PAJAK PENGHASILAN FINAL DARI PENGALIHAN HAK ATAS TANAH DAN/ATAU BANGUNAN

HARY DJATMIKO (2005) PAJAK PENGHASILAN FINAL DARI PENGALIHAN HAK ATAS TANAH DAN/ATAU BANGUNAN. Disertasi thesis, UNIVERSITAS AIRLANGGA.

[img]
Preview
Text (ABSTRAK)
ABSTRAK.pdf

Download (143kB) | Preview
[img] Text (FULLTEXT)
KKB KK Dis Har p.pdf
Restricted to Registered users only

Download (14MB)
Official URL: http://lib.unair.ac.id

Abstract

Secara yuridis pemenuhan atas pajak terutang merupakan kewajiban kenegaraan, yaitu suatu bentuk perikatan dalam hukum publik yang dilakukan antara pemerintah dengan warganya mengenai perpindahan harta kekayaan dari sektor swasta kepada pemerintah. Perikatan hukum tersebut di atas, dilandasi oleh suatu prinsip kegotong royongan dalam mewujudkan penghimpunan dana (pajak), untuk kepentingan dari tujuan negara. Dalam merealisasikan tujuan tersebut di atas, kebijakan hukum dalam pemungutan pajak dilakukan melalui sistem Swa Asok(Self Assessment) merupakan landasan utama (Pasal 12 UU KUP 1984) Di samping itu, kebijakan administrasi pungutan pajak terhadap suatu transaksi dan penghasilan tertentu dilakukan dalam salah bentuk pemotongan dan pemungutan pajak yang dilakukan pihak ketiga (Withholding System, Pasal 20 UU PPh 1984). Sistem administrasi pungutan pihak ketiga atau \ Withholding System\ melalui bentuk (a) pemotongan pajak atas suatu penghasilan tertentu bersifat final, (b) pemungutan pajak atas transaksi bersifat final adalah suatu kebijakan pemungutan yang menjurus pada sistem Official Assessment, yang pada dasarnya bertentangan (dis sinkronisasi vertical) dengan prinsip hukum pemungutan pajak secara umum. Fenomena Pajak Penghasilan final ini, sekaligus mengingatkan penulis pada sistem administrasi pungutan MPO (Menghitung Pajak Orang) yang pada dekade di awal tahun 1967 telah menunjukkan peran yang cukup penting dalam penerimaan pajak. Oleh karena itu implementasi dan mekanisme pemungutan Pajak Penghasilan dengan sifat final menunjukkan sifat dis sinkronisasi horizontal, yang diberlakukan pada penghasilan atas pembayaran pengalihan hak atas, tanah dan/atau bangunan, dikenakan juga terhadap penghasilan tertentu di antaranya dari : (a) Bunga Deposito, Sertifikat Deposito, Tabungan, Diskonto Sertifikat Bank Indonesia, Jasa Giro (Ps. 4 ayat 2 UU PPh. 1984 jo.PP 51 tahun 1994); (b) Penjualan saham atau sekuritas (Ps. 4 ayat 2 UU PPh. 1984 jo PP 41 tahun 1994 jo. PP 14 tahun 1997); (c) Hadiah undian (PP 42 tahun 1994 jo Kep.Men.Keu. 639/KMK.04/1994); (d) Pembayaran atas penghasilan sewa tanah dan. bangunan.(Pasal 4 ayat 2 UU PPh. 1984 jo.PP 29 tahun 1996); (e) Penghasilan pemilik tanah atas Built Operate and Transfer (Pasal 15 UU PPh 1984 jo. Kep.Men Keu 248/KMK04/1995); (f) Penghasilan isteri dari 1(satu) pemberi Kerja (Pasal 21 UU PPh 1984 jo. Keputusan Menteri Keuangan 600/KMK04/1995); (g) Honorarium di luar gaji yang diterima oleh Pegawai Negeri Sipil di Angkatan Bersenjata (PP 45 tahun 1994); (h) Hadiah/penghargaan perlombaan (Pasal 21 UU PPh 1984, Keputusan Menteri Keuangan 598/KMK04/1995); (i) Penghasilan atas transaksi dari industri tertentu seperti rokok, kertas, semen, baja, otomotif, penyaluran oleh Bulog dan Pertamina (Pasal 22 UU PPh 1984 jo. Keputusan Menteri Keuangan 599/KMK04/1995); (j) Bunga