HASNIAH HASAN (2003) PERCERAIAN DALAM KEHIDUPAN MUSLIM SURABAYA JAWA TIMUR :Studi Tentang Makna Perceraian dalam Perspektif Fenomenologi. Disertasi thesis, UNIVERSITAS AIRLANGGA.
|
Text (ABSTRAK)
gdlhub-gdl-s3-2007-hasanhasni-3507-diss04-k.pdf Download (597kB) | Preview |
|
|
Text (FULLTEXT)
gdlhub-gdl-s3-2007-hasanhasni-3507-diss04-4.pdf Download (1MB) | Preview |
|
|
Text (FULLTEXT)
gdlhub-gdl-s3-2007-hasanhasni-3507-diss04-4 B.pdf Download (1MB) | Preview |
Abstract
Disertasi ini bertujuan mengungkap makna perceraian menurut konstruk pelaku perceraian, yang dapat memberikan pengetahuan pemahaman tentang makna perceraian menurut definisi, pengertian, dan pemahaman suami isteri muslim yang telah melakukan cerai talak dan atau cerai gugat, secara individual. Fokus penelitian ini bukan hanya sekedar menggali fenomena perceraian dengan faktor penyebabnya, melainkan menggali motif yang melatar belakangi dan tujuan yang mendorong mereka melakukan perceraian. Pemaknaan perceraian dilihat dari pengertian dan pemahaman suami isteri yang telah melakukan cerai talak dan cerai gugat secara individu. Dengan menggunakan pendekatan fenomenologi, penelitian ini berupaya mengungkap ada apa di balik fenomena perceraian yang telah dilakukan oleh subyek, dan apa yang mendasari tindakan perceraian yang telah mereka lakukan. Untuk itu kajian dibatasi pada pasangan yang telah diputus perkaranya. Pembatasan ini didasarkan pada pertimbangan bahwa sasaran kajian terfokus pada makna perceraian menurut konstruk pelakunya sendiri. Dengan mengkaji subyek yang sudah mengalami perceraian, memungkinkan menggali ke kedalaman realitas subyektif para pelaku yang mendefinisikan perceraian sesuai apa yang dialaminya secara individu. Kajian ini memilih pendekatan fenomenologi dengan model penelitian kualitatif, karena yang hendak dipahami bukan saja faktor penyebab perceraian yang dikaitkan dengan berbagai aspek budaya, etnis, dan psikiatrik, tetapi juga latar belakang fenomena perceraian untuk dapat mengungkap makna tindakan subyektif dari para pelaku perceraian secara individu. Asumsi yang mendasari kajian ini adalah bahwa makna perceraian hanya bisa ditemukan maknanya secara subyektif, apabila tindakan itu diteliti secara mendalam, menerobos segala sesuatu yang terdapat di balik fenomena yang tampak, sesuai dengan pengalaman pasangan suami isteri yang telah melakukan perceraian. Oleh karena itu penelitian ini menggunakan konsep motif karena dan motif supaya yang dikedepankan oleh Schutz. Aliran fenomenologi yang dikedepankan oleh Schutz mengajarkan bahwa setiap individu hadir dalam arus kesadaran yang diperoleh dari proses refleksi atas pengalaman sehari-hari. Dengan mengasumsikan adanya kenyataan orang lain yang diperantarai oleh cara berpikir dan merasa, refleksi lalu diteruskan kepada orang lain melalui hubungan sosialnya (Campbell, 1994 : 235). Menurut Schutz, fenomenologi sebagai metode dirumuskan sebagai media untuk memeriksa dan menganalisis kehidupan batiniah individu yang berupa pengalaman mengenai fenomena atau penampakan sebagaimana adanya, yang lazim disebut arus kesadaran (Campbell, 1994: 233). Menurut Schutz, dunia sosial merupakan sesuatu yang intersubyektif dan pengalaman yang penuh makna (meaningfull). Konsep fenomenologi menekankan bahwa makna tindakan, identik dengan motif yang mendorong tindakan seseorang, yang lazim disebut in-order-to