SANARTO SANTOSO, 099813102 D
(2002)
PROTEIN ADHESIN SALMONELLA TYPHI SEBAGAI FAKTOR VIRULENSI BERPOTENSI IMUNOGENIKPADA PRODUKSI S-IgA PROTEKTIF : PENELITIAN EKSPERIMENTAL LABORATORIS.
Disertasi thesis, UNIVERSITAS AIRLANGGA.
Abstract
Demam tifoid sebagai penyakit sistemik yang disebabkan oleh Salmonella typhi sampai sekarang masih merupakan problem kesehatan, utamanya di negara-negara yang sedang berkembang, karena tingginya urbanisasi, kontaminasi suplai air, adanya strainstrain yang resisten terhadap antibiotika, lambatnya diagnosa, dan belum adanya vaksin yang benar-benar efektif (pang et al.,1992). Vaksin untuk demam tifoid yang beredar di pasaran saat ini ada dua macam, pertama ialah Ty21a suatu oral attenuated vaccine dan yang kedua adalah parenteral purified Vi polysaccharide. Tampaknya vaksin untuk demam tifoid memang perlu dikembangkan lebih lanjut mengingat efikasi yang diberikan kedua vaksin ini masih sekitar 65 - 70%. Namun untuk pengembangan vaksin ini perlu penelitian yang mendalam tentang imunogenisitas faktor-faktor virulensi bakteri, genetik dan patogenesis timbulnya penyakit infeksi khususnya demam tifoid. Sehubungan dengan hal tersebut peneliti mencoba melakukan penelitian tentang protein adhesin Salmonella typhi sebagai faktor virulensi untuk terjadinya adhesi dan kolonisasi, dan kemungkinannya untuk digunakan sebagai kandidat vaksin oral yang protektif. Seperti telah diketahui bahwa Salmonella typhi memiliki protein adhesin type-] fimbriae seperti pada Salmonella typhimurium, namun peranannya pada virulensi tidak jelas (Lockman and Curtiss, 1992). Maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk membuktikan adanya protein adhesin baru selain type-] fimbriae pada Salmonella typhi serta mengungkap pengaruh protein adhesin tersebut, sebagai faktor virulensi yang berpotensi imunogenik untuk inembentuk S-IgA protektif guna menghambat proses adhesi dan kolonisasi sehingga tahap awal infeksinya dapat dicegah. Penelitian yang dilakukan adalah studi Eksperimental laboratorium dengan 4 tahap penelitian : tahap I adalah Uji Hemaglutinasi dan SDS-P AGE, tahap II Uji Adhesi Protein Hemaglutinin, tahap III Uji Imunogenisitas Protein Adhesin dan tahap IV adalah Uji Protektivitas Protein Adhesin In vivo. Sebagai sampel penelitian adalah bakteri Salmonella typhi yang diisolasi dari darah satu penderita demam tifoid yang dirawat di RSUD Saiful Anwar malang dengan nomor register D5654, yang identifikasinya menggunakan microbact system. Sebelumnya tidak diketahui secara pasti bahwa Salmonella typhi memiliki protein adhesin selain type-] fimbriae. Untuk membuktikan hal itu dilakukan Uji Hemaglutinasi dan SDS-P AGE dari fraksi fimbriae dan fraksi OMP. Uji Hemaglutinasi bertujuan untuk mendapatkan protein hemaglutinin; karena pada umumnya protein hemaglutinin juga merupakan protein adhesin. Seperti diketahui bahwa pada beberapa patogen intestinal termasuk Vibrio cholerae, terdapat korelasi positif antara sifat kemampuan hemaglutinasi dengan kemampuan adhesi pada mukosa intestinal (Alam et al.,1996). Dari Uji Hemaglutinasi fraksi Fimbriae dan fraksi OMP Salmonella typhi dengan eritrosit marmut diperoleh titer 1/64 untuk fraksi Fimbriae dan titer 1/128 untuk fraksi OMP. Indikator yang menunjukkan adanya protein hemaglutinin adalah berpindahnya pita protein pada hemaglutinat OMP dan hemaglutinat Fimbriae, yang keduanya pada posisi berat molekul sekitar 