M. KHOIDIN
(2005)
KEKUATAN EKSEKUTORIAL SERTIFIKAT HAK TANGGUNGAN.
Disertasi thesis, UNIVERSITAS AIRLANGGA.
Abstract
Disertasi ini membahas permasalahan grose akta yang memiliki kekuatan eksekutorial berdasarkan Pasal 224 H.I.R, dan kekuatan eksekutorial sertifikat hak tanggungan yang merupakan produk Badan Pertanahan Nasional (c.q Kantor Pertanahan) selaku lembaga non yudisiil. Grose akta adalah salinan akta yang dibuat oleh notaris dari minuta yang disimpan dalam protokolnya, diterbitkan atas permintaan kreditur. Pada kepala grose akta terdapat kata-kata yang berbunyi Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa . Berdasarkan titel eksekutorial tersebut grose akta dapat dimintakan eksekusi kepada Pengadilan Negeri tanpa melalui gugatan biasa. Menurut Pasal 224 H.I.R (Heriene Inlandsche Reglement) dan Pasal 258 R.Bg (Rechts Reglement Buitengewesten) suatu grose dari akta hipotik dan surat hutang yang dibuat di hadapan notaris di Indonesia yang pada kepalanya memakai perkatanan Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa mempunyai kekuatan yang sama dengan putusan hakim. Penelitian ini merupakan penelitian normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konsep (conseptual approach), pendekatan kasus (case approach), dan pendekatan sejarah (historical approach). Permasalahan yang diteliti adalah pertama, dasar pemikiran pengaturan grose akta dalam Pasal 224 H.I.R yang mempunyai kekuatan eksekutorial dan dipersamakan dengan putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap. Kedua, landasan hukum pencantuman titel eksekutorial pada sertifikat hak tanggungan menurut sistem hukum Indonesia, dan apakah sertifikat hak tanggungan memenuhi syarat materiil dan formal sebagai grose menurut Pasal 224 H.I.R. Ketiga, kedudukan dan fungsi PPAT dan BPN dalam penerbitan sertifikat hak tanggungan dan relevansinya dengan pengawasan pengadilan berkaitan dengan pemberian fiat eksekusi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dasar pemikiran pengaturan grose akta yang mempunyai kekuatan eksekutorial dalam Pasal 224 H.I.R (Pasal 258 R.Bg) adalah untuk memudahkan kreditur dalam memulihkan hak dan kepentingannya jika debitur ingkar janji, yakni kreditur tidak perlu mengajukan gugatan melalui pengadilan, tetapi langsung meminta eksekusi berdasarkan grose akta yang mempunyai kekuatan eksekutorial. Pengaturan eksekusi grose akta dalam Pasal 224 H.I.R dimaksudkan untuk memperlancar kegiatan di bidang ekonomi, yaitu agar pelaku usaha dapat menyelesaikan sengketa hutang piutang dan sengketa kredit macet lainnya secara cepat dan tepat. Bagi kreditur pemegang grose akta surat-surat hutang (schulbrieven) dapat meminta kepada pengadilan agar dilakukan penyitaan atas barang-barang milik debitur untuk selanjutnya dijual lelang. Demikian pula bagi kreditur pemegang grose akta hipotik-berdasarkan pasal 224 H.I.R juga dapat meminta pengadilan melakukan penyitaan dan penjualan lelang atas obyek hipotik. Kemudahan seperti ini sangat disukai oleh para pelaku usaha sehingga dapat menggairahkan kegiatan di bidang ekonomi, khususnya dalam mengamankan penyaluran kredit oleh lembaga perbankan. Di samping itu keberadaan Pasal 224 H.I.R juga bertujuan untuk memudahkan hakim dalam menyelesaikan sengketa hutang-piutang, karena tidak perlu melakukan pemeriksaan perkara melalui persidangan, sehingga dapat mengurangi beban hakim dan mereduksi terjadinya penumpukan perkara di lembaga peradilan. Kongesti perkara mengakibatkan penyelesaian sengketa berjalan lamban dan tidak efisien dengan ongkos yang sangat mahal. Inefisiensi dan ekonomi biaya tinggi tersebut sangat tidak disukai