SUKIDIN, 090013815 D
(2005)
PEMBUNUHAN DUKUN SANTET DI BANYUWANGI : Studi Kekerasan Kolektif dalam Perspektif Konstruktivistik.
Disertasi thesis, UNIVERSITAS AIRLANGGA.
Abstract
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang mengambil daerah penelitian di kabupaten Banyuwangi, sebuah kota di ujung timur Jawa Timur yang penduduknya lebih dikenal dengan masyarakat Using. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh pemahaman yang mendalam dan komprehensip tentang peristiwa pembunuhan secara massal terhadap dukun santet di Banyuwangi. Pendekatan yang dipergunakan dalam penggalian informasi adalah dengan perspektif konstruktivistik yang dikembangkan oleh Berger Luckmann. Sebagai salah satu pendekatan dalam ilmu sosial, konstruksi sosial mengarahkan pada pentingnya pembacaan pemahaman realitas sosial yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Penelusuran informasi pada subjek dilakukan secara mendalam untuk mendapatkan pemahaman tentang apa yang dipikirkan, diketahui, dan dibayangkan oleh subjek penelitian. Melalui strategi tersebut, informasi akan didapatkan secara memadai melalui elaborasi pengamatan terlibat dan wawancara mendalam dengan subjek penelitian. Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh pemahaman bahwa pembunuhan massal terhadap dukun santet terjadi karena beberapa alasan seperti dendam pribadi, dendam sosial, fitnah, iri hati, perebutan warisan, dan beberapa alasan budaya lainnya. Pola pembunuhan massal yang terjadi dilakukan secara spontan, terorganisir, serta didahului oleh gerakan pembunuh bayaran (ninja provokator). Korban pembunuhan terpilah menjadi empat katagori, yaitu korban dukun santet mati, korban dukun santet hidup, korban bukan dukun santet mati, serta korban bukan dukun santet hidup. Secara umum terdapat beberapa alasan yang melatari terjadinya pembunuhan, terhadap dukun santet yaitu munculnya anggapan yang melabelkan dukun santet sebagai musuh bersama (common-enemy). Realitas ini memiliki relevansi dengan perspektif konstruktivistik, dimana makna atas pembunuhan massal ini berawal dari pemaknaan individual yang bersifat intersubyektif. Kesepakatan makna tersebut sangat bergantung pada sejauh mana hubungan antar individu dalam melahirkan negoisasi untuk membangun dunia sosialnya. Secara teoretik dapat dipahami bahwa kekecewaan yang memunculkan aksi pembunuhan tersebut sesuai dengan teori deprivasi relatif Gurr, sedangkan adanya perasaan kecewa, mengeluh, terancam dan balas dendam senada dengan teori Hoffer. Menurut kedua teori tersebut, hanya terdapat dua pihak yang mengalami konflik dalam bentuk ketegangan sosial yang dipicu oleh rasa kecewa, keterancaman, dan ingin balas dendam. Dari beberapa teori kekerasan yang dimotivasi oleh kekecewaan, keluhan, ancaman dan balas dendam, rupanya apa yang dikemukakan oleh Hoffer adalah yang paling relevan untuk dijadikan sarana untuk memahami konteks di lapangan. Bedanya, Realitas ancaman yang diindikasikan oleh Hoffer masih bersifat defensif, maka realitas di lapangan mengesankan ancaman yang offensif. Sehingga, ancaman offensif itu memungkinkan lahirnya upaya pembunuhan. Parahnya lagi, ancaman yang dialami warga budaya atas perilaku dukun santet, justru menimbulkan upaya balas dendam. Selanjutnya, ada temuan yang menarik dalam penelitian ini, yang dapat dijelaskan secara skematis bahwa fenomena kekerasan kolektif dalam bentuk pembunuhan terhadap dukun santet tersebut melibatkan tiga aktor yaitu masyarakat sebagai pemesan kejahatan, dukun santet, dan korban kejahatan dukun santet. Pemesan jasa dukun berkonspirasi dengan dukun santet untuk