36 IDa pada SDS-P AGE. Selanjutnya diperoleh protein hemaglutinin Fimbriae yang kemudian disebut protein HA-F36 dan protein hemaglutinin OMP yang kemudian disebut protein HA-O36. Apabila dilihat dari karakterisasinya terhadap berbagai jenis eritrosit, temyata baik protein HA-F36 maupun protein HA-036 memberikan hasil hemaglutinasi positif dengan eritrosit manusia golongan darah 0, eritrosit marmut dan eritrosit mencit. Diduga manusia golongan darah 0 lebih rentan terhadap infeksi Salmonella typhi bila dikaitkan dengan kemarnpuan hemaglutinasi dan adhesi protein HA-F36 dan protein HA-036, namum masih perlu penelitian lebih lanjut. Meskipun kedua protein HA-F36 dan HA-O36 memiliki berat molekul kurang lebih sama dan masing-masing juga sensitif terhadap D-mannose, namun pada perlakuan suhu kamar keduanya berbeda, protein HA-036 pada posisi BM sekitar 74 kDa, sedangkan protein HA-F36 tetap di sekitar 36 kDa. Dengan demikian perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang rangkaian asam amino yang menyusun kedua protein tersebut. Karena protein HA-F36 dapat mengaglutinasikan eritrosit marmut dan sensitif terhadap D-mannose maka dapat digolongkan dalam type-1 fimbriae. Setelah ditemukan adanya protein HA-F36 dan HA-036, selanjutnya dilakukan Uji Adhesi untuk membuktikan bahwa kedua protein hemaglutinin tersebut adalah protein adhesin. Seperti diketahui bahwa tahap awal suatu infeksi dimulai dari interaksi protein spesifik pada permukaan mikroba ( adhesins ) dengan reseptor yang pada umumnya merupakan rantai karbohidrat dari glikokonjugat pada sel hospes (Rostand and Esko, 1997). Pada penelitian ini terdapat 6 perlakuan dosis ( 0 f.1g, 25 f.1g, 50 f.1g, 100 f.1g, 200 Ilg, dan 400 f.1g) daTi protein HA-F36 dan HA-036 pada enterosit mencit Balb/c dan diuji menggunakan Completely Randomized Design. Dari Anova baik pada protein HA-F36 maupun pada protein HA-036 menunjukkan bahwa perlakuan dosis berpengaruh sangat bermakna terhadap indeks adhesi (p=O.OOI), dimana dengan makin meningkatnya dosis makin rendah indeks adhesinya. Selain itu terdapat pengaruh yang bermakna dan hubuungan yang erat dari perlakuan dosis protein HA-F36 dan protein HA-036 terhadap nilai indeks adhesi yang masing-masing secara berurutan ditunjukkan dengan koefisien korelasi Pearson sebesar - 0.733 dengan p= 0.001 dan - 0.830 dengan p = 0.001. Dengan demikian maka terbukti bahwa protein HA-F36 dan HA-036 masing-masing berperan sebagai protein adhesin dan selanjutnya disebut sebagai protein adhesin F36 (AdhF36) dan protein adhesin 036 (Adh036). Apabila dilakukan Anova gabungan pengaruh dosis protein HA-F36 dan protein HA-036 terhadap nilai indeks adhesi temyata terdapat perbedaan sangat bermakna antara protein HA-F36 dengan protein HA-036 (p = 0.001). Karena rerata indeks adhesi protein HA-F36 lebih rendah dari rerata indeks adhesi protein HA-036 maka dapat dikatakan bahwa protein adhesin F36 (AdhF36) lebih mampu mengharnbat adhesi dari pada protein adhesin 036 (Adh036). Dari basil rekaman foto tampak bahwa pola adhesi Salmonella typhi mengikuti pola adhesi E.coli ada yang seperti ripe diffuse ada juga yang seperti tipe localized, tetapi ripe aggregative tidak dijumpai. Selain itu pada Uji Adhesi Salmonella typhi ini juga dijumpai bentukan tonjolan sel enterosit yang menyerupai membrane ruffling seperti yang terj adi pada Salmonella typhimurium. Selanjutnya, untuk mengetahui potensi