motive. Dengan demikian untuk memahami tindakan manusia secara individu harus dilihat dari motif apa yang mendasari tindakan tersebut. Lebih lanjut Schutz menambahkan bahwa dengan motif yang melatarbelakangi suatu tindakan atau because motive kita bisa melihat makna tindakan sesuai dengan motif asli yang benar-benar mendasari tindakan yang dilakukan secara individu (Waters, 1994: 33). Dengan menggunakan konsep motif karena dan motif supaya dari Schutz ini, dalam penelitian ini antara lain ditemukan bahwa: Pertama, because motive atau faktor yang melatarbelakangi terjadinya perceraian berbeda antara konstruk suami dengan isteri. Bagi suami, penyebab utama perceraian yang telah mereka lakukan itu dilatarbelakangi oleh (a) karena suami ingin berpoligami tapi sulit diwujudkan, (b) karena suami ingin ganti pasangan, (c) karena suami tidak memiliki ketetapan pendirian dalam melaksanakan perjanjian kesepakatan perkawinan yang telah dibuat sebelum menikah, (d) karena suami tidak memiliki ketegasan dalam melaksanakan fungsinya sebagai pemimpin keluarga, dan (e) karena suami tidak memiliki kesadaran diri, sehingga sulit merasakan akibat perilaku yang merugikan pasangannya. Adapun isteri, penyebab utama perceraian terutama: (a) karena isteri ingin ganti pasangan sebagai ungkapan perasaan dendam pada suami yang berganti-ganti teman wanita, (b) karena isteri memiliki sikap mudah terpengaruh sehingga tidak konsisten dalam merealisasikan kesepakatan perjanjian perkawinan yang telah dibuat sebelum menikah, (c) karena isteri tidak mandiri dalam melaksanakan fungsi dan perannya sebagai isteri dan ibu di rumah tangga, dan (d) karena isteri gagal merealisasikan sikap saling menghargai di antara suami isteri dalam kehidupan sehari-hari. Kedua, terungkapnya motif yang melatarbelakangi perceraian menurut konstruk suami maupun isteri, ternyata menimbulkan tindakan yang mengkondisikan terjadinya perceraian (conditional factor). Tindakan tersebut bisa dianggap sebagai sesuatu yang mendahului perceraian (antecedent). Sedikitnya ditemukan lima faktor kondisional yakni : (a) Tindakan ketersembunyian, yang meliputi nikah sembunyi-sembunyi, menyembunyikan kebijakan dalam mengatur rumah tangga, dan menyembunyikan cacat pribadi sebelum menikah, (b) Tindakan melanggar kesepakatan perjanjian perkawinan yang telah dibuat sebelum menikah, (c) Tindakan kekerasan dan penganiayaan yang merugikan pasangan, (d) Tindakan intervensi yang dilakukan oleh orang tua kedua belah pihak, dan (e) Tindakan krisis akhlak, yakni perselingkuhan dan pecandu yang sulit sembuh. Ketiga, in order to motive atau faktor yang mendorong terjadinya perceraian, berbeda juga antara suami isteri. Bagi suami ditemukan motif: (a) Untuk memberi sanksi pada pasangannya, (b) Untuk menebus kesalahan yang telah merugikan pasangannya, (c) Untuk menyelesaikan masalah yang sulit ditemukan jalan keluarnya, dan (d) Untuk medapatkan kebebasan pribadinya, yang dianggap telah hilang selama kehidupan bersama dalam keluarga. Sedang bagi isteri motif yang mendorong untuk bercerai adalah: (a) Untuk balas dendam, (b) Untuk mendapatkan kejelasan status, (c) Untuk memperoleh ketenangan, dan (d) Untuk membebaskan dirinya dari tipuan dan tuduhan yang tidak beralasan. Keempat, makna perceraian menunjukkan kecenderungan yang berbeda pula antara pemahaman suami dengan pemaknaan isteri. Bagi suami makna perceraian antara lain: (a) bahwa perceraian adalah suatu upaya untuk mempertahankan harga diri di hadapan keluarga dan terhadap masyarakat pada umumnya, (b) perceraian sebagai upaya untuk memutuskan hubungan dengan orang yang menghambat dirinya memperoleh kebebasan pribadi, (c) perceraian sebagai jalan yang efektif untuk menyelesaikan masalah yang berkelanjutan, dan (d) perceraian sebagai perpisahan sementara saja. Sedang isteri, memahami makna perceraian sebagai berikut: ( a) perceraian adalah upaya untuk menyalurkan emosi ketidakpuasan terhadap sikap suami yang secara langsung merugikan isteri, (b) perceraian adalah suatu upaya untuk melepaskan diri dari penderitaan lahir batin, (c) perceraian merupakan perpisahan sementara saja, dan (d) perceraian merupakan akibat kegagalan saling menghargai. Kelima, perceraian dalam kurun waktu enam tahun terakhir (1995-2000) di kalangan keluarga muslim Surabaya menunjukkan kecenderungan cerai gugat lebih tinggi dari cerai talak. Perceraian secara gugat menunjukkan adanya upaya isteri melepaskan diri dari dominasi suami. Mereka menuntut persamaan hak dalam menentukan kebijakan di rumah tangga. Mereka telah melakukan redefinisi identitas dirinya sebagai isteri pendamping suami, yang selama ini selalu patuh dan tunduk pada kekuasaan suami. Kemudian berubah menjadi penentu kebijakan cerai tanpa seijin suami Proses semacam ini, oleh Irwan Abdullah disebut dekonstruksi dan rekonstruksi. Menurut Abdullah, sekurangnya ada tiga proses sosial yang perlu ditekankan dalam pembentukan realitas kehidupan wanita yakni konstruksi, dekonstruksi, dan rekonstruksi. Konstruksi merupakan susunan realitas obyektif yang telah diterima dan menjadi kesepakatan umum. Sedang dekonstruksi terjadi pada saat keabsahan realitas obyektif dipertanyakan kemudian memperlihatkan peraktek-peraktek baru dalam kehidupan perempuan. Dan rekonstruksi merupakan proses redefinisi dan rekonseptualisasi kehidupan perempuan (Abdullah, 1997: 5). Sedangkan jika cerai gugat dilihat dari konsep Fakih, maka tindakan cerai gugat ini menjadi bagian tak terpisahkan dari perjuangan transformasi system dan struktur sosial yang tidak adil, yang menempatkan isteri (wanita) pada posisi yang tidak penting dibanding suami (laki-laki) di rumah tangga. Keputusan isteri menggugat cerai, menunjukkan isteri tampil menggunakan haknya seperti suami dalam menetapkan perceraian (Fakih, 1996: 66). </description
Item Type: | Thesis (Disertasi) | |||||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
Additional Information: | KKB KK-2 Dis S 04/04 Has p | |||||||||
Uncontrolled Keywords: | Marriage, marital conflict, uninterrupted conflict, because motive, in order to motive, conditional factor, sued divorce, and talak divorce | |||||||||
Subjects: | B Philosophy. Psychology. Religion > BP Islam. Bahaism. Theosophy, etc > BP1-253 Islam H Social Sciences > HQ The family. Marriage. Woman > HQ1-2044 The Family. Marriage. Women > HQ503-1064 The family. Marriage. Home > HQ811-960.7 Divorce |
|||||||||
Divisions: | 09. Sekolah Pasca Sarjana > Ilmu Sosial | |||||||||
Creators: |
|
|||||||||
Contributors: |
|
|||||||||
Depositing User: | Nn Dhani Karolyn Putri | |||||||||
Date Deposited: | 11 Oct 2016 03:44 | |||||||||
Last Modified: | 07 Jul 2017 00:33 | |||||||||
URI: | http://repository.unair.ac.id/id/eprint/32570 | |||||||||
Sosial Share: | ||||||||||
Actions (login required)
View Item |