simpanan koperasi (Pasal 23 ayat 1 jo. Keputusan Menteri Keuangan 605/KMK. 04/1994; (k) Jasa pelaksanaan, perencanaan dan. pengawasan konstruksi jasa konsultan (PP 73 tahun 1996 jo Kep.Men Keu 704/KMK.04/1996). Perlakuan Pajak Penghasilan final memiliki ciri sebagai berikut : serangkaian tindakan yang dilakukan oleh Pemerintah untuk melakukan pemotongan pajak terutang maupun perintah untuk melakukan penyetoran kepada Wajib Pajak, (b) memiliki sifat tidak dapat diperhitungkan dalam pembayaran angsuran pajak, (dikreditkan) dan tidak dapat dianggap sebagai pengeluaran biaya, usaha (dibiayakan). Sedangkan perlakuan atas sifat final tersebut memiliki karakteristik sebagai berikut (a) menggugurkan sistem Swa Asok Self Assessment yang merupakan dis sinkronisasi vertical,b. merupakan yurisdiksi dari penghasilan berasal dari bunga, saham pengalihan harta dan sewa ( Memori Penjelasan Pasal 4 (2) Undang- undang Pajak Penghasilan 1984) sekaligus merupakan dis sinkronisasi horizontal, (c) hilangnya fungsi pengawasan akibat dari mekanisme PPh final di mana tindakan \ memperhitungkan\ pajak terpungut atau terpotong yang dilakukan Pemotong/Pemungut pajak. Secara historis perlakuan final merupakan bentuk official assessment modern , yaitu konsep pergeseran nilai nilai pemungutan pajak secara. umum dan pengembangan/ekspansi keberhasilan pengenaan atas penghasilan tertentu sebagaimana yang diberlakukan pada pajak atas penghasilan berupa pekerjaan, jasa dan kegiatan atau disebut PPh Pasal 21 Perluasan atas pemungutan pajak dimaksud diawali mulai era pasca reformasi perpajakan tahun 1994, dengan mengetrapkan sifat final dalam pelbagai jenis pajak di bidang penghasilan tersebut di atas. Salah satu aspek hukum terpenting dari Pajak Penghasilan final merupakan serangkaian tindakan pemerintah yang bertentangan dengan prinsip pemungut pajak secara umum (dis sinkronisasi. vertical). Sistem administrasi pungutan pajak dengan sifat final pada hakekatnya merupakan perlakuan khusus dalam cara. Administrasi pungutan pajak. Perlakuan secara khusus dalam administrasi pungutan pajak tersebut dan memberikan dampak akan hilangnya pelbagai hak dan kewajiban hukum yang dimiliki oleh Wajib Pajak. Tujuan utama dari penelitian ini, secara teoritis adalah untuk mengkaji bagaimana kebijakan hukum pemungutan pajak sistem \ self assessment\ dilaksanakan, apakah telah sesuai dengan prinsip hukum. Lebih jauh, apakah sistem pemungutan pajak bersifat final merupakan kebijaksanaan yang bertentangan dengan hukum pemungutan dan sekaligus menggugurkan sistem \ self assessment\ (dis sinkronisasi baik bersifat vertical maupun bersifat horizontal). Mengingat hasil produk kebijaksanaan hukum dalam bentuk Peraturan Pemerintah terhadap kajian pajak atas penghasilan berasal dari bunga., saham, pengalihan harta dan sewa., bertentangan dengan prinsip dasar pemungutan pajak secara umum. Hal ini kesemuanya dimaksudkan oleh penguasa, untuk mengetahui sampai seberapa jauh Wajib Pajak memenuhi kewajibannya membayar pajak. Sedangkan secara praktis merupakan sumbangan pemikiran kepada pemerintah dalam penyempurnaan peraturan perpajakan khususnya dalam perbaikan Peraturan Pemerintah. Sejalan dengan permasalahan, tujuan penelitian, dan kerangka teoritik yang penulis kembangkan dalam disertasi ini, maka. untuk menjawab atas perumusan masalah yang diformulasikan sebagaimana berikut : 1.Bagaimana kebijakan pemungutan Pajak Penghasilan final yang berasal dari penghasilan atas pembayaran pengalihan hak atas, tanah dan/atau bangunan. bila dihubungkan dengan prinsip hukum secara umum yang dianut oleh Undang undang Perpajakan. 