oleh pelaku ekonomi yang mengedepankan prinsip efektif dan efisien dalam berusaha dengan menekan serendah mungkin ongkos produksi dan investasi. Untuk memudahkan kreditur dan mengurangi beban hakim tersebut undang-undang mengambil sebagian wewenang hakim dalam menerbitkan putusan yang mempunyai kekuatan eksekutorial, selanjutnya wewenang tersebut diberikan kepada notaris selaku satu-satunya pejabat umum untuk menerbitkan grose akta berkekuatan eksekutorial yang kualitasnya disamakan dengan putusan hakim. Pelaksanaan wewenang notaris untuk menerbitkan grose akta tersebut tetap berada di bawah pengawasan hakim selaku organ kekuasaan yudikatif. Apabila Ketua Pengadilan Negeri menilai terdapat kekeliruan, kesalahan atau tidak terpenuhinya syarat formil dan materiil dalam suatu grose akta, maka dia dapat menolak memberikan fiat eksekusi. Pemberian fiat eksekusi oleh Ketua Pengadilan Negeri memang sudah seharusnya demikian karena notaris diawasi oleh pengadilan. Jadi, dengan adanya Pasal 224 H.I.R maka penyelesaian sengketa hutang-piutang atau kredit macet yang terjadi di dalam kegiatan ekonomi dapat berjalan efektif dan efisien sesuai prinsip ekonomi tanpa meninggalkan sistem hukum yang berlaku. Pada awalnya titel eksekutorial diletakkan pada grose akta hipotik dan credietverband, lalu dicantumkan pada sertifikat hipotik dan credietverband. Pengalihan titel eksekutorial dari grose akta hipotik dan credietverband ke sertifikat hipotik dan credetverband mulanya didasarkan pada Peraturan Menteri Agraria, Surat Edaran Menteri Dalam Negeri dan Surat Edaran Kepala Badan Pertanahan Nasional. Kemudian dikukuhkan dalam UU Rumah Susun No. 16/1986 dan dalam UU Hak Tanggungan No. 4/1996, yang menyatakan bahwa sertifikat hak tanggungan mempunyai titel eksekutorial dan berlaku sebagai pengganti grose akta hipotik sepanjang mengenai hak atas tanah. Penempatan titel eksekutorial pada sertifikat hak tanggungan tidak sesuai sistem hukum di Indonesia, khususnya hukum jaminan, Peraturan Jabatan Notaris, dan Pasal 224 H.I.R yang bersifat limitatif. Meski dikukuhkan dengan UU No. 4/1996 tetap kurang tepat, karena UU Hak Tanggungan merupakan hukum materiil bukan hukum formil. Hukum materiil hanya mengatur hak dan kewajiban, sedang hukum formil bersifat imperatif yang mengatur tata cara melaksanakan hukum materiil, termasuk eksekusi atas putusan pengadilan dan grose akta yang mempunyai kekuatan eksekutorial. Sertifikat hak tanggungan tidak memenuhi syarat sebagai grose akta menurut Pasal 224 H.I.R, karena tidak dibuat oleh pejabat umum satu-satunya yang ditunjuk oleh undang-undang, dan bukan merupakan salinan dari minuta akta yang dibuat dan disimpan oleh pejabat umum yang berwenang untuk itu menurut undang-undang. Pencantuman irah-irah pada sampul sertifikat hak tanggungan tidak sesuai dengan ketentuan mengenai penempatan titel eksekutorial sebagaimana yang diatur dalam undang-undang. Sertifikat hak tanggungan mengandung cacat yuridis, karena terjadi pelanggaran hukum administrasi, yaitu Kepala Kantor Pertanahan selaku pejabat administrasi negara melakukan tindakan di luar kewenangannya. Pasal 14 (2) UU No. 4/1996 yang menyatakan sertifikat hak tanggungan mempunyai kekuatan eksekutorial dan kualitasnya disamakan dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tidak mempunyai landasan yuridis dan teoritis. Oleh karena itu sertifikat hak tanggungan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum dan juga tidak mempunyai kekuatan eksekutorial. Konstruksi sertifikat hak tanggungan yang diberi titel eksekutorial bertentangan dengan sistem hukum, terutama jika dikaitkan dengan fungsi