T.SLAMET SUPARNO, 090114536 D (2006) PAKELIRAN PURWA JAWA GAYA SURAKARTA:DARI RITUS SAMPAI PASAR. Disertasi thesis, UNIVERSITAS AIRLANGGA.
|
Text (ABSTRAK)
gdlhub-gdl-s3-2007-suparnotsl-3933-diss02-abs.pdf Download (370kB) | Preview |
|
|
Text (FULLTEXT)
gdlhub-gdl-s3-2007-suparnotsl-3933-diss02-7.pdf Download (2MB) | Preview |
|
|
Text (FULLTEXT)
gdlhub-gdl-s3-2007-suparnotsl-3933-diss02-7 B.pdf Download (1MB) | Preview |
Abstract
Studi ini dilatarbelakangi oleh gagasan bahwa kehidupan pertunjukan wayang kulit Jawa (pakeliran) merupakan produk masyarakat Jawa yang selalu berkembang dan tidak dapat dilepaskan dari konteks perubahan masyarakat Jawa dalam berbagai aspeknya seperti aspek-aspek ekonomi, politik, dan sosio¬kultural. Masyarakat Jawa pada umumnya dan masyarakat pakeliran pada khususnya senantiasa akan berkembang dan mengalami perubahan. Demikian pula pakeliran purwa akan mengalami perkembangan dan perubahan sesuai dengan perkembangan, perubahan lingkungan, dan pemaknaan penontonnya. Studi ini bertujuan untuk memperoleh penjelasan yang lebih mendalam mengenai persoalan kehidupan pakeliran purwa dari sudut pandang sosiologi¬seni dalam menghadapi perubahan lingkungan di tiga era yakni era Sebelum Orde baru, era Orde Baru, dan era Pasca Orde Baru. Persoalan itu menyangkut peta umum kehidupan wayang kulit purwa Jawa yang menjadi latar belakang kehidupan wayang kulit purwa pada ketiga masa itu, terutama pada saat penelitian ini dilakukan. Persoalan berikutnya mengenai kemungkinan terjadinya perubahan pada pola pakeliran purwa pada masa yang sama dan bagaimana pola yang barn, meliputi aspek pertunjukan apa saja dan dengan substansi yang bagaimana. Demikian pula hal-hal yang terkait dengan perubahan sosial dan fenomena sosial yang terefleksikan dalam pakeliran, seberapa jauh merupakan respons dari dalang dengan pergelarannya dalam rangka mempertahankan hidupnya. Sesuai dengan tujuan, studi ini menggunakan pendekatan kualitatif dalam perspektif sosiologi-seni, dari hasil pemikiran Arnold Hauser dalam bukunya berjudul The Sociology of Art. Pendekatan ini secara prinsip melihat relasi masyarakat dengan keseniannya. Arnold Hauser menjelaskan bahwa perubahan sosial di sebuah wilayah akan menghasilkan gaya seni yang khas, sesuai dengan bentuk masyarakat pada waktu itu. Suatu jenis seni yang pada periode tertentu merupakan seni itual, dapat saja pada periode berikutnya menjadi seni populer. Suatu jenis seni yang semula berfungsi sebagai ritus keagaamaan pada suatu era tertentu dapat sebagai sarana kekuasaan, dan akhirnya menjadi komoditas/pasar. Arnold Hauser juga menjelaskan bahwa dari sudut pandang strata sosial penonton, terdapat empat jenis kategori seni. Pertama, seni tinggi atau klasik yang cenderung hanya dinikmati oleh elite kultural, yakni bangsawan, pejabat,dan sejenisnya. Biasanya elite kultural memiliki tuntutan agar seni mempunyai nilai estetik yang tinggi. Kedua, seni rakyat yang biasanya dinikmati oleh masyarakat pedesaan (agraris). Hanya raja dalam seni rakyat, sulit untuk dipisahkan antara pencipta seni dan penikmat seni. Hal ini mengingat bahwa seni rakyat merupakan hasil kolektif, walaupun pada awalnya seni rakyat itu dihasilkan oleh individu. Dengan kata lain seni rakyat merupakan kreasi individu yang menjadi milik banyak orang. Biasanya seni rakyat tidak dituntut adanya nilai estetik, karena sifatnya yang spontan. Ketiga, seni populer yang biasa dinikmati oleh masyarakat urban (perkotaan), namun secara ideologi menjadi milik masyarakat kelas menengah ke bawah dengan tanpa memandang dari mana kelompok itu datang. Jenis seni populer merupakan hiburan bagi masyarakat