2.Berdasarkan ketentuan hukum yang diatur dalam Undang undang Pajak Penghasilan, adakah perbedaan produk kebijakan hukum dalam bentuk Peraturan Pemerintah dengan prinsip prinsip dasar secara yuridis terhadap perlakuan ketentuan tersebut di atas dengan sifat atas pembayaran pajak yang berasal dari penghasilan atas pembayaran pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan Sebagaimana telah dituangkan dalam bagan konsep pemikiran penulis bahwa sistem self assessment dan pajak bersifat final adalah hal yang berbeda dalam prinsip hukum pemungutan pajak. Namun keduanya merupakan cara menetapkan utang pajak dengan suatu sifat administrasi pungutan dan pembayaran pajak. dalam sistem administrasi pajak yang berbeda. Ditinjau dari segi yuridis fiskal seyogianya kewenangan Wajib Pajak dalam hal melaksanakan kewajiban untuk menentukan besarnya pajak terutang memiliki tempat terhormat sekaligus merupakan kompentensi yang absolut (Pasal 12 UU KUP 1984). Oleh karenanya perlakuan terhadap Pajak Penghasilan final sepanjang diatur secara tegas dalam undang undang(sinkronisasi) merupakan sifat khusus, sedangkan akan berlaku sebaliknya jika tidak diatur secara tegas dalam Undang undang (dis sinkronisasi baik bersifat vertical maupun horizontal) merupakan sifat yang bertentangan dengan prinsip umum dalam pemungutan pajak Rumusan mengenai perlakuan atas Pajak Penghasilan final secara yuridis diklasifikasikan sebagai berikut : 1.Sifat final berdasarkan Undang undang; yang operasionalisasi pada,Pasal 21 UU Pajak Penghasilan 1984; 2.Dapat bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah, ya merupakan perluasan/yurisdiksi dari penghasilan berasal dari bunga, saham, pengalihan harta dan sewa (Pasal 4 ayat (2) UU Pajak Penghasilan 1984); 3.Sifat final sehubungan pendelegasian oleh Undang undang kepada Menteri Keuangan (Pasal 15 dan Pasal 22 UU Pajak Penghasilan 1984). Produk kebijakan hukum terhadap perlakuan pajak dengan sifat final yang dituangkan dalam Peraturan. Pemerintah Nomor 3 Tahun 1994, Nomor 48 Tahun 1994 dan terakhir Nomor 27 Tahun 1996, menurut penulis merupakan cacat hukum karena substansi/materinya bertentangan dengan hukum dasarnya (dis sinkronisasi horizontal sehingga tercermin adanya unsur unsur perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige overheidsdaad) yang dilakukan oleh penguasa terhadap Wajib Pajak. Hal ini, mengakibatkan akan hilangnya hak hak wajib Pajak di antaranya berupa pembebanan batas bebas pajak, pengkreditan, penundaan pembayaran, keberatan dan banding kompensasi kerugian termasuk juga biaya biaya. yang tak dikreditkan. Menurut pendapat penulis keberhasilan pemungutan pajak Penghasilan yang bersendikan keadilan, seyogianya dilandaskan ketentuan sebagai berikut : 1. Secara konseptual dasar pemungutan pajak secara yuridis dalam suatu negara, pertama berlandaskan pada konsep kedaulatan wilayah (territorial sovererignty), yaitu negara memiliki kewenangan memungut pajak berdasarkan yurisdiksi di dalam wilayah kedaulatan negara. Kewajiban membayar pajak pada dasarnya, merupakan kewajiban kenegaraan (Pasal 23 ayat (2) Undang- undang Dasar 1945). 