Kris Nugroho
(2003)
REFORMASI PERBURUHAN MELALUI UU NO. 21 TAHUN 2000 TENTANG PERBURUHAN/PEKERJA DAN DAMPAKNYA TERHADAP PETA AFILIASI POLITIK PEKERJA DI SURABAYA.
Other thesis, UNIVERSITAS AIRLANGGA.
Abstract
Perubahan peta politik nasional sebagai hasil reformasi politik selain ditandai dengan berdirinya juga diramaikan dirikannya serikat-serikat kerja/buruh baik di tingkat nasional maupun lokal. Banyaknya serikat kerja/buruh yang dideklarasikan di era reformasi ini juga direspon secara positif oleh pemerintah dengan disahkannya Undang-Undang No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Kerja Buruh dimana dalam salah satu pasalnya dijamin adanya kebebasan untuk mendirikan serikat kerja buruh.
Dengan demikian fokus penelitian menjawab permasalahan aktual menyangkut serikat kerja/buruh di Surabaya yaitu (1) Faktor-faktor sosial dan politik yang mendorong berdirinya serikat-serikat kerja/buruh ; (2) Arah afilisasi dan warna ideologi politik serikat-serikat kerja/buruh ; (3) Mendeskripsikan bagaimana serikat-serikat kerja/buruh menjalin kerja sama guna memperkuat dan mendesakkan kepentingan mereka.
Jawaban atas permasalahan pertarna adalah menjamurnya serikat kerja/buruh di Surabaya merupakan konsekuensi politik atas iklim kebebasan berserikat melalui UU No. 21 Th. 2000 tentang serikat kerja/buruh. Oleh para pekereja dan aktivis pekerja adanya serikat kerja/buruh dianggap sebagai saluran aspirasi pekerja/buruh untuk memperkuat posisi tawar-menawar pekerja/buruh dengan pengusaha dalam rangka mempengaruhi adanya kenaikkan upah kerja, kondisi kerja dan memperjuangkan isu-isu hak-hak insentif lainnya. Kalau hak-hak pekerja/buruh yang di masa lalu diabaikan, di era reformasi perburuhan saat ini mendapat perhatian penuh untuk diwujudkan. Para pekerja/buruh makin kritis berkat adanya serikat-serikat kerja/ buruh di masing-masing unit industri yang ada. Adanya kekebasan dan jaminan dalam menyalurkan hak-hak sosial dan politik tersebut membuat pekerja dan aktivis pekerja semakin transparan menyoroti persoalan-persoalan esensial yang menjadi hak-hak mereka, baik yang dilakukan lewat aksi demonstrasi atau mogok kerja agar tuntutan mereka dipenuhi oleh pengusaha. Delapan pimpinan/pengurus serikat kerja/buruh mewakili Serikat Buruh Rakyat, Fron Nasional Perjuangan Buruh Indonesia, Serikat Pekerja Seluruh Indonesia dan Sarbumusi yang dijadikan respon- den melalui metode purposive menyatakan bahwa iklim kebebasan era reformasi politik menjamin mereka untuk mendirikan asosiasi serikat kerja.
Sedangkan menyangkut pandangan secara umum tentang misi perjuangan mereka, umumnya serikat kerja/buruh memiliki pandangan relatif sama , yaitu upaya memperjuangkan kesejahtaraan ekonomi buruh dan menegakkan hak-hak pekerja/buruh yang dirnasa Orba diabaikan. Namun dalam wacana ide-ide politik yang lebih spesifik, terdapat perbedaan-perbedaan cukup signifikan. Dua serikat kerja/buruh memiliki pandangan yang bercorak sosial demokrat, seperti SBR dan FNPBI yang umumnya dirintis dan dipelopori oleh para aktivis LSM dan mahasiswa. Ide-ide besar mereka berkisar pada proses untuk mewujudkan ide-ide demokrasi sosial. Perjuangan untuk mendapatkan hak-hak buruh dikaitkan dengan wacana sistem politik yang demokratis. Ide ini rnengimplikasikan bahwa upah pekerja/buruh adalah sebagian kecil dari suatu proses kebijaksanaan publik pemerintah. Kalau pemerintah menjunjung nilai-nilai demokrasi sosial, maka akan muncul kebijaksana- an perburuhan yang memperhatikan kepentingan-kepentingan pekerja/buruh sebagai bagian untuk mewujudkan kesejahteraan sosial dan ekonomi pekerja/buruh. Kedua serikat kerja ini secara tajam menyoroti kapitalisrne dan konsentrasi kekayaan yang dianggap merugikan rakyat kecil (pekerja/buruh).
Sedangkan SPSI dan Sarburnusi lebih pragmatis. SPSI merupakan warisan serikat kerja yang menjadi salah satu instrumen pendukung pemerintah Orba. SPSI hadir sebagai representasi dan kaki tangan penguasa Orba dalam rangka untuk menjinak- kan suara buruh agar tidak kritis dan menentang kebijakan-kebijakan perburuhan Orba yang represif dan merugikan hak-hak sosial, ekonomi dan politik buruh. SPSI mewakili campur tangan pemerintah Orba yang korporatis, yaitu menjadikan SPSI sebagai satu-satunya saluran wadah buruh. Karena itu hadirnya SPSI saat ini bisa dipahami posisinya jauh lebih lunak dan tidak terlalu agresif atau radikal dalam memperjuangkan nasib pekerja/buruh dibanding SBR dan FNPBI. Kalau SPSI warisan Orba, maka Sarbumusi merupakan serikat kerja/buruh yang berafiliasi ke NU. Asas berubah dari Islam (1952) ke Pancasila (era Orba). Selama Orba Sarbumusi memilih non aktif walau pun mereka tidak rnenyatakan bubar. Hal ini sebagai konsekuensi dominasi SPSI sebagai satu-satunya serikat kerja/buruh yang dianggap sah oleh Orba. Saat ini, ide-ide perjuangan Sarbumusi adalah emperjuang- kan kesejahteraan pekerja/buruh lewat cara-cara musyawarah mufakat, yaitu perundingan (negosiasi) dengan pengusaha/pemerintah. Model pemogokan atau demonstrasi pekerja/buruh dianggap kurang tepat karena hanya akan merugikan pekerja/buruh sendiri.
Berdasarkan hasil penelitian ini disarankan adanya penelitian yang sifatnya memban- dingkan ide-ide perjuangan serikat kerja/buruh yang ada di Surabaya dengan di kota- kota industri lainnya guna menyusun base line data menyangkut peta ide-ide politik perjuangan pekerja/buruh. Dengan demikian akan diketahui lebih jauh tentang ciri- ciri dan karakteristik khas serta latar belakang sistem nilai politik serikat-serikat kerja/buruh yang menjadi landasan perjuangan mereka dalam membela kaum pekerja/buruh.
Actions (login required)
|
View Item |