perkotaan, yang kesehariannya penuh dengan pekerjaan, sehingga kejenuhan akibat kerja keras mereka menuntut adanya hiburan. Biasanya seni populer juga cenderung tidak dituntut nilai estetik, tetapi yang lebih penting adalah rasa relaksasi bagi penikmatnya sehingga mudah untuk dicerna. Karakteristik yang menonjol dari seni populer adalah produksi artistik dalam industri komersial. Karakteristik komersial yang selalu muncul dalam karya seni populer adalah karena kecocokannya yang tiada titik. Setiap seni, sedikit banyak diarahkan kepada harapan selera publik, akan tetapi seni tinggi (hight art) kadang melampui dari keinginan dan harapan mereka. Seni yang diarahkan terhadap sebagian besar harapan publik, setidak-tidaknya ia berhubungan dengan sebagian keperluan-keperluan riil dan yang bersifat spontanitas. Tentunya tuntutan-tuntutan atas keperluan itu tidak selalu menjamin nilai estetiknya. Untuk itu seni populer pun juga membuka ruang dan mempersilakan publik yang menuntut secara kritis terhadap nilai estetis tersebut. Karakteristik yang paling umum seni populer adalah penyandaran (pegangan) yang kuat terhadap formula-formula tradisional yang diakomodasikan secara mudah. Keempat, seni massa yang penyajiannya diproduksi oleh alat-alat mekanik (radio, tape player, tv, dll), sehingga penikmatnya sangat heterogin siapapun yang dapat mengamati lewat hasil tekonologi itu. Berdasar hasil penelitian, pakeliran di tiga era memiliki kecenderungan sendiri-sendiri sesuai dengan perubahan lingkungannya. Rombongan pakeliran adalah sebuah organisasi sosial, yang terpengaruh oleh tekanan-tekanan politik, merespons kekuatan ekonomi, dan hadir dalam hubungan dengan organisasi¬organisasi sosial lainnya. Jumlah rombongan pakeliran purwa di Jawa mempunyai kecenderungan meningkat dari setiap era. Beberapa faktor penting yang mempengaruhi lokasi rombongan adalah bahasa, penduduk, kondisi ekonomi, agama, dan tradisi-tradisi budaya. Namun demikian, tidak semua rombongan bersifat sama-sama responsif terhadap faktor-faktor itu. Organisasi internal rombongan-rombongan pakeliran terdiri atas dalang, pengrawit, pesindhen, penggerong, penyimping, dan peniti. Dalang merupakan salah satu unsur rombongan yang paling penting, ia hampir selalu menjadi pemilik, manajer, pemimpin artistik, dan pemain bintang. Dalam pelaksanaan pertunjukan, dalang dibantu oleh pengrawit, pesindhen, penggerong, penyimping dan peniti, yang jumlahnya dapat mencapai lebih dari 25 orang. Jumlah anggota rombongan pada setiap era selalu mengalami perkembangan. Mengenai jasa yang diperoleh para anggota rombongan, biasanya berupa perjanjian lisan yang sangat kabur. Besarnya jasa yang diterima oleh dalang dari penanggap, antara rombongan yang satu dengan yang lain tidaklah sama, dan hal inilah yang menyebabkan jasa yang diterima oleh anggota rombongan yang satu dengan yang lain juga tidak sama. Akan tetapi, yang jelas jumlah nominal jasa yang diterimakan kepada dalang, selalu bertambah banyak dari kurun waktu yang satu ke kurun waktu berikutnya. Di sepanjang era, baik di era Sebelum Orde Barn, Orde Baru, maupun Pasca Orde Baru, jumlah penonton ditentukan oleh beberapa faktor meliputi reputasi rombongan pakeliran, cuaca, jarak tempat pakeliran, hiburan lain sebagai pesaing, kondisi ekonomi penonton, dan waktu pertunjukan. Dan aspek jenis kelamin, laki-laki atau perempuan dari setiap usia, pekerjaan, dan golongan sosial biasa menyaksikan pakeliran. Namun demikian, laki-laki lebih banyak menyaksikan pakeliran daripada perempuan, karena tertarik suara emas dan kecantikan pesindhen. Kenyataan menunjukkan bahwa lakon yang menceritakan tokoh laki-laki memang relatif