0leh karenanya perlakuan pemungutan Penghasilan bersifat final pada dasarnya bertentangan sinkronisasi vertical) dengan prinsip hukum yang dianut dalam sistem self assessment (Pasal 12 UU KUP 1984). Di samping itu pajak penghasilan atas peralihan hak atas tanah dan/atau bangunan agar supaya proses pembuatan akta peralihan haknya dapat berjalan dengan lancar dan untuk mencegah adanya penghindaran pajak, maka seyogianya sistem self assessment dapat difungsikan kembali dengan meniadakan sistem administrasi pungutan secara final. 2.Secara yuridis, makna pajak Yang berdasarkan undang-undang terkandung arti bahwa segala bentuk produk hukum pajak yang menyangkut mengenai substansinya haruslah berlandaskan;pada Undang undang Yang hidup dalam perkembangan ilmu dan tehnologi, dan sangat mustahil diatur dibawah peraturan perundang undangan. Jika dalam mekanisme politik perpajakan demikian halnya, maka diperlukan peran serta Mahkamah Agung (dapat dilimpahkan ke Badan Penyelesaian Sengketa Pajak) sebagai lembaga peradilan tertinggi untuk keikutsertaaannya secara aktif melakukan hak uji materiel Yang dimilikinya dalam segala kebijakan hukum (pajak). Oleh karenanya perlakuan pajak dengan sifat administrasi pungutan final, dan dasar pengenaan (tax base ) yang berbeda antara Undang undang Pajak Penghasilan 1984 dengan Peraturan Pemerintah tersebut di atas, merupakan produk kebijakan yang cacat hukum, karena terdapat dis sinkronisasi vertical dan horizontal dalam menentukan kewajiban utang pajak Dalam ketentuan Undang undang, dikenakan berdasarkan atas \ keuntungan\ (Pasal 4 ayat 1 huruf d UU PPh 1984), sedangkan dalam Peraturan Pemerintah, dihitung berdasarkan dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan (Pasal 4 PP 48 tahun 1994 jo PP 27 tahun 1996). 3. Keberhasilan memungut pajak sesuai dengan pembebanan yang adil dan merata, hanya dapat dilakukan tanpa adanya diskriminasi perlakuan antara orang pribadi dan badan. Keadilan membayar pajak akan dirasakan oleh Wajib Pajak, jika dibangun melaui mekanisme hubungan timbal balik apa yang menjadi hak kewajiban baik wajib pajak maupun fiscus, yang dilandasi oleh prinsip kerukunan dalam kegotong royongan. 4.Prinsip hukum secara umum bahwa pemungutan pajak secara adil dan sesuai dengan kemampuan membayar (ability to pay) haruslah dilakukan melalui mekanisme menghitung, memperhitungkan, menyetor dan melaporkan pajaknya sehingga dapat tercipta suatu ke equelbrium an antara hak dan kewajiban yang melandaskan pada konsep persamaan pandangan di bidang hukum, ekonomi dan akuntansi di bidang perpajakan, maka pemberdayaan wajib pajak (empowering tax payer) perlu. mendapatkan perhatian dan skala prioritas dari pemerintah. 