melakukan penyantetan terhadap orang yang dianggap mengganggu kelancaran kehidupannya. Masyarakat akan terkena dampak kejahatan tersebut dalam bentuk penyakit maupun hilangnya nyawa. Pada episode yang lain, anggota masyarakat melakukan perlawanan dalam bentuk aksi kolektif melakukan pengusiran, penganiayaan, bahkan pembunuhan pada dukun santet. Peristiwa pembunuhan massal terhadap dukun santet tersebut secara teoretis dapat peneliti kemukakan bahwa terdapat tiga pilar yang berperan sebagai aktor dalam melakukan tindakan kekerasan. Secara moral peneliti memberanikan diri mengemukakan sebuah teori baru yaitu Segi Tiga Kekerasan (Triangle of Violence). Hal ini dapat dijelaskan bahwa peristiwa pembunuhan tersebut melibatkan tiga kekuatan, yaitu pamesan bekerjasama dengan dukun santet, dan ini bersifat simbiosis mutualisme. Sedangkan pada sisi yang lain adalah para anggota masyarakat secara bersama melakukan aksi kolektif dalam bentuk pembunuhan terhadap dukun santet. Dalam perspektif teori segi tiga kekerasan, perilaku kekerasan tersebut berlangsung terus menerus sampai sekarang, dan bahkan telah menjadi fenomena sosial di masyarakat. Sedangkan implikasi teoretik tentang konstruksi sosial dalam penelitian ini dipahami menurut perspektif Bergerian. Konstruksi sosial menurut Berger dan Luckmann adalah sebuah proses eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi yang terjadi antar individu dalam masyarakat. Ketiga proses tersebut terjadi secara simultan membentuk dialektika, serta menghasilkan realitas sosial berupa pengetahuan umum, konsep, kesadaran umum dan wacana publik. Dalam pandangan Bergerian, konstruksi sosial itu dibangun oleh individu dan masyarakat secara dialektika. Jadi yang dimaksud realitas sosial itu adalah realitas sosial yang berupa realitas objektif, subjektif, maupun simbolik. Berger dan Luckman belum menjelaskan siapa yang sebenarnya lebih dominan diantara individu dalam proses konstruksi sosial. Dalam pandangan Bergerian, dunia sosio-kultural adalah masyarakat yang melahirkan individu, walau individu itu sendiri adalah yang melahirkan masyarakat. Namun dalam penjelasannya Berger tidak mempertegas konsep masyarakat, sehingga belum dapat dirumuskan secara konkrit masyarakat mana yang melakukan proses konstruksi sosial. Dalam konteks disertasi ini menemukan beberapa koreksi atas konsep konstruksi sosial Bergerian. Pertama, subjek konstruksi tidak selalu terjadi secara langsung antar individu dengan individu yang lain secara berimbang, tetapi subjek konstruksi dapat bermula dari individu yang memiliki perasaan kecewa, keluhan, dan merasa mendapat ancaman. Posisi yang tersubordinasi ini memiliki gagasan mengkonstruksi masyarakat tentang adanya dukun santet. Dukun santet bahkan diberi label sebagai pangeran kejahatan. Di samping itu konstruksi sosial tentang adanya dukun santet juga dapat berasal dari individu yang menaruh rasa dendam, sakit hati, rebutan akses ekonomi, kekuasaan, dan menabur fitnah pada individu yang lainnya. Kelompok masyarakat ini mempercayai bahwa dukun santet itu ada, dan berperan membantu menuntaskan rasa permusuhan mereka terhadap individu yang menjadi lawannya. Kelompok masyarakat ini sengaja melestarikan terminologi tentang dukun santet, karena mereka merasa diuntungkan oleh kehadirannya. Masyarakat pengguna jasa dukun santet menganggap bahwa dukun santet merupakan orang yang patut untuk dihormati. Dalam penelitian ini konsep dukun santet memiliki makna ganda. Pada satu sisi bermakna sebagai tambang kejahatan dan dianggap sebagai musuh bersama masyarakat. Sedangkan pada sisi yang lain dikonstruksi oleh