lebih banyak daripada tokoh perempuan. Para penonton tediri atas berbagai tingkatan umur, nmun orang-orang tua dan setengah baya yang menghadiri pakeliran lebih banyak daripada para pemuda dan remaja. Sebagian ingin mencocokkan pengetahuan yang is miliki dengan cerita dalam lakon yang sedang digelar, sebagian besar karena hanya ingin mencari hiburan, dan sebagian hanya mencari hiburan sesaat daripada tidur di sore hari. Rupanya para pemuda dan remaja lebih tertarik melihat acara di TV yang lebih bervariatif daripada melihat pakeliran, dan mereka lebih suka lakon¬lakon kontemporer daripada lakon-lakon tradisional. Secara menyeluruh penonton pakeliran merefleksikan kenyataan bahwa, jumlah terbesar dari rombongan pakeliran pada era Sebelum Orde Baru, mengadakan pertunjukan di desa-desa dan kota-kota pinggiran. Dalam perkembangannya pakeliran tidak hanya menjadi tontonan orang desa dan berkeadaan ekonomi, pendidikan, dan sosial yang rendah, melainkan sudah menjadi konsumsi orang-orang kota yang mencari hiburan belaka. Jika dilihat dari strata ekonomi, diperoleh petunjuk bahwa para penonton terdiri atas berbagai kalangan ekonomi mulai ekonomi menengah ke bawah sampai menengah ke atas. Rombongan pakeliran terutama dalang, sangat menyadari akan kenyataan bahwa penonton mereka tidak pernah sama dua kali. Penonton merupakan salah satu faktor yang sangat berubah-ubah dan komposisinya juga berubah-ubah bersamaan dengan perubahan waktu, tempat, dan peristiwa pertunjukan itu. Dalang membuat strategi bagaimana untuk menyesuaikan penonton, ada yang mengadakan perubahan wujud pakeliran dengan menggarap berbagai aspek pakeliran, ada yang menggarap aspek vokal, ada yang menggarap aspek sabet, aspek sanggit lakon, menambah figur dan/atau tokoh wayang, dan sejenisnya. Hal yang umum dilakukan oleh dalang adalah meladeni selera penonton yang berbeda-beda. Dari basil pengamatan terhadap para penonton, kenyataan menunjukkan bahwa sebagian besar penonton tidak paham akan pesan-pesan moral yang disampaikan oleh dalang, baik yang disampaikan dalam adegan Limbukan maupun dalam adegan Gara-gara, terlebih dalam sanggit lakon. Oleh karena itu, sebagian besar pakeliran mengarah pada hiburan, walaupun ada beberapa dalang tetap menyampaikan pesan-pesan moral dan kritik sosial. Struktur adegan pakeliran di setiap era cenderung mengalami perubahan. Pada era Sebelum Orde Barn, struktur adegan pakeliran yang digunakan adalah struktur pakeliran semalam [tradisional]. Struktur adegan pada umumnya terbagi dalam empat bagian, meliputi bagian Patalon, bagian Pathet Nem, bagian Pathet Sanga, dan bagian Pathet Manyura. Pada era Orde Baru, setiap bagian Pathet sudah mengalami perubahan berupa pengurangan adegan, gending, dan penggantian beberapa aspek pakeliran, seperti sabet, suluk, ada-ada, gending, bentuk wayang, sehingga berimplikasi terhadap waktu yang digunakan menjadi lebih pendek. Kecuali itu, mulai hadirnya kesenian bentuk lain ke dalam pakeliran seperti campursari, pelawak, penyanyi, dan penari. Wujud pakeliran itu berlanjut pada era Pasca Orde Baru yang lebih terbuka terhadap kemungkinan-kemungkinan perubahan. Lakon yang dipergelarkan dari era Sebelum Orde Baru, era Orde Baru, dan era Pasca Orde Baru juga mengalami perubahan. Lakon-lakon yang digelar sejak era Sebelum Orde Baru sampai Pasca Orde Baru sebagian besar mengambil dari cerita siklus Mahabharata dengan tokoh Pandawa dan Kurawa, sebagian kecil dari cerita siklus Ramayana dengan tokoh Rama dan Rahwana. Jenis lakon yang sering dipergelarkan pada era Sebelum Orde Baru yakni lakon-lakon perkawinan dan kelahiran. Pada era Orde Baru, lakon wahyu dan lakon banjaran. Pada