0leh karenanya campurtangan pemerintah terhadap Wajib Pajak, atas dasar penghitungan \ utang pajak minimal\ atas penghasilan terhadap pembayaran peralihan hak atas tanah dan/atau bangunan mendasarkan pada Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) Pajak Bumi dan Bangunan merupakan perkosaan hukum. Demikian halnya campurtangan publik dalam perikatan perdata terhadap para Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah, Pejabat Lelang atau pejabat lainnya dalam melakukan legalitas atas akta akta tanah yang dibuat di mana nilai transaksinya mencapai di atas Rp, 60.000.000, (enam puluh juta rupiah) lebih, dirasakan akan menghambat jalannya proses hukum dimaksud, mengingat untuk keabsahan akta akta yang dibuat, dipersyaratkan terlebih dahulu harus membayar pajaknya sebesar 5% dari nilai bruto pengalihan untuk Wajib Pajak orang pribadi/badan dan 2% dari nilai bruto pengalihan untuk Wajib Pajak badan yang usaha pokoknya melakukan pengalihan atas Rumah Sangat Sederhana dan Satuan Rumah Susun. (Pasal 4 dan Pasal 11 A PP 48 tahun 1994 jo. PP 27 tahun 1996). 5.Perselisihan/persengketaaan yang mungkin akan timbul di bidang hukum pajak sepanjang mengenai perlakuan final menganut pada suatu prinsip hukum \ lex specialis derogat legi generali 6.Penyimpangan terhadap kewajiban perpajakan dikenakan sanksi administrasi maupun hukuman pidana baik secara tersendiri maupun komulatif, yang kesemuanya mendasarkan pada ajaran tuntutan ganti rugi dapat berupa denda, bunga dan kenaikan melalui komulasi sanksi atas jumlah pajak. Akhirnya, dalam rangka mewujudkan pemenuhan kewajiban, membayar pajak sesuai dengan ketentuan perundang undangan sekaligus menyongsong era perdagangan bebas, bahwa sistem self assessment (Pasal 12 UU KUP 1984) merupakan sebagai landasan hukum dalam sistem pemungutan pajak yang harus dipertahankan, dengan meniadakan sistem administrasi pungutan final atau sistem Pajak Penghasilan bersifat final. Kedua, dalam menghilangkan dis sinkronisasi baik bersifat vertical maupun horizontal guna mewujudkan taat asas di bidang hukum maka segala bentuk produk kebijakan di bawah peraturan perundang- undangan (Peraturan Pernerintah, Keputusan Menteri Keuangan/ Direktur Jenderal Pajak), substansi, materinya di bidang perpajakan haruslah memiliki sinkronisasi. Mengingat selama ini,produk kebijakan dimaksud terdapat penyimpangan dan terdapat cacat hukum di dalam menentukan dasar pengenaan pajak (tax base) dimana Undang undang menetapkan atas dasar \ keuntungan\ (pasal 4 ayat (1) huruf d UU PPh 1984), sedangkan Peraturan Pemerintah menetapkan \ Nilai Jual Bruto\ (Pasal 4 PP Nomor 48 Tahun PP Nornor 27 Tahun 1996). Oleh karenanya diperlukan pencabutan/ peninjauan kembali terhadap kebijaksanaan tersebut agar masyarakat (Wajib Pajak) tidak dirugikan hak haknya mengimplementasikan sistem self assessment (Pasal 12 UU KUP 1984). </description

Item Type: Thesis (Disertasi)
Additional Information: KKB KK-2 Dis H 08/04 Dja p (FULLTEXT DAN ABSTRAK TIDAK ADA)
Uncontrolled Keywords: Final Income Taxation, Law and Policies
Subjects: H Social Sciences > HD Industries. Land use. Labor > HD101-1395.5 Land use Land tenure
H Social Sciences > HJ Public Finance > HJ9-9940 Public finance > HJ2240-5908 Revenue. Taxation. Internal revenue > HJ4629-4830 Income tax
Divisions: 09. Sekolah Pasca Sarjana > Ilmu Hukum
Creators:
CreatorsNIM
HARY DJATMIKOUNSPECIFIED
Contributors:
ContributionNameNIDN / NIDK
Thesis advisorAbdoel GaniUNSPECIFIED
Depositing User: Tn Joko Iskandar
Date Deposited: 18 Oct 2016 05:31
Last Modified: 05 Sep 2024 05:35
URI: http://repository.unair.ac.id/id/eprint/32486
Sosial Share:

Actions (login required)

View Item View Item