ABDUL MAASBA MAGASSING, 090710390 D (2012) PENERIMAAN PRINSIP-PRINSIP STATUTA ROMA DALAM PENGADILAN KEJAHATAN INTERNASIONAL DI INDONESIA. Disertasi thesis, UNIVERSITAS AIRLANGGA.
|
Text (ABSTRAK)
ABSTRAK.pdf Download (92kB) | Preview |
|
Text (FULL TEXT)
gdlhub-gdl-s3-2013-magassinga-22609-13full.pdf Restricted to Registered users only Download (564kB) | Request a copy |
Abstract
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sejak pembentukannya 1945 telah memainkan peranan penting di bidang hukum internasional sebagai upaya menciptakan perdamaian dunia dan keadilan bagi seluruh umat manusia. Mahkamah Internasional (International Court of Justice/ICJ) yang berkedudukan di Den Haag, Belanda, merupakan organ utama PBB. Selain itu untuk mengadili pelaku Kejahatan Humaniter Internasional dibentuk pula Pengadilan Kejahatan ad-hoc Internasional untuk bekas negara Yugoslavia (The International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia / ICTY) pada tahun 1993 yang juga berkedudukan di Den-Haag Belanda dan Pengadilan Kejahatan ad-hoc Internasional untuk Rwanda (International Criminal Tribunal for Rwanda/ICTR) pada tahun 1994, Mahkamah ini berkedudukan di Arusha, Tanzania. Kedua pengadilan ini dibentuk melalui Resolusi Dewan Keamanan PBB, nomor 827 dan nomor 955. Berbeda dengan pembentukan ke dua Pengadilan ad-hoc tersebut di atas yang mempunyai ratione temporis yang bersifat sementara, Pembentukan Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court / ICC) yang Statuta pembentukannya baru disahkan pada 17 Juli 1998 di Roma Italia dan sesuai pasal.3(1) Statuta Roma, Mahkamah ini berkedudukan di kota Voorburg, Den-Haag, Belanda, Mahkamah ini merupakan institusi yang bersifat permanen serta dibentuk melalui Perjanjian Antar Negara / Konferensi Internasional. Sampai saat ini negara yang telah menjadi pihak (States Parties) pada Statuta Mahkamah tersebut 114 negara (The Court Today, 1 January, 2011). Jika yurisdiksi ICJ hanyalah mengenai sengketa antar negara, maka yurisdiksi ICC adalah di bidang hokum kejahatan internasional (hukum pidana internasional) yang akan mengadili para pelaku individu (individual criminal responsibility) yang melakukan kejahatan sesuai pasal.5 Statuta Roma 1998 (the crime of genocide, crimes against humanity, war crimes, the crime of aggression). Prinsip yang mendasar dari Statuta Roma adalah bahwa ICC merupakan pelengkap (the principle of complementary jurisdiction) bagi yurisdiksi pengadilan pidana nasional (pasal 1). Ini berarti bahwa Mahkamah harus mendahulukan sistem peradilan nasional mampu (unable) untuk melakukan penyelidikan atau menuntut tindak kejahatan yang terjadi, maka diambil alih menjadi wewenang di bawah yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional/ICC (pasal.17). Pembentukan Pengadilan Kejahatan Internasional dan Tribunal sebagaimana disebutkan di atas termasuk pembentukan ICC adalah di bawah kerangka sistem hukum internasional (international legal system) dan PBB, sekaligus merupakan langkah progresif bagi pengembangan hukum pidana internasional (international criminal law) khususnya dan hukum internasional pada umumnya (general international law) di masa mendatang. Indonesia sebagai salah satu negara yang banyak mendapat sorotan bagi perlindungan hak asasi manusia (HAM) di forum internasional, yang sampai saat ini belum menyatakan sikap terhadap Statuta Roma yang telah disahkan pada 1 Juli 2002 (entered into force on 1 July, 2002) . Walaupun demikian, pemerintah Republik Indonesia telah mengambil langkah-langkah antisipasi intern dalam menyikapi masalah perlindungan HAM dengan mengadakan antara lain, pembentukan Komnas HAM tahun 1993, Pembentukan Undang-Undang Repulik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, kemudian pembentukan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM). Dengan langkah-langkah yang telah ditempuh secara nasional tersebut menunjukkan bahwa Indonesia cukup concern terhadap penegakan dan perlindungan hak asasi manusia. Oleh karena itu, sesuai hukum internasional, maka pengimplementasian Statuta Roma ke dalam sistim hukum nasional (national legal system) di Indonesia sangat penting untuk kepentingan Indonesia baik pada saat ini terlebih lagi pada masa yang akan datang. Hal ini sekaligus menunjukkan sikap konsistensi pemerintah Indonesia dalam mendukung penegakan dan perlindungan hak asasi manusia di fora Internasional
Item Type: | Thesis (Disertasi) | |||||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
Additional Information: | KKB KK-2 DIS.H.03/13 Mag p | |||||||||
Uncontrolled Keywords: | International Crimes, International Criminal Court and Tribunals | |||||||||
Subjects: | H Social Sciences > HV Social pathology. Social and public welfare > HV1-9960 Social pathology. Social and public welfare. Criminology > HV6001-7220.5 Criminology > HV6035-6197 Criminal anthropology J Political Science > JZ International relations > JZ5-6530 International relations |
|||||||||
Divisions: | 09. Sekolah Pasca Sarjana > Ilmu Hukum | |||||||||
Creators: |
|
|||||||||
Contributors: |
|
|||||||||
Depositing User: | Nn Dhani Karolyn Putri | |||||||||
Date Deposited: | 20 Oct 2016 02:02 | |||||||||
Last Modified: | 20 Oct 2016 02:02 | |||||||||
URI: | http://repository.unair.ac.id/id/eprint/32681 | |||||||||
Sosial Share: | ||||||||||
Actions (login required)
View Item |