imooogenik dari kedua protein tersebut, dilakukan Uji Imooogenisitas bertujuan untuk membuktikan bahwa protein AdhF36 dan protein Adh036 mampu membangkitkan respon imun humoral apabila diberikan secara par enteral. Dosis protein yang diberikan 100 f.1g (Harlow and Lane,1988) dengan ajuvan Freund komplit dan inkomplit yang disuntikkan secara intraperitoneal kepada mencit Balb/c. Hasil yang diamati adalah antibodi akibat respons imun humoral sistemik sekunder, melalui Uji Hambat Hemaglutinasi dan pemeriksaan IgA dan IgG serum dengan metode ELISA. Dari Uji Hambat Hemaglutinasi protein AdhF36 dan protein AdhO36 menunjukkan bahwa antibodi poliklonal yang terbentuk mampu menghambat hemaglutinasi dengan titer 1/8 dan 1/16 secara berurutan, sekaligus membuktikan bahwa kedua protein tersebut berpotensi imunogenik untuk membentuk respon imun humoral sehingga layak disebut sebagai imunogen. Dari basil paired t-test antara IgA dan IgG dengan metode ELISA menunjukkan bahwa pada perlakuan AdhF36 kadar IgA lebih tinggi dari pada kadar IgG (p = 0.009) sedangkan pada perlakuan AdhO36 kadar IgA daD kadar IgG tidak berbeda bermakna (p = 0.351). Protein AdhF36 tampaknya lebih mampu menginduksi IgA dari pada IgG dalam serum mencit, sedangkan produksi IgA daD IgG kurang lebih sama pada perlakuan protein AdhO36. Hal ini tidak dapat dijelaskan dengan teori yang ada, dimana pada umumnya respons imun sekunder didominasi oleh IgG (Feldmann, 1998); dan secara teoritik apabila telah terjadi isotype switching ke IgG, maka 11-4 yang memicunya akan menekan terjadinya isotipe yang lain (Lydyard and Grossi, 1998). Pada manusia konsentrasi IgG dalam serum lebih kurang 1000 mgldL, sedangkan IgA serum 200 mgldL. IgG merupakan 75% dari total serum immunoglobulin pada dewasa normal dan merupakan antibodi yang paling banyak diproduksi selama respon imun humoral sekunder (Turner, 1998). Pada Anova untuk mengetahui pengaruh perlakuan protein AdhF36 dan AdhO36 masing-masing terhadap kadar IgA dan IgG, tampak bahwa kedua protein tersebut berpengaruh sangat bermakna (p = 0.001). Dengan demikian menunjukkan bahwa baik protein AdhF36 maupun protein AdhO36 merupakan imunogen yang paten untuk membangkitkan respon imun humoral. Diduga tingginya kadar IgA dalam serum merupakan indikator bahwa imunogen yang merangsang adalah imunogen mukosal. Sehubungan dengan hal ini diajukan 2 konsep teori, yang pertama akibat rangsangan 1 epitop, yang kedua akibat rangsangan 2 epitop dan pada keduanya terjadi keseimbangan antara IL-4 dengan TGF-J3 daD IL-5 serta tingginya kadar IgA juga karena terjadinya dua kali isotype switching dari IgM ke IgG kemudian dari IgG ke IgA. Setelah potensi imunogenik protein AdhF36 dan AdhO36 diketahui, selanjutnya diuji kemampuannya sebagai imunogen mukosal untuk menginduksi terbentuknya S-IgA guna mencegah proses adhesi Salmonella typhi pada usus halus mencit Balb/c. Untuk itu dilakukan imunisasi peroral pada mencit Balb/c dengan protein AdhF36, protein AdhO36, crn dan Kontrol. Dosis yang digunakan untuk masing-masing protein adalah 250 J.Lg setiap kali pemberian (4 x selang satu minggu) dan dikonjugasikan dengan CTB sebagai ajuvan sekaligus sebagai protein carrier dan mencegah oral tolerance (Strober and Fuss, 1997). Sebagian dari mencit setelah diimunisasi, diinokulasi dengan Salmonella typhi. Yang diamati berupa hasil uji hambat adhesi in vivo dengan menghitung jumlah koloni Salmonella