 2006 12:00 | ||||||
Last Modified: | 10 Aug 2017 18:26 | ||||||
URI: | http://repository.unair.ac.id/id/eprint/28653 | ||||||
Sosial Share: | |||||||
Actions (login required)
View Item |