era Pasca Orde Baru, kecenderungan lakon-lakon banjaran. Menurut pandangan Hauser, seni merupakan produk masyarakat, dengan demikian pandangan dunia masyarakat tertentu akan mempengaruhi wujud seni yang dihasilkan oleh masyarakat itu. Sejalan dengan pemikiran Hauser itu, tentu pandangan dunia masyarakat Jawa akan mempengaruhi wujud pakeliran itu. Pada era Sebelum Orde Baru, empat lingkaran pandangan dunia masyarakat Jawa masih cukup mempengaruhi pakeliran, terutama tampak pada lakon yang digelar. Pada era Orde Baru, penguasa Orde Baru melakukan suatu perubahan besar dalam tata kehidupan masyarakat Indonesia pada umumnya dan masyarakat Jawa pada khususnya, membentuk satu tata kehidupan ekonomi masyarakat Indonesia yang hampir sepenuhnya kapitalis. Dengan demikian, Orde Baru telah menciptakan sebuah iklim bagi pakeliran yang membuatnya ke arah kecenderungan materialisasi dan ekonomisasi wayang kulit. Pada era Pasca Orde Baru, euforia reformasi memberi dampak pula pada bentuk pakeliran. Pada umumnya pola pakeliran pada era Pasca Orde Baru tidak lebih sekedar sajian tontonan, yang lebih cenderung sebagai hiburan belaka, pergelaran ditekankan pada adegan Limbukan dan adegan Gara-gara. Sekalipun dalang tetap menyampaikan pesan-pesan moral dan kritik sosial, namun demikian, kondisi masyarakat dewasa ini rupanya sudah tidak lagi peka terhadap konsep moral dan kritik, karena sudah kehilangan daya refleksivitasnya. Sehingga dengan demikian, pesan-pesan moral yang ditampilkan dalang lewat pakeliran, tidak dapat lagi ditangkap oleh penonton. Banyak kasus korupsi, perampokan, pembunuhan, dan sejenisnya dalam kehidupan masyarakat merupakan indikasi mengenai ketidakmampuan penonton menangkap pesan-pesan moral. Disertasi ini mengukuhkan pendapat Hauser bahwa pakeliran, merupakan produk masyarakat Jawa, yang berkembang mengikuti perubahan masyarakat Jawa dari masyarakat agraris ke masyarakat industri dan kapitalis. Pakeliran dari masa ke masa cenderung dijadikan insrumen penindasan penguasa atas rakyatnya, meski dalang sebagai pelaku pakeliran tidak serta merta menurut. Disertasi ini juga mengkritik pendapat Hauser yang menyatakan bahwa masyarakat merupakan produk seni. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat penonton pakeliran, terutama sejak era Orde Baru tidak lagi dapat menangkap pesan moral yang disampaikan oleh dalang. Komunikasi antara pakeliran dan penonton terjadi pada saat adegan Limbukan dan adegan Gara-Gara, saat mana menampaikan hiburan belaka. Kajian pakeliran sebagai institusi sosial, tidak hanya dihhat dari aspek makro, tetapi juga dari aspek makro, agar hubungan pakeliran dengan lingkungan sosio¬ekonomi, sosio-politik, dan sosio-budaya dapat dijelaskan. Kecuali itu, untuk memperoleh kajian mendalam mengenai pakeliran, tidak cukup dari perspektif teoretik tunggal, melainkan dari banyak segi. </description
Item Type: | Thesis (Disertasi) | ||||||||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
Additional Information: | KKB KK-2 Dis s 02/07 Sup p | ||||||||||||
Uncontrolled Keywords: | Shadow puppet theater performance, group, audience | ||||||||||||
Subjects: | H Social Sciences > HM Sociology > HM(1)-1281 Sociology > HM621-656 Culture | ||||||||||||
Divisions: | 09. Sekolah Pasca Sarjana > Ilmu Sosial | ||||||||||||
Creators: |
|
||||||||||||
Contributors: |
|
||||||||||||
Depositing User: | Nn Dhani Karolyn Putri | ||||||||||||
Date Deposited: | 21 Oct 2016 17:54 | ||||||||||||
Last Modified: | 06 Jul 2017 21:13 | ||||||||||||
URI: | http://repository.unair.ac.id/id/eprint/32564 | ||||||||||||
Sosial Share: | |||||||||||||
Actions (login required)
View Item |