M. Hadi Shubhan, 099913682D (2006) PRINSIP HUKUM KEPAILITAN DI INDONESIA. Disertasi thesis, UNIVERSITAS AIRLANGGA.
|
Text (ABSTRAK)
gdlhub-gdl-s3-2007-shubhanmha-3927-6.abstr-t.pdf Download (312kB) | Preview |
|
Text (FULLTEXT 1)
FULLTEXT 1.pdf Restricted to Registered users only Download (2MB) | Request a copy |
||
Text (FULLTEXT 2)
FULLTEXT 2.pdf Restricted to Registered users only Download (1MB) | Request a copy |
Abstract
Pailit merupakan suatu keadaan dimana debitor tidak mampu untuk melakukan pembayaran-pembayaran terhadap utang-utang para kreditornya. Keadaan tidak mampu membayar pada prinsipnya disebabkan karena kesulitan kondisi keuangan (financial distress) dari usaha debitor yang telah mengalami kemunduran. Sedangkan kepailitan merupakan putusan pengadilan yang mengakibatkan sita umum (public attachment, gerechtelijke beslag) atas seluruh kekayaan debitor pailit, baik yang telah ada maupun yang akan ada dikemudian hari, yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator dibawah pengawasan hakim pengawas dengan tujuan utama mempergunakan hasil penjualan harta kekayaan tersebut untuk membayar seluruh utang debitor pailit tersebut secara pro rata parte. Prinsip-prinsip umum yang ada dalam kepailitan adalah pertama, prinsip paritas creditorium yang berarti bahwa para kreditor baik kreditor separatis, kreditor preferen, maupun kreditor konkuren mempunyai hak yang sama tanpa dibedakan terhadap segenap harta benda debitor sehingga jika debitor tidak dapat membayar utangnya maka harta kekayaan debitor menjadi sasaran kreditor. Kedua, prinsip pari passu prorata parte yang berarti bahwa harta kekayaan tersebut merupakan jaminan bersama untuk para kreditor dan hasilnya harus dibagikan secara proporsional (prorata) antara mereka, kecuali jika antara para kreditor itu ada yang menurut undang-undang harus didahulukan dalam menerima pembayaran tagihannya. Ketiga, prinsip structured prorata yang berarti bahwa kreditor kepailitan digolongkan secara struktural yang terdiri dari kreditor separatis, kreditor preferen, dan kreditor konkuren, yang masing-masing kreditor tersebut berbeda kedudukannya. Keempat, Prinsip utang yang berarti bahwa utang yang dijadikan dasar untuk mengajukan permohonan pailit adalah utang prestasi baik yang timbul sebagai akibat perjanjian maupun yang timbul sebagai perintah undang-undang serta adanya pembatasan minimum jumlah utang yang dapat dijadikan dasar untuk mengajukan permohonan pailit. Kelima, Prinsip debt collection, yang berarti bahwa kepailitan merupakan pranata collective proceeding untuk melakukan likuidasi terhadap harta pailit yang selanjutnya didistribusikan kepada para kreditornya karena tanpa adanya hukum kepailitan masing-masing kreditor akan berlomba ¬lomba secara sendiri-sendiri mengklaim aset debitor untuk kepentingan masing-masing sehingga karena itu hukum kepailitan mengatasi apa yang disebut collective action problem yang ditimbulkan dari kepentingan individu dari masing-masing kreditor tersebut. Keenam, prinsip debt pooling yang berarti bahwa kepailitan merupakan pranata untuk mengatur bagaimana harta kekayaan pailit harus dibagi diantara para kreditornya, dimana kepailitan merupakan proses yang ekslusif yang diatur dengan norma dan prosedur khusus. Ketujuh, prinsip debt forgiveness yang berarti bahwa kepailitan merupakan pranata hukum yang dapat digunakan sebagai alat untuk memperingan beban yang harus ditanggung oleh debitor karena sebagai akibat kesulitan keuangan sehingga tidak mampu melakukan pembayaran terhadap utang-utangnya sesuai dengan agreement semula dan bahkan sampai pada pengampunan (discharge) atas utang-utangnya sehingga utang-utangnya tersebut menjadi hapus sama sekali. Kedelapan, prinsip universal yang berarti bahwa kepailitan akan berlaku terhadap semua harta kekayaan debitor pailit, baik yang ada di dalam negeri maupun yang ada diluar negeri. Kesembilan, prinsip teritorial adalah bahwa putusan pailit hanya berlaku dinegara dimana putusan