pengadilan sebagai institusi yang memberikan fiat eksekusi. Konstruksi yang terdapat dalam Pasal 224 H.I.R adalah titel eksekutorial ditempatkan pada grose akta (hipotik) yang dibuat oleh notaris yang diawasi hakim. Oleh karena itu jika grose akta tersebut hendak dieksekusi secara paksa maka hams meminta fiat eksekusi dari pengadilan. Dengan demikian maka tidaklah tepat jika pengadilan diberi kewajiban memberikan fiat eksekusi atas sertifikat (bukan grose) yang bukan dibuat oleh pejabat umum (notaris), tetapi oleh pejabat eksekutif yang tidak diawasi oleh pengadilan. Keberadaan PPAT diatur dalam PP No. 37/1998 yang kedudukannya berada di bawah undang-undang. Meski keberadaan PPAT disebut dalam UU No. 16/1985 dan UU No. 4/1996, namun karena tidak diatur secara mandiri dalam undang-undang khusus seperti notaris dalam P.J.N, maka PPAT bukan pejabat umum sebagaimana dimaksud Pasal 1868 KUH Perdata. Akta-akta yang dibuat oleh PPAT termasuk Akta Pemberian Hak Tanggungan tidak memenuhi syarat sebagai akta otentik menurut Pasal 1868 KUH Perdata. Konsekuensinya, menurut Pasal 1869 KUH Perdata jika suatu akta dibuat bukan oleh atau di hadapan pejabat umum atau dibuat oleh pejabat yang tidak berwenang menurut undang-undang, maka akta tersebut bukan akta otentik. Badan Pertanahan Nasional (BPN) adalah lembaga tata usaha negara yang kewenangannya hanya menjalankan tugas di bidang pemerintahan. BPN tidak dapat bertindak sebagai regelgeving dan rechisprauk. Namun pada kenyataannya BPN melaksanakan sebagian tugas dan wewenang lembaga peradilan yang sebenarnya bukan merupakan kewenangannya selaku lembaga tata usaha negara, yaitu menerbitkan dokumen (sertifikat) yang mempunyai titel eksekutorial. Meski kewenangan tersebut diatur dalam undang-undang, tetapi jika berada dalam bidang rechtspraak, maka adalah tidak tepat. Pelaksanaan tugas Kepala Kantor Pertanahan selaku aparat eksekutif berada di luar pengawasan hakim. Dengan demikian maka pemberian fiat dari Ketua P.N bagi eksekusi sertifikat hak tanggungan yang diterbitkan Kantor Pertanahan tidak perlu dilakukan karena tidak mempunyai relevansi dengan pengawasan oleh lembaga peradilan. Ketua PN tidak wajib memberikan fiat terhadap eksekusi atas sertifikat hak tanggungan. Kewajiban Ketua PN untuk memberikan fiat hanya tertuju pada eksekusi grose akta hipotik dan surat hutang sebagaimana yang diperintahkan oleh Pasal 224 H.I.R. Demikian pula terhadap PPAT, pengadilan tidak berwenang mengawasi, karena eksistensi PPAT tidak diatur dalam undang-undang khusus seperti Notaris. Sedang terhadap Notaris selaku pejabat umum, Pengadilan (hakim) oleh undang-undang (P.J.N) diberi wewenang untuk mengawasi pelaksanaan tugas (jabatan) notaris, salah satunya diwujudkan dalam bentuk pemberian fiat bagi eksekusi atas grose akta yang diterbitkan oleh notaris. Kendati pengadilan tidak diberi wewenang untuk mengawasi pelaksanaan tugas PPAT dan Kepala Kantor Pertanahan namun jika terjadi kesalahan PPAT dalam membuat APHT dan atau kesalahan Kepala Kantor Pertanahan dalam menerbitkan sertifikat hak tanggungan, pengadilan berwenang melakukan koreksi dengan menjatuhkan putusan atau penetapan yang berisi pembatalan. Pengadilan Negeri berwenang menilai sertifikat hak tanggungan yang dimintakan eksekusi apakah telah memenuhi syarat Pasal 224 H.I.R. Kewenangan Ketua PN dalam menilai sertifikat hak tanggungan meliputi berbagai segi yang berkaitan dengan syarat-syarat formal yang bersifat imperatif dengan merujuk pada ketentuan undang-undang dan doktrin ilmu hukum. Kewenangan tersebut tidak hanya mengacu pada Pasal 224 H.I.R.</description
Actions (login required)
|
View Item |