typhi dari biakan usus mencit pada medium BSA ( bismuth sulfite agar) dan ELISA terhadap S-IgA dan IgG mukus usus serta ootuk IgA dan IgG serum dengan menggunakan Completely Randomized Design. Dari Anova terhadap jumlah koloni Salmonella typhi pada medium BSA, tampak bahwa pada perlakuan AdhF36 daD AdhO36 pertumbuhan Salmonella typhi pada BSA sedikit sekali dan kedua perlakuan tersebut tidak berbeda bermakna (p = 0.061); namun berbeda sangat bermakna dengan perlakuan Kontrol positif dan perlakuan CTB (p = 0.001). Dari Anova pengaruh perlakuan terhadap kadar IgG dan IgA, menunjukkan bahwa kadar IgG dalam serum lebih tinggi dari pada kadar IgG dalam mukus, sedangkan kadar IgA dalam serum lebih rendah dari pada kadar IgA dalam mukus, baik untuk protein AdhF36 maupun untuk protein AdhO36, masing-masing dengan p = 0.001 . Hal ini sesuai dengan respon imun humoral nonnal, bahwa kadar IgG dalam serum memang lebih tinggi dibandingkan dengan IgG dalam sekresi usus, demikian pula kadar 19A dalam sekresi usus (S-IgA) lebih tinggi dari pada 19A dalam serum (Mestecky et aI., 1999). Adanya IgG dalam serum menunjukkan bahwa protein AdhF36 dan AdhO36 sebagai antigen yang diberikan per oral tidak hanya mampu merangsang respon imun mukosal, tetapi juga mampu merangsang respon imun humoral secara sistemik. Dari uji t kadar IgG dan 19A di dalam serum dan mukus untuk perlakuan AdhF36 dan perlakuan AdhO36 menunjukkan bahwa kadar IgG serum yang diproduksi pada perlakuan AdhF36 dan AdhO36 berbeda sangat bemakna (p = 0.002) sedangkan kadar 19A serum tidak berbeda bermakna (p = 0.714). Kadar IgG yang disekresikan ke dalam mukus berbeda bermakna (p = 0.020), sedangkan kadar 19A mukus tidak berbeda bermakna (p = 0.0577). Dari basil ini menunjukkan bahwa protein AdhO36 lebih mampu menginduksi IgG baik di dalam serum maupun di dalam mukus dari pada protein AdhF36. Dengan demikian apabila protein AdhF36 dan protein AdhO36 digabungkan kemungkinan paling tidak dapat memberikan efek adisi untuk membangkitkan respons imun mukosal dan sekaligus mampu menginduksi respons imun humoral sistemik. Akhirnya dapat dibuktikan bahwa Salmonella typhi selain memiliki protein adhesin AdhF36 (fimbrial adhesin) yang mempunyai ciri type-l fimbriae, juga memiliki protein AdhO36 (afimbrial adhesin) yang merupakan temuan baru, keduanya merupakan faktor virulensi pada proses adhesi dan kolonisasi, yang berpotensi imunogenik untuk merangsang terbentuknya S-IgA protektif guna menghambat proses adhesi dan kolonisasi, sehingga tahap awal infeksinya dapat dicegah. Dengan demikian maka hipotesis penelitian ini terbukti.
Item Type: |
Thesis
(Disertasi)
|
Additional Information: |
KKA KK Dis K 14/03 San p |
Uncontrolled Keywords: |
Salmonella typhi, hemagglutinin protein, adhesin protein, and S-IgA. |
Subjects: |
R Medicine > R Medicine (General) |
Divisions: |
09. Sekolah Pasca Sarjana > Ilmu Kedokteran |
Creators: |
Creators | NIM |
---|
SANARTO SANTOSO, 099813102 D | UNSPECIFIED |
|
Contributors: |
Contribution | Name | NIDN / NIDK |
---|
Thesis advisor | Ma'rifin Husin, Prof. Dr., dr., M.Sc., Sp.FK | UNSPECIFIED | Thesis advisor | Eddy Soewandojo, Prof., dr., SpPD | UNSPECIFIED |
|
Depositing User: |
Nn Husnul Khotimah
|
Date Deposited: |
27 Sep 2016 06:34 |
Last Modified: |
12 Jun 2017 17:55 |
URI: |
http://repository.unair.ac.id/id/eprint/31932 |
Sosial Share: |
|
|
|
Actions (login required)
|
View Item |