pailit tersebut dijatuhkan dan putusan pailit oleh pengadilan di negara asing tidak dapat diberlakukan dinegara yang bersangkutan. Kesepuluh, prinsip commercial eksit from financial distress yang berarti bahwa kepailitan merupakan suatu strategi jalan keluar (exit strategy) yang bersifat komersial untuk keluar dari persoalan utang piutang yang menghimpit seorang debitor, dimana debitor tersebut sudah tidak mempunyai kemampuan lagi untuk membayar utang-utang tersebut kepada para kreditornya karena kondisi keuangan yang mengalami kesulitan akibat penurunan kinerja keuangan perusahaan.. Hukum kepailitan di Indonesia memiliki sejarah yang cukup panjang yakni sejak tahun 1905. Pranata kepailitan telah ada sejak jaman Hindia Belanda yang diatur dalam Verordening op het Faillissement en de Surseance van Betaling de Europeanen in Nederlands Indie (Faillisement Verordening, Peraturan Kepailitan), Staatsblad 1905 Nomor 217 junto Staatsblad 1906 Nomor 348. Kemudian Peraturan Kepailitan tersebut disempurnakan dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang tentang Kepailitan Menjadi Undang-Undang. Baru pada tahun 2004, hukum kepailitan diatur dalam satu undang-undang nasional yaitu Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Namun sayangnya, Undang-Undang Kepailitan 2004 tidak lebih dari replikasi terhadap penyatuan Peraturan Kepailitan dan UU Nomor 4 Tahun 1998 serta tidak mengalami kemajuan yang progresif dalam merekonstruksi prinsip-prinsip hukum kepailitan nasional. Di dalam hukum kepailitan di Indonesia, prinsip-prinsip umum kepailitan tersebut ada yang dinormakan dalam hukum positif, ada yang tidak dinormakan dalam hukum positif, serta ada yang dinormakan secara ambiguitas dalam hukum positif. Prinsip-prinsip kepailitan yang dinormakan dalam hukum positif adalah prinsip paritas creditorium, prinsip pari passu prorata parte, prinsip structured prorata, prinsip utang dalam arti luas, prinsip debt collection, prinsip universal dan prinsip teritorial. Prinsip yang tidak dinormakan dalam hukum positif adalah prinsip debt forgiveness, prinsip fresh-starting, prinsip pembatasan jumlah minimal utang dan prinsip commercial exit from financial distress. Sedangkan prinsip yang dianut secara ambiguitas (mendua) adalah prinsip debt pooling. Pengaturan hukum kepailitan Indonesia lebih diarahkan untuk mempermudah mempailitkan subyek hukum tanpa mempertimbangkan solvabilitas keuangan subyek hukum tersebut sehingga kepailitan lebih diposisikan sebagai alat untuk menagih utang. Dalam hukum kepailitan Indonesia tidak dikenal adanya insolvency test sebelum permohonan kepailitan diperiksa. Dalam hukum kepailitan Indonesia tidak mengenal adanya penghapusan utang, sehingga utang dalam rejim hukum kepailitan Indonesia akan mengikuti terus tehadap debitor sampai debitor tersebut meninggal dunia dalam hal subyek hukum debitor pailit adalah natuurlijk persoon atau bubar dalam hal subyek hukum debitor pailit adalah rechtspersoon. Penerapan prinsip-prinsip umum kepailitan dan norma hukum kepailitan diperadilan masih tidak konsisten karena banyak terjadinya penyimpangan-penyimpangan prinsip dan norma hukum kepailitan tersebut sehingga menyebabkan terjadinya dissinkronisasi antar putusan peradilan. Dalam penerapan prinsip paritas creditorium dan prinsip structured prorata terjadi dissinkronisasi antara kelompok putusan yang secara benar dan konsisten menerapkan prinsip ini yakni bahwa seluruh kelompok kreditor termasuk kreditor separatis dan kreditor preferen berhak mengajukan permohonan kepailitan terhadap debitornya sementara terdapat kelompok putusan lain yang secara tidak konsisten dan tidak tepat yang berpendapat bahwa kreditor separatis tidak berhak mengajukan permohonan pailit terhadap debitornya. Dalam penerapan prinsip debt collection terjadi dissinkronisasi antara kelompok putusan yang secara benar dan konsisten menerapkan prinsip ini yakni bahwa kepailitan adalah sebagai pranata hukum untuk melakukan pendistribusian