sebagian masyarakat sebagai orang yang berjasa dan patut untuk dihormati. Nampaknya konsep dukun santet telah mengalami pergeseran makna, dan sangat tergantung pada kelompok masyarakat mana yang melakukan proses konstruksi social. Proses konstruksi sosial yang secara bersamaan melahirkan makna yang saling kontradiksi tidak terdapat dalam konsep konstruksi sosial yang dikembangkan Berger dan Luckmann. Dengan demikian, konsep konstruksi sosial yang dimaksud Berger dan Luckmann apabila diterapkan oleh masing-masing kelompok akan memiliki kekuatan konstruksi sosial yang berlipat ganda, dan akan mempermudah kepentingan kelompok tertentu untuk menggunakannya sebagai alat memobilisasi massa. Dalam temuan penelitian ini menunjukkan bahwa masyarakat yang merasa kecewa, mengeluh, ataupun terancam secara fisik atas kehadiran dukun santet akan melakukan konstruksi sosial untuk menghegemoni perilaku kelompok masyarakat lainnya, sehingga secara tidak disadari masyarakat mengikuti ajakan untuk menghabisi dukun santet. Dukun santet berupaya dikonstruksi sebagai musuh bersama masyarakat, karena keberadaannya sangat membahayakan harmonisasi kehidupan di masyarakat. Ternyata upaya konstruksi sosial yang dilakukan kelompok masyarakat yang kecewa dan merasa terancam tersebut berhasil mempengaruhi pikiran masyarakat luas, sehingga terjadilah kasus pembunuhan massal terhadap dukun santet di Banyuwangi. Kedua, Berger membangun objek konstruksi sosial berupa pengetahuan tentang realitas sosial berupa wacana. publik, kesadaran umum dan konsep-konsep yang objektif, subjektif , dan simbolik. Sementara dalam studi ini, realitas sosial yang dibangun oleh kelompok masyarakat yang merasa kecewa, mengeluh, dan terancam adalah realitas yang bersifat maya (bahkan bersifat magis, dan bagi masyarakat yang rasional dianggap naif) karena itu bersifat subjektif dan simbolik. Orang yang mempercayai adanya dukun santet, akan mempercayai adanya praktek esoteris yang dilakukan para dukun santet. Mereka percaya adanya jarum, paku, dan benda-banda tajam lainnya yang dapat masuk perut seseorang yang disantet. Kepercayaan demikian memiliki sifat yang subjektif dan sangat simbolik, bahkan bersifat magis. Pada akhirnya, penelitian ini berhasil melengkapi penjelasan terkait fenomena kekerasan kolektif yang pernah dikemukakan oleh Hoffer, bahwa munculnya kekerasan kolektif dipicu oleh faktor balas dendam yang memiliki terjadi secara subyektif, simbolik, dan maya, bahkan magis. Temuan penelitian ini juga sekaligus mengoreksi riset terdahulu yang dilakukan oleh Kammen. Dalam penelitiannya Kammen mengungkapkan bahwa peristiwa pembunuhan oleh massa dengan isu dukun santet dipicu oleh factor ekonomi. Adanya sistem bagi hasil yang tidak proporsional, yang diberlakukan oleh tuan tanah terhadap buruh tani, mengakibatkan aksi dari buruh tani dalam bentuk pembunuhan pada tuannya. Tuan tanah diidentikkan dengan tukang santet yang senantiasa memangsa korbannya. Dalam penelitian ini justru menemukan bahwa mayoritas dukun santet berlatarbelakang ekonomi lemah. Orang yang berekonomi lemah atau miskin, harga diri mereka juga termarginal. Akhirnya mereka mencari harga diri baru Dengan mempelajari ilmu linuwih atau dalam perkembangannya sebagai dukun santet. Melalui status barunya mereka merasa telah memiliki harga diri dan kehormatan di masyarakat. Jadi kedudukan dia sebagai dukun dianggap sebagai alternatif yang paling memungkinkan untuk dilakukan. Temuan ini didukung oleh data lapangan yang akurat sehingga hasilnya dapat dipertanggungjawabkan secara akademik. </description
Actions (login required)
|
View Item |