aset debitor terhadap semua kreditornya sehingga akan menghindari perebutan harta debitor oleh para kreditornya serta bahwa kepailitan adalah sebagai pranata hukum untuk menyelesaikan utang-utang debitor yang karena kesulitan keuangan tidak mampu melakukan kewajiban pembayaran utang tersebut bukan sebagai alat untuk menagih semata terhadap debitor, sementara terdapat kelompok putusan hakim yang berpendapat tidak konsisten dan tidak tepat yakni bahwa kepailitan adalah alat untuk menagih utang debitor apapun bentuk utangnya dan berapapun jumlahnya tanpa melihat solvabilitas perusahaan dan tanpa mempertimbangkan ada tidak terjadinya perebutan harta debitor oleh para kreditornya. Dalam penerapan prinsip utang terjadi dissinkronisasi antara kelompok putusan yang secara benar dan konsisten menerapkan prinsip utang ini yakni bahwa utang yang dijadikan dasar untuk mengajukan permohonan pailit adalah semua jenis utang yang timbul sebagai akibat perikatan, tidak terbatas hanya utang yang timbul sebagai akibat perjanjian utang piutang uang saja, sementara terdapat kelompok putusan yang berpendapat tidak konsisten dan tidak tepat yakni bahwa utang yang dapat dijadikan dasar untuk mengajukan permohonan pailit adalah utang yang timbul dari perjanjian utang-piutang uang saja. Dalam penerapan prinsip eksistensi perseroan terbatas dalam likuidasi terjadi dissinkronisasi antara kelompok putusan yang secara benar dan konsisten menerapkan prinsip ini yakni bahwa peseroan terbatas dalam likuidasi dapat dipailitkan, sementara terdapat putusan yang tidak konsisten dan tidak tepat yang berpendapat bahwa perseroan terbatas dalam likuidasi tidak dapat dipailitkan. Dalam penerapan prinsip commercial exit from financial distress terjadi dissinkronisasi antara kelompok putusan yang secara benar dan konsisten menerapkan prinsip ini yakni bahwa putusan yang menerapkan prinsip ini secara benar yakni bahwa kepailitan merupakan pranata yang digunakan sebagai jalan keluar terhadap subyek hukum yang sedang mengalami kesulitan keuangan sehingga menyebabkan tidak dapat memenuhi kewajiban membayar utang-utangnya serta mengakibatkan jumlah utang-utang tersebut melebihi kekayaan perseroan, sementara terdapat kelompok putusan yang berpendapat tidak konsisten dan tidak tepat yakni bahwa kepailitan tidak berkaitan dengan kesulitan keuangan perusahaan tetapi berkaitan hanya dengan tidak dibayarkannya suatu utang tanpa mempertimbangkan kesehatan keuangan perusahaan serta jauh tercukupinya aset perusahaan untuk menutup utang-utang tersebut. Penerapan prinsip debt pooling terjadi dissinkronisasi antara kelompok putusan yang menerapkan prinsip ini secara konsisten dan tepat, yakni bahwa pengadilan niaga adalah satu-satunya pengadilan yang memiliki kompetensi absolut untuk memutuskan permohonan pailit beserta hal-hal yang berkaitan dengan kepailitan tersebut seperti actio pauliana dan klausula arbitrase, sementara terdapat kelompok putusan lain yang berpendapat bahwa pengadilan niaga tidak berwenang menangani actio pauliana kepailitan dan tidak berwenang menangani permohonan pailit dimana terdapat kalusula arbitrase dalam perjanjiannya. </description
Item Type: | Thesis (Disertasi) | ||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|
Additional Information: | KKB KK-2 Dis H 04/07 Shu p | ||||||
Uncontrolled Keywords: | principles of bankruptcy law; adopted;application; Commercial Court | ||||||
Subjects: | K Law > K Law (General) > K1-7720 Law in general. Comparative and uniform law. Jurisprudence > K(520)-5582 Comparative law. International uniform law > K3400-3431 Administrative law | ||||||
Divisions: | 09. Sekolah Pasca Sarjana > Ilmu Hukum | ||||||
Creators: |
|
||||||
Contributors: |
|
||||||
Depositing User: | Tn Yusuf Jailani | ||||||
Date Deposited: | 06 Oct 2016 00:58 | ||||||
Last Modified: | 04 Jul 2017 23:38 | ||||||
URI: | http://repository.unair.ac.id/id/eprint/32468 | ||||||
Sosial Share: | |||||||
Actions (login required)
View Item |